Ironi, Negara Agraris Pecandu Impor Beras - Tinta Media

Sabtu, 10 Desember 2022

Ironi, Negara Agraris Pecandu Impor Beras

Tinta Media - Kebijakan impor beras ibarat rutinitas tahunan di Indonesia. Ironis, sebab negeri ini dikenal sebagai negara agraris, bahkan sejak masa kolonial penjajahan. Harapan swasembada pangan hanyalah ilusi yang digaungkan oleh setiap rezim yang berkuasa. Faktanya, impor beras terus berlanjut meski sebenarnya justru merugikan petani pribumi. 

Baru-baru ini, Menteri Perdagangan (Mendag) Zulkifli Hasan, alias Zulhas, buka suara mengenai ketersedaiaan beras dalam negeri. Zulhas berujar bahwa persediaan beras di Bulog tidak boleh kurang dari 1,2 juta ton. Ketersediaan pasokan ini menjadi penting karena bisa berpengaruh terhadap inflasi pangan. Kondisi ini berbeda dengan komoditas lain, seperti cabai dan bawang. 

“Beras kalau naik Rp10 saja bisa berpengaruh pada inflasi hingga 3,6 persen. Kalau cabai atau bawang naik, pengaruhnya cuma 0,1 persen," ujar politikus Matahari Putih tersebut.  

Dia mengatakan pemerintah belum mengambil keputusan impor. Namun, Bulog sudah membeli beras di luar negeri.

"Belinya sudah, impornya belum,” ujar Zulhas ketika ditemui wartawan di The Westin Hotel Jakarta, Selasa, 29 November 2022 (tempo.com, 29/11/2022).

Pernyataan mendag tersebut merupakan respon dari kabar tirisnya ketersediaan pasokan beras di gudang bulog. Kondisi ini pertama kali dikeluhkan oleh para pedagang Pasar Induk Beras Cipinang (PIBC). Pasalnya, pasokan beras dari Bulog per harinya berkurang dari 3000 ton menjadi hanya sekitar 150 ton saja.

Persoalan impor beras bukan persoalan baru bagi Indonesia. Hampir setiap tahun Indonesia rutin mengimpor beras dari negara lain. Anehnya, tidak ada solusi apa pun, bahkan setelah puluhan tahun berlalu. Siapa pun presiden dan menterinya, kebijakannya tidak jauh berbeda. Solusinya adalah impor beras, dan hal ini tidak pernah dianggap sebagai masalah besar. Impor justru dianggap tindakan yang baik dan harus dilakukan. Padahal, faktanya petani pribumi harus menanggung dampak yang tidak menyenangkan, yaitu anjloknya harga gabah.

Polemik impor beras ini sesungguhnya tidak perlu terjadi berlarut-larut apabila pemerintah serius dalam melakukan pengelolaan pertanian di Indonesia. Swasembada beras sebenarnya bukanlah hal yang amat jauh untuk dicapai mengingat Indonesia beriklim tropis dengan lahan yang subur membentang sangat luas di seluruh negeri. Namun sayang, hal ini tidak diimbangi dengan pengelolaan yang baik dan efisien, sehingga swasembada beras hingga saat ini hanya menjadi mimpi.

Bulog sendiri adalah sebuah badan yang bertanggung jawab atas stok beras negara. Tugasnya adalah menyerap hasil panen para petani untuk dijadikan cadangan pangan dalam negeri. Teorinya memang bagus, tetapi pada prakteknya, Bulog membeli hasil panen petani dengan harga yang lebih rendah daripada swasta sehingga petani pun enggan menjual hasil panennya kepada pemerintah. Hal seperti ini seharusnya tidak terjadi. Penyerapan hasil pertanian dalam negeri, apalagi menyangkut makanan pokok rakyat, harusnya menjadi tanggung jawab penuh pemerintah.

Lebih ironis, untuk menjamin stok beras di gudang bulog, pemerintah memutuskan untuk membeli beras dari luar negeri. Bukan hanya tidak bijaksana, tapi kebijakan semacam ini sangat melukai hati para petani. Belum lagi petani harus dihadapkan dengan persoalan mahalnya harga pupuk. Tidak heran jika produksi beras kian menurun. Keterpurukan Ini adalah wujud dari keputusasaan petani yang tidak kunjung sejahtera, padahal hidup di dalam negara agraris.

Lalu mengapa pemerintah memilih impor dibandingkan membeli dari petani sendiri? Apakah harga beras luar negeri lebih murah daripada dalam negeri? Jawabnya iya. Biaya produksi padi di Indonesia memang tergolong tinggi. Di antaranya biaya irigasi dan pupuk di Indonesia tergolong sangat mahal, sehingga petani mau tidak mau harus memasang harga yang sesuai agar tidak merugi. Namun, masalah biaya produksi yang tinggi ini adalah masalah sistemik yang tidak bisa diselesaikan oleh para petani sendiri. Pemerintahlah yang seharusnya memberi solusi, bukan malah membeli beras dari luar negeri.

Impor beras ekstrem pada akhirnya bisa menimbulkan kerugian dan bahaya besar bagi Indonesia. Dampak paling berbahaya dari adanya impor beras adalah para petani di desa bisa mogok menanam padi. Para petani bila terus mengalami kerugian pastinya akan mencari alternatif lain selain dari menanam padi. Jika hal itu terjadi, Indonesia akan kehilangan stabilitas dan kedaulatan pangan. Bukan tidak mungkin, Indonesia akan bergantung pada negara lain dalam hal makanan pokok. Tentu ini sangat berbahaya.

Negara luar yang menjadi langganan impor beras Indonesia, seperti Vietnam dan Thailand, bisa saja menaikkan harga beras secara sepihak. Sebab pada setiap bisnis, pasti terdapat intrik politik. Thailand dan Vietnam akan melihat dan memperhitungkan kondisi Indonesia. Jika para petani benar-benar mogok menanam padi, maka bukan tidak mungkin kedua negara tersebut akan menggenjot harga menjadi lebih mahal. Jadilah negara kita kelimpungan untuk membeli beras. Maka benar adanya, bahwa swasembada pangan sangat penting bagi suatu negara.

Indonesia adalah negara agraris karena memiliki lahan pertanian yang sangat luas dan iklim yang mendukung. Namun, masalah impor beras nyatanya sudah terjadi selama bertahun-tahun. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) dari 2000 hingga 2019 tercatat bahwa Indonesia selalu impor beras. Dalam rentang waktu tersebut, pemerintah paling banyak mengimpor beras pada tahun 2018 yakni hingga mencapai 2.253.824,5 ton atau setara US$ 1,03 miliar (solopos.com, 23/03/2021). Beras sebanyak itu diimpor dari sekitar tujuh negara, yakni Vietnam, Thailand, China, India, Pakistan, Myanmar, dan lainnya. 

Hobi impor beras yang bagai candu bagi pemerintah ini, mencerminkan buruknya sistem pengelolaan negara. Persoalan ini menunjukkan adanya kegagalan perencanaan penyerapan beras cadangan dan buruknya koordinasi berbagai pihak terkait, baik pemerintah, petani maupun swasta. Selain itu, sistem ekonomi kapitalisme memunculkan kebijakan pengelolaan pangan yang tidak berpihak pada rakyat. Kebijakan ekonomi hanya memperhitungkan untung rugi kaum kapital, bukan kemaslahatan seluruh rakyat. 

Keterpurukan semacam ini tidak akan terjadi apabila diterapkan sistem Islam secara menyeluruh dalam semua lini kehidupan, termasuk tata kelola pertanian. Islam memiliki sistem pengelolaan yang terbaik, yang akan menjamin ketersediaan cadangan pangan oleh negara dan melindungi petani beras sehingga dapat berproduksi  optimal.

Dunia Islam di masa kekhalifahan tercatat telah menguasai teknologi pangan yang lebih maju dari peradaban lain, bahkan dengan Barat sekalipun. Islam memandang pertanian merupakan tiang utama dalam ketahanan sebuah negara, maka segala proses pertanian akan sangat diperhatikan. Pemerintah Islam akan menyediakan anggaran yang memadai untuk mendukung petani dalam menyediakan benih berkualitas, teknologi canggih, dan mempermudah penyediaan penunjang pertanian yang baik seperti pupuk dan pestisida.

Negara dalam sistem Islam juga akan mengatur pasar sedemikian rupa agar ramah bagi para petani dalam negeri. Impor tidak akan dilakukan selama petani dalam negeri mampu mencukupi kebutuhan pasar. Dengan begitu, hasil panen petani akan dihargai dengan pantas. Kesejahteraan dan keberkahan hidup petani dan seluruh rakyat hanya bisa terwujud dalam sistem Islam. 

Sebagaimana firman Allah Swt. dalam surat Al-A'raf ayat 96. "Sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, niscaya Kami akan membukakan untuk mereka berbagai keberkahan dari langit dan bumi. Akan tetapi, mereka mendustakan (para rasul dan ayat-ayat Kami). Maka, Kami menyiksa mereka disebabkan oleh apa yang selalu mereka kerjakan". (QS. Al-A’raf: 96)

Oleh: Dinda Kusuma Wardani T
Sahabat Tinta Media

Rekomendasi Untuk Anda × +

Bagikan artikel ini

Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini.

Artikel Menarik Lainnya :