Tinta Media - Visi pemerintah Indonesia untuk menciptakan SDM Indonesia emas 2045 sepertinya harus tersandung oleh tingginya prevalensi stunting. Stunting merupakan kondisi gagal tumbuh pada anak usia dini akibat kekurangan gizi kronis dan infeksi berulang pada periode 1000 pertama kehidupannya. Kondisi stunting selain berdampak pada kondisi kesehatan anak di masa depan, juga akan mengakibatkan penurunan fungsi intelegensinya.
Hasil survei status gizi Indonesia (SSGI) yang dilakukan oleh Kementerian Kesehatan tahun 2021 menyatakan bahwa prevalensi stunting Indonesia berada di angka 24,4 persen. Ini masih jauh di atas target yang ditetapkan oleh WHO, yakni di bawah 20 persen.
Pemerintah bersama dengan lembaga-lembaga terkait pun berupaya keras untuk menurunkan angka tersebut. Hal ini dikarenakan Indonesia pada tahun 2045 nanti akan mendapatkan bonus demografi, yaitu suatu kondisi di saat jumlah penduduk usia produktif sebuah negara mencapai 70 persen dari total keseluruhan jumlah penduduk yang ada. Maka untuk mengoptimalkan potensi ini, negara harus berjuang untuk mewujudkan generasi-generasi yang kuat dan cerdas.
Merespon hal ini, pemerintah mengeluarkan Peraturan Presiden Nomor 72 tahun 2021 tentang percepatan penurunan stunting. Ada dua pendekatan intervensi yang dilakukan, yaitu pendekatan non-gizi dan pendekatan gizi.
Pendekatan non-gizi di antaranya adalah penyediaan sanitasi dan air bersih, lumbung pangan, alokasi dana desa, edukasi dan sosialisasi. Sedangkan pendekatan gizi meliputi pemberian makanan tambahan (PMT) bagi ibu hamil dan anak, suplementasi gizi, pemberian tablet darah dan konsultasi.
Namun, lagi-lagi pemerintah nampaknya harus mengevaluasi dan menyinergikan antar kebijakan yang ada. Ini karena kesan kontradiktif antara satu harapan dan langkah konkret di lapangan sangat terlihat. Di satu pihak pemerintah berjuang mengentaskan stunting, di sisi lain kebijakan politik yang ada justru membelenggu masyarakat dari akses untuk keluar dari lingkaran stunting itu sendiri.
Sebagaimana dilansir dari kompas.com 12/12/22, sebanyak 68 persen atau 183,7 juta penduduk Indonesia tidak mampu membeli makanan dengan gizi seimbang. Hal ini disebabkan oleh tingginya harga pangan di Indonesia, bahkan menjadi yang paling mahal se-Asia Tenggara jika dibandingkan dengan daya beli masyarakatnya.
Tidak Menyentuh Akar Masalah
Solusi yang digadang-gadang pemerintah terkesan masih sangat superficial (permukaan). Pasalnya, intervensi yang dilakukan jauh dari menyentuh akar masalah yang sebenarnya. Padahal, stunting terjadi karena kondisi kekurangan asupan gizi yang kronis atau dalam kurun waktu yang lama. Hal ini sangat erat kaitannya dengan angka kemiskinan dan rendahnya kemampuan masyarakat untuk bisa mengakses makanan dengan gizi seimbang.
Hal ini menjadi sangat lumrah terjadi akibat penerapan sistem kapitalisme di negeri ini. Sistem kapitalisme dengan konsep pasar bebasnya telah menciptakan nuansa hukum rimba dalam kehidupan. Dalam sistem ini, yang kaya atau para pemilik modal (kapital) akan semakin kaya dan bisa memonopoli pasar, sedangkan yang miskin semakin terpinggirkan dan kian sulit untuk menjangkau kehidupan yang layak.
Belum lagi dari abai dan berlepas tangannya negara dalam menjamin kesejahteraan hidup rakyat. Hal ini terbukti dari fakta yang ada. Meskipun Indonesia memiliki kekayaan alam yang melimpah ruah, tetapi justru rakyatnya banyak hidup dalam garis kemiskinan. Ini akibat salah kelola.
Kekayaan ini justru legal untuk diprivatisasi pihak swasta, bahkan asing. Dampaknya, rakyat harus berjuang sendiri untuk memenuhi kebutuhan hidup, termasuk efek dari melambungnya harga pangan yang diakibatkan oleh kebijakan politik yang kapitalistik. Seperti efek domino dari kebijakan pencabutan subsidi dan kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM), maka mimpi untuk mewujudkan generasi emas Indonesia yang bebas dari stunting hanyalah angan-angan belaka.
Sistem Islam Mengentaskan Stunting
Dalam sistem pemerintahan Islam, khalifah atau kepala negara bertanggung jawab penuh dalam melayani kebutuhan rakyat, termasuk mengentaskan problem stunting. Ini karena negara Islam memandang bahwa persoalan kualitas generasi adalah penentu terwujudnya peradaban gemilang. Maka, negara akan melakukan berbagai upaya untuk menangani permasalahan stunting agar tuntas hingga ke akarnya. Di antaranya sebagai berikut:
Pertama, bidang pendidikan. Negara wajib menyelenggarakan pendidikan berkualitas yang bisa diakses oleh seluruh rakyat dengan mudah. Termasuk di dalamnya oleh kaum perempuan. Sistem pendidikan inilah yang akan mencetak individu di dalamnya menjadi insan kamil yang bertakwa dan menguasai iptek.
Melalui sistem ini juga, para perempuan akan memiliki bekal yang mumpuni untuk siap menjalankan peran domestiknya sebagai ibu pencetak generasi berkualitas. Di samping itu, ketakwaan yang terbentuk juga akan menjadi senjata bagi para ibu untuk tangguh menjalankan perannya karena menganggap anak merupakan amanah dari Allah yang harus dijaga dan dididik seoptimal mungkin.
Kedua, bidang ekonomi. Negara akan menetapkan kebijakan pengelolaan harta kekayaan serta mengatur distribusinya secara adil sesuai dengan syariat Islam.
Problem kemiskinan dalam negara Islam akan mampu dientaskan melalui dana zakat. Ini karena distribusi dari harta zakat hanya boleh dialokasikan untuk delapan asnaf sebagaimana disebutkan syariat, termasuk di dalamnya bagi fakir dan miskin.
Selain itu, negara juga wajib mengelola harta-harta kepemilikan umum, seperti hutan, perkebunan, tambang minyak, gas, batu bara dan lautan, secara mandiri dan mendistribusikan hasilnya demi kemaslahatan rakyat, semisal didistribusikan dalam bentuk pelayanan kesehatan yang berkualitas, murah, bahkan gratis. Hal ini sebagaimana sabda Rasulullah saw,
“Kaum muslimim berserikat dalam tiga perkara, yaitu padang rumput, air, dan api". (HR. Abu Dawud dan Ahmad)
Ketiga, bidang politik. Selain melalui alokasi dana zakat, dalam program mengentaskan kemiskinan, negara juga akan mendorong para laki-laki untuk menjalankan kewajibannya sebagai pencari nafkah bagi keluarga. Hal ini didukung penuh oleh negara melalui penyediaan lapangan kerja yang layak.
Selain itu, negara juga akan menerapkan sistem ketahanan pangan yang kuat. Di antaranya dengan optimalisasi potensi kekayaan alam yang ada. Misalnya, potensi ikan di lautan Indonesia yang berlimpah, kaya akan omega-3 yang baik bagi pemenuhan nutrisi anak usia dini.
Negara akan mengelolanya secara profesional agar mampu menyuplay kebutuhan pangan dan gizi masyarakat. Di samping itu, negara juga akan menetapkan kebijakan pengelolaan lahan yang pro pada kaum petani sehingga kebutuhan pangan yang berkualitas bisa dihasilkan dengan optimal.
Maka, problem stunting hanya akan mampu diselesaikan secara menyeluruh melalui penerapan Islam secara kaffah oleh negara. Sesungguhnya hanya hukum Allah saja yang akan membawa rahmah dan kesejahteraan bagi seluruh umat manusia. Sebagaimana firman Allah,
“Kami tidak mengutus engkau, wahai Muhammad, melainkan sebagai rahmat bagi seluruh manusia” (QS. Al Anbiya: 107)
Wallahu ‘alam bishawab.
Oleh : Naning Prasdawati, S.Kep., Ns.
Perawat