Tinta Media - Ketua Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pelita Umat Chandra Purna Irawan menilai KUHP yang disahkan DPR pada Selasa (6/12) cenderung represi.
"Kalau dari bunyinya saja, pasal ini sudah menimbulkan persoalan yang cenderung represi, selanjutnya bagaimana proses implementasi dari pasal," ungkapnya dalam program Kabar Petang: KUHP Baru Menjadi Alat Represi? Melalui kanal Youtube Khilafah News, Kamis (8/12/2022).
Chandra mengatakan, RKUHP yang telah disahkan DPR menjadi KUHP masih mengandung spirit kolonialisme. "Yang menjadi spiritnya adalah bukan sekedar mengganti undang-undang kolonial dengan undang-undang buatan sendiri, tetapi bagaimana undang-undang yang kemudian disusun dan disahkan itu adalah undang-undang yang kemudian tidak menjerat kebebasan sipil," tuturnya.
Menurutnya, di dalam KUHP yang baru, potensi terhadap jeratan sipil begitu besar. "Misalnya terkait hak demonstrasi yang tidak mendapatkan izin maka akan dipidana, pertanyaannya adalah KUHP baru ini memindahkan ranah pemberitahuan menjadi ranah izin, ranah hak menjadi izin. Padahal izin adalah untuk sesuatu yang sudah dilarang, sedangkan demonstrasi itu adalah hak, pastinya tidak perlu izin cukup dengan pemberitahuan," jelasnya.
Chandra mengungkapkan bahwa izin adalah untuk sesuatu yang dilarang, dengan ada izin maka menjadi boleh. Misalnya, seorang laki-laki dan wanita tentu dilarang untuk melakukan hubungan, tapi dengan ada izin berupa menikah maka dia menjadi boleh.
"Sejumlah pihak khawatir dengan polisi yang akan salah tafsir dalam penerapan pasal-pasal baru di RKUHP, kekhawatirannya itu didasari terhadap kinerja POLRI yang dinilainya sering menyimpang dan merekayasa kasus," ungkapnya.
"Memang penafsir pertama dalam proses penerapan pasal itu adalah polisi, dan biasanya untuk meminta perbandingan, polisi akan memanggil keterangan ahli, potensi represi itu terjadi dalam KUHP karena memindahkan sesuatu yang menjadi hak menjadi ranah perizinan mestinya cukup dengan pemberitahuan, sejumlah aturan baru RKUHP apalagi yang dianggap publik sebagai pasal karet akan menimbulkan multi interpretasi dalam penegakan hukum di kepolisian," tambahnya.
Chandra menjelaskan, beberapa pasal ada yang multi tafsir, misalkan menyebarkan paham yang bertentangan dengan pancasila. "Siapa yang berhak menafsirkan itu? kalau pemerintah, yang menafsirkannya adalah kepolisian. Saya kira salah, karena kalau dalam teori hukum pidana, sesuatu yang tidak ditulis bentuk pelanggarannya, dia tidak dapat dipidana, karena pidana merupakan pasal-pasal dalam KUHP itu. Jadi, kalau tidak disebutkan di situ tidak dapat dipidana," ujarnya.
Solusi terakhir, ujar Chandra, ada di MK, tapi publik menaruh curiga dengan MK. "Khawatir MK tidak berani melakukan pembatalan karena hakim MK sendiri dapat di recall oleh DPR atau pemerintah," pungkasnya. [] Evi