Tinta Media - Koordinator Indonesia Valuation for Energy and Infrastructure (Invest) Ahmad Daryoko mengatakan privatisasi PLN itu penjajahan.
“Kalau dirunut dari akar masalahnya, program privatisasi PLN ini esensinya penjajahan juga, karena berawal dari terbitnya LOI (Letter Of Intent) pada 31 Oktober 1997 sebagai dampak dari hutang luar negeri yang saat itu terakumulasi sebesar AS$ 140 miliar,” tuturnya kepada Tinta Media, Jumat (23/12/2022).
Diantara isi LOI adalah, negara diminta untuk tidak urus lagi BUMN Strategis Pelayanan Publik (seperti PLN). “Dari sini saja sudah terlihat bahwa kedaulatan ekonomi sudah diacak-acak oleh eksternal, apa itu artinya kalau bukan penjajahan gaya baru?” tanyanya retoris.
Apalagi, lanjutnya, pada 25 Agustus 1998 IFIs (WB,ADB,IMF) mengarahkan strategi privatisasi tersebut dalam sebuah grand design bernama The Power Sector Restructuring Program (PSRP) yang kemudian menjadi naskah akademik lahirnya Undang-Undang Ketenagalistrikan.
“Dalam PSRP tersebut jelas-jelas IFIs mendikte Pemerintah agar PLN di unbundling secara horisontal menjadi; pertama, kawasan PLN Jawa-Bali. Selanjutnya kawasan Jawa-Bali diterapkan kebijakan privatisasi/dijual ke swasta secara unbundling vertikal. Dan saat ini sudah dikuasai Aseng, Asing dan Taipan 9 Naga,” urainya.
Selanjutnya kawasan Luar Jawa-Bali, kata Daryoko, di bentuk PLW (Perusahaan Listrik Wilayah) yang nantinya diserahkan ke PEMDA setempat. “Dan untuk menggolkan PSRP serta mempersiapkan RUU Ketenagalistrikan pada 1999, ADB menggelontorkan dana ke Pemerintah Indonesia sebesar AS$ 400 juta dengan rincian : AS $ 380 juta sebagai bantuan program, AS $ 20 juta sebagai bantuan Capacity Building,”bebernya.
Menolak
Daryoko mengatakan, begitu lahir pada 18 Agustus 1999 Serikat Pekerja PLN (SP PLN) langsung bereaksi menolak PSRP diatas karena dinilai sebagai penjajahan ekonomi.Tidak perlu sampai melihat bahwa akibat penjajahan ekonomi ini kemudian tarif listrik menjadi sangat mahal akibat dikuasai Asing. “Sekali lagi karena adanya semangat tidak mau dijajah karena penjajah pasti akan memeras keuntungan dari yang dijajah,” tegasnya.
Dari adanya sense of freedom (semangat tidak mau dijajah tersebut), lanjutnya, SP PLN kemudian bergabung dengan PSI (Public Service International yang berpusat di Jeneva) pada 2001 dan mengikuti Seminar Ketenagalistrikan di luar negeri.
“Dari situlah tahu bagaimana apabila sebuah Perusahaan Listrik Negara di privatisasi/dijual ke swasta baik lokal maupun internasional, akhirnya tarif listrik melejit antara 4-5 kali lipat, dan bahkan seperti Kamerun saat peak load bisa melejit sampai 10 kali lipat,” pungkasnya. [] Irianti Aminatun