Meningkatkan Derajat di Sisi Allah - Tinta Media

Sabtu, 03 Desember 2022

Meningkatkan Derajat di Sisi Allah

Tinta Media - Sobat. Kedudukan dan derajat seseorang akan meningkat di sisi Allah dan di sisi makhluk-Nya sesuai tingkat istiqomah (konsistensi)-nya, kebersihan hatinya, juga sesuai tingkat kecintaannya kepada kebaikan bagi seluruh kaum muslimin, jauhnya dari keburukan dan kejahatan, pengorbanan jiwa dan hartanya di jalan Allah dan untuk mendekatkan diri kepada Allah.

Allah SWT Berfirman :

وَلَا تُخۡزِنِي يَوۡمَ يُبۡعَثُونَ يَوۡمَ لَا يَنفَعُ مَالٞ وَلَا بَنُونَ إِلَّا مَنۡ أَتَى ٱللَّهَ بِقَلۡبٖ سَلِيمٖ

“Dan janganlah Engkau hinakan aku pada hari mereka dibangkitkan, (yaitu) di hari harta dan anak-anak laki-laki tidak berguna, kecuali orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang bersih, ( QS. Asy-Syuára’ (26) :87-89)

Ini salah satu doá Nabi Ibrahim yang diabadikan dalam Al-Qurán. Selanjutnya Ibrahim bermunajat kepada Allah agar ia tidak mengalami penghinaan di hari Kiamat kelak. Ini memberi kesan betapa rendah hatinya seorang nabi, sekalipun ia telah memperoleh derajat yang begitu tinggi di sisi Allah, namun ia masih bermohon agar tidak dihinakan pada hari Kiamat. Ibrahim mengadu kepada Tuhan seraya berkata, "Wahai Tuhan, bukankah engkau telah menjanjikan bahwa aku tidak akan dihinakan di hari Kiamat. Manakah penghinaan yang lebih berat lagi rasanya bagiku daripada penghinaan bertemu dengan bapakku dalam keadaan begini?" Allah merespon doanya dengan berfirman, "Hai Ibrahim, sesungguhnya aku haramkan surga bagi orang-orang kafir."

Sobat. Ayat ini menerangkan tentang kehebatan hari Kiamat. Tiada yang selamat pada hari itu dari siksaan Allah, kecuali orang yang bebas dari dosa dan kesalahan. Harta dan anak keturunan yang dimiliki waktu di dunia tidak satu pun yang bisa menolong. Secara khusus Allah menyebutkan "anak" dalam ayat ini, karena anak-anak itulah yang paling dekat dan paling banyak memberi manfaat kepada orang tuanya di dunia. 

Pada ayat lain, Allah menerangkan bahwa anak-anak adalah harta perhiasan kehidupan keduniawian. Sebaliknya amal yang saleh dan baik pahalanya akan kekal sampai kiamat. Ketika Allah menurunkan ayat tentang emas dan perak (Surah at-Taubah/9: 34), para sahabat bertanya kepada Rasulullah tentang harta apakah yang sebaiknya dimiliki agar mendatangkan faedah (untuk kehidupan ukhrawi). 

Rasulullah menjawab: 

(Kekayaan) yang paling baik ialah lidah yang selalu zikir kepada Allah, hati yang senantiasa bersyukur, dan istri yang saleh menolong suaminya tetap beriman." (Riwayat Ahmad dan at-Tirmidzi dari sauban)

Sobat. Ayat ini menjelaskan bahwa kesenangan yang bakal diperoleh di akhirat, tidak dapat dibeli dengan harta yang banyak. Juga tidak mungkin ditukar dengan anak dan keturunan yang banyak. Sebab masing-masing manusia hanya diselamatkan oleh amal dan hatinya yang bersih. Tetapi orang yang diselamatkan hanyalah mereka yang akidahnya bersih dari unsur-unsur kemusyrikan dan akhlaknya mulia.

Sobat. Hati yang suci (bersih) artinya bersih dari syirik. Ada yang mengatakan, artinya hati yang sehat, yaitu hatinya orang mukmin. Karena hati orang kafir dan munafik adalah hati yang sakit. Menurut pandangan kami hati yang selamat dengan sempurna adalah hati yang bersih dari syirik, keraguan, kemunafikan, dan riya, juga bersih dari kesombongan, dengki, hasud, ujub, muslihat, dendam dan congkak.

Juga bersih dari penyakit-penyakit yang mengeruhkan, mencerai-beraikan, menghilangkan rasa aman, dan memutuskan hubungan persaudaraan kaum muslimin, serta memunculkan dengki dan dendam, melahirkan permusuhan dan kebencian antara sesama kaum muslimin dan mukminin.

Rasulullah SAW mengatakan dalam doánya, “ Ya Allah, Sungguh aku memohon kepada-Mu hati yang bersih.” Maka hati yang bersih yaitu hati yang tak terdapat di dalamnya selain kecintaan kepada Allah, takut kepada-Nya dan takut kepada apa yang menjauhkannya dari Allah SWT.

Sobat. Kenapa Nabi Ibrahim AS mencukupkan diri dengan hanya menyebut hati yang bersih ( Qalbu Salim ). Karena jika hati yang bersih dan baik maka baiklah seluruh jasad. Maka seluruh anggota badan, tangan dan lidah mereka selamat dari menyakiti dan berbuat jahat (kepada orang lain); harta, jiwa, dan kehormatan mereka selamat; kejahatan, kriminilitas dan dosa berkurang.

Sobat. Para ulama mengatakan bahwa baiknya hati ditandai dengan : 1. Membaca Al-Qurán dengan menghayati serta memahami maknanya dan menghayati serta memahami hadits-hadits shahih dari Nabi Muhammad SAW. 2. Mengurangi Makan. 3. Bangun malam dan menghidupkannya dengan ibadah.4. Berdoá di waktu sahur. 5. Berteman dengan orang-orang sholeh. 6. Diam dari berbicara yang tidak berguna. 7. Menjauhkan diri dari orang-orang jahil, dungu dan yang menyia-nyiakan umur mereka. 8. Tidak tenggelam dalam pergaulan bersama manusia dalam hal yang tidak bermanfaat. 9. Makan makanan yang halal, dan ini merupakan pokoknya. Sebab makanan yang halal menerangkan hati dan memperbaikinya, sehingga dengannya seluruh anggota badan tumbuh menjadi bersih, kerusakan terhindarkan dan kemaslahatan tercapai. Makan makanan haram atau syubhat dapat menghalangi hati, menggelapkannya dan mengeraskannya, dan menjadi salah satu factor tak terkabulnya doá.

Allah SWT berfirman:

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ كُلُواْ مِن طَيِّبَٰتِ مَا رَزَقۡنَٰكُمۡ وَٱشۡكُرُواْ لِلَّهِ إِن كُنتُمۡ إِيَّاهُ تَعۡبُدُونَ 

“Hai orang-orang yang beriman, makanlah di antara rezeki yang baik-baik yang Kami berikan kepadamu dan bersyukurlah kepada Allah, jika benar-benar kepada-Nya kamu menyembah.” ( QS. Al-Baqarah (2) : 172 )

Sobat. Di dalam ayat ini ditegaskan agar seorang mukmin makan makanan yang baik yang diberikan Allah, dan rezeki yang diberikan-Nya itu haruslah disyukuri. Dalam ayat 168 perintah makan makanan yang baik-baik ditujukan kepada manusia umumnya. Karenanya, perintah itu diiringi dengan larangan mengikuti ajaran setan. Sedangkan dalam ayat ini perintah ditujukan kepada orang mukmin saja agar mereka makan rezeki Allah yang baik-baik. Sebab itu, perintah ini diiringi dengan perintah mensyukurinya.

يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّاسُ كُلُواْ مِمَّا فِي ٱلۡأَرۡضِ حَلَٰلٗا طَيِّبٗا وَلَا تَتَّبِعُواْ خُطُوَٰتِ ٱلشَّيۡطَٰنِۚ إِنَّهُۥ لَكُمۡ عَدُوّٞ مُّبِينٌ  

“Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan; karena sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagimu.” ( QS. Al-Baqarah (2) : 168 ).

Sobat. Ibnu 'Abbas mengatakan bahwa ayat ini turun mengenai suatu kaum yang terdiri dari Bani Saqif, Bani Amir bin Sa'sa'ah, Khuza'ah dan Bani Mudli. Mereka mengharamkan menurut kemauan mereka sendiri memakan beberapa jenis binatang seperti bahirah yaitu unta betina yang telah beranak lima kali dan anak kelima itu jantan, lalu dibelah telinganya; dan wasilah yaitu domba yang beranak dua ekor, satu jantan dan satu betina, lalu anak yang jantan tidak boleh dimakan dan harus diserahkan kepada berhala. Padahal Allah tidak mengharamkan memakan jenis binatang itu, bahkan telah menjelaskan apa-apa yang diharamkan memakan-Nya dalam firman-Nya:
 
Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah, dan (hewan yang mati) tercekik, yang dipukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan yang diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu sembelih, dan (diharamkan juga bagimu) yang disembelih untuk berhala. Dan (diharamkan juga) mengundi nasib dengan anak panah, itu adalah suatu kefasikan. (al-Ma'idah/5: 3).

Segala sesuatu selain dari yang tersebut dalam ayat ini boleh dimakan, sedangkan bahirah dan wasilah tidak tersebut di dalam ayat itu. Memang ada beberapa ulama berpendapat bahwa di samping yang tersebut dalam ayat itu, ada lagi yang diharamkan memakannya berdasarkan hadis Rasulullah saw seperti makan binatang yang bertaring tajam atau bercakar kuat. 

Allah menyuruh manusia makan makanan yang baik yang terdapat di bumi, yaitu planet yang dikenal sebagai tempat tinggal makhluk hidup seperti manusia, binatang, tumbuh-tumbuhan dan lainnya. Sedang makanan yang diharamkan oleh beberapa kabilah yang ditetapkan menurut kemauan dan peraturan yang mereka buat sendiri halal dimakan, karena Allah tidak mengharamkan makanan itu. Allah hanya mengharamkan beberapa macam makanan tertentu sebagaimana tersebut dalam ayat 3 surah al-Ma'idah dan dalam ayat 173 surah al-Baqarah ini.

Selain dari yang diharamkan Allah dan selain yang tersebut dalam hadis sesuai dengan pendapat sebagian ulama adalah halal, boleh dimakan. Kabilah-kabilah itu hanya mengharamkan beberapa jenis tanaman dan binatang berdasarkan hukum yang mereka tetapkan dengan mengikuti tradisi yang mereka warisi dari nenek moyang mereka, dan karena memperturutkan hawa nafsu dan kemauan setan belaka. Janganlah kaum Muslimin mengikuti langkah-langkah setan, karena setan itu adalah musuh yang nyata bagi manusia.

(DR. Nasrul Syarif M.Si. Penulis Buku Gizi Spiritual. Dosen Pascasarjana IAI Tribakti Lirboyo. Wakil Ketua Komnas Pendidikan Jawa Timur)
Rekomendasi Untuk Anda × +

Bagikan artikel ini

Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini.

Artikel Menarik Lainnya :