Tinta Media - Sudah sejak lama Indonesia dijuluki sebagai negara agraris, karena sebagian besar penduduknya bekerja di sektor pertanian. Bahkan, pada tahun 2016 laporan Badan pusat statistik (BPS) yang pada website resmi Kementerian Pertanian Indonesia menyatakan bahwa produksi padi Indonesia akan mengalami kenaikan tertinggi dalam sepuluh tahun terakhir. Kabar ini di laporkan pada masa periode pertama Presiden Jokowi menjabat.
Dengan fakta-fakta tersebut, tentu tidak diragukan lagi bahwa Indonesia sangat menjanjikan dalam sektor komoditi pangan utama ini. Namun, pada faktanya di tahun yang sama pada kuartal 1 tahun 2016, Indonesia mencatat impor beras terbesar, yakni mencapai 981,99 ribu ton dengan nilai US$401 juta (databoks, 26/11/22). Angka tersebut merupakan catatan tertinggi selama satu dekade terahir saat ini.
Kemudian (katadata.co.id) juga mencatat prestasi impor Indonesia secara akumulasi periode Januari-Desember 2021, mencapai 407,74 ribu ton. Angka tersebut tumbuh 14,44% dibanding periode yang sama tahun sebelumnya.
Hingga di akhir tahun 2022, kabar terbaru mengenai permintaan Bulog untuk meminta impor kepada pemerintah cukup menjadi keresahan para petani. Berdasarkan keterangan yang didapat dari media (katadata.co.id, 26/11/22), diterangkan kronologisnya sebagai berikut:
'Bulog kekurangan stok cadangan beras pemerintah (CBP) sehingga mengusulkan untuk impor. Impor ‘perlu’ dilakukan karena penyerapan beras oleh Bulog rendah, sementara Kementan gagal menyediakan beras yang dijanjikan untuk menutupi kekurangan stock tersebut. Di sisi lain, petani enggan menjual beras ke bulog karena harga beras sedang tinggi, sementara Bulog membeli dengan harga yang lebih rendah.'
Data-data impor beras setiap tahunnya seolah menjadi dejavu para petani yang mengharapkan harga gabah mahal ketika panen tiba. Kejadian tersebut seolah tidak berujung di negara yang digadang menjadi negara swasembada beras ini. Nasib petani sebagai pahlawan pangan tetap miris.
Permasalahan seolah berputar-putar pada lingkaran yang sama, yaitu gagalnya Bulog menyerap beras dari petani dalam negeri. Ini karena harga yang ditawarkan cukup rendah. Hal ini membuat rantai beras kadang tersendat di alur tengkulak yang menyimpan beras karena menunggu harga naik, sehingga tersendat pula jumlah beras yang mengalir masuk ke pemerintah dan Bulog dari petani untuk menjadi cadangan beras negara.
Persoalan ini menunjukkan adanya kegagalan perencanaan penyerapan beras cadangan dan buruknya koordinasi berbagai pihak terkait. Selain itu, kondisi tersebut juga dipengaruhi oleh kebijakan pengelolaan pangan yang bersifat kapitalistik sehingga tidak berpihak pada petani, seperti naiknya harga pupuk yang membuat produksi berkurang.
Tercekik dari sisi mana pun, mungkin begitu gambaran yang tepat untuk petani kita saat ini. Harga jual yang murah ketika musim panen dan biaya produksi yang cukup tinggi bak dinding besar menghimpitnya. Penghasilan dari bertani tidak menutup modal awal yang di keluarkan. Begitulah kurang lebih kondisi yang membuat petani kita tetap miskin di negara yang subur ini.
Tentu keegoisan sistem kapitalislah yang menjadi dalang utama ironi ini. Pemerintah yang berpihak pada pasar bebas menderaskan kegiatan impor oleh negara maju ke negara berkembang. Bukan lagi rahasia jika para kapitalislah yang akan meraup keuntungan menjanjikan. Itu sebabnya, masalah pertanian di negeri ini tetap tidak terselesaikan.
Hal di atas tidak akan mungkin terjadi pada sistem yang menerapkan aturan Islam. Islam memiliki sistem pengelolaan yang terbaik, yang akan menjamin ketersediaan cadangan pangan oleh negara dan melindungi petani beras sehingga dapat berproduksi secara optimal. Islam secara menyeluruh mengatur sektor pertanian, mulai dari penyediaan lahan maupun hasilnya. Intensifikasi lahan benar-benar diterapkan. Lahan pertanian yang kosong harus digarap oleh pemiliknya.
Dengan menambah peruntukan lahan pertanian secara aktif, menjadikan negara mudah untuk swasembada pangan. Demikian juga dengan infrastrukstur yang memadai, terutama pada bagian distribusi hasil pertanian. Dengan begitu, harga tidak jatuh karena alur hulu ke hilir pada sistem pertanian terlalu jauh.
Sistem Islam juga menyediakan pasar sehat dan layak untuk menghindari daya saing masyarakat yang terlalu kontras, seperti yang terjadi pada sistem saat ini. Pemerintahan dalam Islam menjaga kondisi harga yang terjangkau untuk konsumen dan harga yang stabil untuk produsen, yaitu dengan menjamin mekanisme harga komoditi pertanian dan harga komoditi hasil industri pertanian yang berjalan secara transparan.
Begitulah sistem Islam memamparkan solusinya secara jelas dalam suatu masalah. Menjalankan aturan Islam, selain dapat menyejahterakan manusia, juga merupakan bentuk ketaatan kita kepada Sang Khalik, Allah Subhanahu wata’ala. Wallahualam bi shawab.
Oleh: April Rain
Aktivis Dakwah