Tinta Media - Petani siap-siap menerima kado pahit di akhir tahun. Belum hilang dampak kenaikan BBM, pemerintah sudah merencanakan impor beras. Dengan alasan cadangan beras menipis, untuk memenuhi permintaan maka diputuskan untuk impor.
Direktur Utama Perum Bulog Budi Waseso (Buwas) secara terbuka mengungkapkan alasan mencetuskan rencana mengimpor beras. Sebelumnya Buwas mengatakan, Bulog memiliki komitmen stok beras sebanyak 500 ribu ton di luar negeri. (CNBC Indonesia)
Saat rapat dengar pendapat dengan Eselon I Kementerian Pertanian (Kementan), Kepala Badan Pangan Nasional (Bapanas), dan Direktur Utama Holding Pangan ID Food,
Buwas mengungkapkan bahwa ia mendapat penugasan untuk memiliki stok beras sebanyak 1,2 juta ton hingga akhir tahun 2022.
Buwas menjabarkan, per 22 November 2022, Bulog telah melakukan pengadaan 912 ribu ton beras untuk cadangan beras pemerintah (CBP). Serapan tertinggi terjadi di bulan Maret dan Juni.
Sudah jatuh tertimpa tangga adalah ungkapan tepat untuk menggambarkan kondisi masyarakat, khususnya petani saat ini. Mengelola sawah membutuhkan dana besar, untuk pupuk, pengairan, tenaga kerja, alat-alat pertanian, hingga lahan yang tak begitu luas. Di saat panen raya antara bulan Maret-Juni akan ada gelontoran beras impor. Artinya, harga akan bersaing. Apalagi jika mutu beras lokal kurang bagus, tentu menyebabkan jatuhnya harga gabah. Padahal, saat panen petani biasanya menjual sebagian untuk menutup utang modal awal sekaligus buat modal tanam selanjutnya.
Tak ada pemeliharaan dan perlindungan sama sekali untuk produksi dalam negeri oleh pemerintah. Ibarat ring tinju, tidak ada klasifikasi kelas berat atau ringan. Semua bertarung dalam satu ring. Tentu saja petani yang akan nyungsep alias bangkrut sebangkrut-bangkrutnya.
Demikianlah cara berpikir pemimpin yang kapitalistik, menambah panjang penderitaan masyarakat. Cara pragmatis hanya mempertimbangkan keuntungan dan kerugian. Yang jelas mendapatkan keuntungan adalah para kapital besar. Rakyat tetap berada di pihak yang kalah dan tidak bisa berbuat banyak menghadapi kebijakan zalim tersebut.
Harusnya pemerintah melakukan kebijakan ekstenfikasi, yaitu menghidupkan lahan yang tidak diolah dengan mengaktifkannya kembali agar siap ditanami, atau membuka lahan baru yang selama ini ditelantarkan oleh pemiliknya. Cara seperti itu dalam Islam dikenal dengan menghidupkan tanah mati. Jika tiga tahun berturut-turut tidak ditanami atau diolah, maka tanah diambil negara dan akan diberikan kepada siapa saja yang bisa mengelolanya.
Dari sini, tanah luas yang terbentang akan produktif dan kemungkinan produksi melimpah cukup untuk memenuhi kebutuhan nasional. Tak perlu impor, karena sejatinya hal itu menjadikan negara lain yang untung besar dan negara pengimpor hanya dijadikan pasar yang dipaksa menerima tanpa ada peningkatan kesejahteraan bagi masyarakat.
Selanjutnya, ada kebijakan intensifikasi, yaitu dengan program penyaluran pupuk, peningkatan kualitas tekhnologi, seperti alat pembajakan tanah, alat pengairan, alat panen gabah menjadi beras yang efektif dan lain-lain. Maka kewajiban negara untuk menyediakan dengan harga murah bahkan bisa gratis.
Dengan dua kebijakan di atas, bisa di pastikan produksi pangan seperti beras, jagung, kedelai, garam, gula dan yang lain tidak akan impor. Produksi pangan akan melimpah dan negara menjadikuat.
Namun, apakah pemerintah mau melakukan dua kebijakan di atas? Rasanya mustahil jika sistem yang diterapkan masih kapitalisme, sistem yang berorientasi pada keuntungan tanpa melihat dampak bahayanya bagi masyarakat.
Kebijakan ekstensifikasi dan intensifikasi pernah diterapkan oleh Umar bin Khathab saat menjadi Amirul Mukminin, beliau membuat kebijakan yang memudahkan masyarakat mengelola lahan hproduktif.
Amirul mu'minin Umar mendorong pada setiap daerah taklukan untuk meningkatan produktivitas lahan pertanian. Tanah taklukan tidak ia bagi-bagikan kepada para mujahiddin. Tanah tetap pada pemiliknya dengan harapan pengelolaannya optimal. Beliau juga menetapkan kharaj dari tanah taklukkan agar pemasukan pada negara tetap stabil.
Negara menjamin pembangunan infrastruktur yang mendukung pertanian, seperti pembuatan irigasi dan saluran air, serta akses transportasi di wilayah produksi pertanian. Umar juga berusaha untuk mengaktifkan lahan mati, serta memberikan insentif permodalan dan sistem bagi hasil kepada para petani.
Sekali lagi, dengan mengambil lslam sebagai solusi, pasti negeri ini tidak akan impor lagi. Ketahanan pangan akan kuat serta mandiri,. Kesejahteraan masyarakat akan terwujud dengan mudah.
Allahu a’lam
Oleh: Umi Hanifah
Sahabat Tinta Media