Tinta Media - Dunia saat ini tengah dipertontonkan dengan kompleksitas pengakuan gender yang bias. L68T (lesbian, gay, biseksual, dan transgender) mencari ruang pentas agar diterima eksistensinya. Dalih hak asasi manusia menjadi tameng mereka untuk menunjukkan keberadaannya. Benarkah mereka harus diakui dan dihormati keberadaannya? Bagaimana negeri kita dan Islam memandang persoalan ini?
Keberanian Rusia sebagai negara liberal menetapkan aturan RUU tentang pembatasan eksistensi L68T di ruang publik patut diapresiasi positif. Di tengah gempuran promosi yang dilakukan kaum L68T, RUU di negara sebesar Rusia akan memberi dampak terhadap negara-negara lainnya.
Dilansir dari Moskwa, Kompas.com (25/11/2022) bahwa Parlemen Rusia telah menyetujui RUU Propaganda L68T dan membatasi tampilan L68T. UU ini akan mengatur setiap tindakan atau informasi yang dianggap sebagai upaya untuk mempromosikan homoseksualitas, baik di depan umum, online, atau dalam film, buku, atau iklan. Semua itu akan dikenakan denda yang berat. RUU baru juga melarang menampilkan perilaku L68T kepada anak-anak. UU ini sebelumnya hanya melarang promosi gaya hidup L68T yang ditujukan untuk anak-anak.
Hukuman denda yang ditetapkan bagi pribadi maksimal mencapai sekitar Rp25 juta, sedangkan bagi perusahaan hingga mencapai sekitar Rp258 juta. Larangan propaganda L98T yang dikeluarkan oleh rezim Vladimir Putin ini telah resmi diberlakukan bagi orang dewasa hingga anak-anak di Rusia.
Detail denda berdasarkan laporan media pemerintah TASS, Jumat (25/11/2022) adalah sebagai berikut: denda bagi pribadi mencapai 50 ribu – 100 ribu rubles (sekitar Rp12 juta – Rp25 juta), bagi pejabat antara 100 ribu – 200 ribu rubles ( sekitar 12 juta – 50 juta), sementara perusahaan mencapai 800 ribu – 1 juta rubles (sekitar 207 juta – 400 juta). Propaganda yang dilakukan terhadap anak akan diberi denda dua kali lipat dan untuk perusahaan denda maksimalnya bisa penyetopan operasional selama 90 hari, (Liputan6.com, Moskwa (25/11/2022).
Kebijakan yang ditetapkan Parlemen Rusia dalam mengesahkan RUU tentang larangan L98T ini bertujuan untuk membela moralitas di hadapan apa yang mereka anggap sebagai nilai-nilai dekaden “non-Rusia” yang dipromosikan oleh Barat. Rasa keakuan dari Rusia ini justru secara tidak langsung menunjukkan kekuatannya atas dominasi Barat dalam menancapkan ide-ide liberalisnya. Bagi mereka L98T telah merusak tatanan kehidupan khas Rusia yang memang anti Barat. Hak asasi manusia yang dipromosikan Barat sebagai salah satu alat pelegalan kaum L98T di dunia ini tidak diadopsi oleh Rusia dan menganggap keberadaannya sebagai perbuatan yang terlarang.
Selain itu, diketahui bahwa larangan L98T tersebut terkait juga dengan misi suci Rusia dalam perang melawan Ukraina. Dikutip dari Sindonews.com, (18/7/2022), menurut Komandan Chechnya Apti Alaudinov, yang berperang di Moskow menyebutkan bahwa Perang Rusia di Ukraina sebagai perang suci melawan nilai-nilai setan Barat dan komunitas L98TQ (lesbian, gay, biseksual, transgender, dan queer). Ia pun memuji Presiden Rusia Vladimir Putin karena berdiri melawan Barat dan NATO, menggambarkan mereka sebagai kejahatan. Baginya Putin telah mewakili apa yang seharusnya dilakukan negara-negara Islam dengan melawan AS dan NATO.
Sungguh sebuah tamparan keras dari pernyataan tersebut bagi negara-negara Islam. Begitu pun dengan Indonesia yang mayoritas muslim. Selama ini tidak ada reaksi atau aksi nyata dalam menggerus, bahkan mencegah masuknya nilai-nilai Barat ke dalam negaranya yang mampu merusak tatanan kehidupan sosial, terutama nilai agamis yang dipegang teguh negara-negara Islam. Hal ini juga memperlihatkan bagaimana kepemimpinan yang kuat bisa memengaruhi kebijakan yang ditetapkan dan diterapkan di tengah masyarakat.
Lihat saja bagaimana denda berat yang akan diterima pelaku L98T jika memaksakan diri untuk eksis di Rusia. Detail tindakan yang berkaitan dengan LGBT ditetapkan hukumannya. Tidak terbayangkan jika hukuman yang akan ditetapkan itu berasal dari Islam, maka efek jera akan jauh lebih dirasakan para pelaku karena hukumannya jelas dan tegas. Bukankah Islam sangat melarang perbuatan laknat ini? Bagaimana pandangan Indonesia yang mayoritas muslim terhadap eksistensi L98 ini? Tentu saja sangat miris karena mengekor pada Barat dan menganggap L98T sebagai penerapan hak asasi manusia maka Indonesia tidak memiliki aturan larangan bagi L98T.
Padahal, semakin lama komunitas tersebut semakin banyak di negeri ini. Mereka tidak malu untuk memperlihatkan diri dan menunjukkan keberadaannya di berbagai sektor publik. Tidak ada sangsi sosial dari masyarakat. Ini menambah kepercayaan diri mereka untuk terus berkembang, mencari mangsa baru.
Namun, negeri yang harusnya terhindar dari perbuatan terlaknat ini justru membuka tangan lebar-lebar untuk memahami keberadaan mereka. Hal ini disebabkan karena negeri ini menganut paham liberalisme yang di usung Barat. Sehingga perilaku L98T pun dianggap wajar untuk tumbuh dan berkembang.
Sudah seharusnya Indonesia mengacu kepada hukum Islam, mengingat mayoritas masyarakatnya adalah umat Islam. Bagi seorang muslim, keyakinan akan hukum Allah sebagai hukum terbaik hendaknya senantiasa dipegang dengan sepenuh hati. Ini karena setiap hukum syarak membawa maslahat untuk manusia.
Islam sangat menentang, bahkan melaknat perbuatan L98T. Perbuatannya dikategorikan buruk, keji, dan dibenci yang disematkan pada sebutan fahsiyah. Sebagaimana yang terjadi di masa Nabi Luth, dalam Firman Allah Swt.:
“Dan (ingatlah) ketika Luth berkata kepada kaumnya: “Sesungguhnya kamu benar-benar mengerjakan perbuatan fahsiyah yang belum pernah dikerjakan oleh seorang pun dari umat-umat sebelum kamu.”,” (Q.S. al-Ankabut [29]: 28).
Selain itu, perbuatan tersebut dinyatakan juga dengan kata khabits, yakni sebagai sesuatu yang dibenci, jelek, dan hina, baik secara empiris maupun logis. Sebagaimana dalam Firman Allah Swt.:
“Dan kepada Luth, Kami telah berikan hikmah dan ilmu, dan telah Kami selamatkan dia dari (azab yang telah menimpa penduduk) kota yang mengerjakan perbuatan-perbuatan habits (khaba’its). Sesungguhnya mereka adalah kaum yang jahat lagi fasik,” (Q.S. al-Anbiya [21]: 74).
Dengan demikian, maka perlu aturan yang tegak, jelas dalam melarang tumbuh dan berkembangnya kaum) ini dengan sangsi tegas seperti dalam hukum syarak. Tegaknya aturan tersebut harus bersifat menyeluruh, mulai dari edukasi kepada masyarakat (meliputi pendidikan dan pembinaan berbasis Islam), sehingga terwujud individu yang bertakwa diiringi kontrol sosial di tengah masyarakat.
Aturan ini dapat diterapkan jika pemimpin dan negaranya mendukung pelaksanaannya. Pemimpin dengan tegas mengharamkan, melarang keberadaan kaum L98T, sedangkan negaranya menerapkan aturan Islam secara kaffah, menyeluruh. Hanya dengan demikian, segala aturan dapat diterapkan dan diaplikasikan oleh masyarakat atas dasar ketakwaan kepada Allah Swt.
Seharusnya para pemimpin negara-negara Islam dan Indonesia sebagai negara dengan mayoritas muslim), melaksanakan ketetapan hukum syarak yang telah diatur di dalam kitabullah, sehingga akan tercipta masyarakat yang berkualitas, jauh dari inisiasi nilai-nilai buruk dari Barat atau selain Islam. Wallahu’alam bi shawab.
Oleh: Ageng Kartika
Pemerhati Sosial