IJM: Pengesahan RKUHP Masih Melanggengkan Kolonialisme - Tinta Media

Jumat, 09 Desember 2022

IJM: Pengesahan RKUHP Masih Melanggengkan Kolonialisme

Tinta Media - Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) yang disahkan DPR pada 6 Desember lalu dinilai Direktur Indonesia Justice Monitor (IJM) Agung Wisnuwardana, masih melanggengkan kolonialisme.
 
“Negeri ini tetap melanggengkan budaya kolonialisme yang dimiliki oleh Belanda dan ternyata warisan itu dilanjutkan dalam bentuk represifitas dan otoritarianisme,” tuturnya Rabu (7/12/2022) melalui kanal YouTube Juctice Monitor.
 
KUHP di masa Belanda itu salah satu alasannya untuk merepresif rakyat bumi putera dan hari ini pasal-pasal terkait dengan represifitas dan otoriter ini masih ada. Ia mencontohkan di pasal 256, setiap orang yang tanpa pemberitahuan terlebih dahulu kepada yang berwenang mengadakan pawai, unjuk rasa atau demonstrasi di jalan umum atau tempat umum yang mengakibatkan terganggunya kepentingan umum menimbulkan keonaran atau huru-hara dalam masyarakat dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 bulan atau pidana denda paling banyak kategori 2.
 
“Kalimat tanpa pemberitahuan terlebih dahulu, ini sebenarnya absurd. Kenapa? Karena tugas para demonstran (orang yang akan membikin kegiatan publik itu) kan memberitahu. Kewajiban dari aparat keamanan memberikan surat tanda pemberitahuan tersebut. Tapi kenyataan di lapangan seringkali ini tidak terjadi. Aparat keamanan memiliki pandangan sendiri yang cenderung mengikuti pola-pola yang diinginkan rezim penguasa, sehingga banyak demo-demo yang dianggap mengganggu rezim penguasa seringkali tidak mendapatkan surat tanda pemberitahuan,” urainya.
 
Contoh lain, sebutnya, di pasal 218, setiap orang yang di muka umum menyerang kehormatan atau harkat dan martabat diri, presiden dan atau wakil presiden dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 tahun dan pidana denda paling banyak kategori 4.
 
 “Kalimat menyerang kehormatan atau harkat martabat diri presiden dan wakil presiden ini bisa menjadi pasal karet. Bagaimana kalau kritik itu disampaikan dan kritik itu kemudian dianggap mengganggu harkat martabat diri dari presiden wakil presiden. Orang yang mengkritik presiden, wakil presiden ini bisa dipenjara karena pasal karet. Dan ini menimbulkan problem di tengah masyarakat,” bebernya.
 
Demikian pun, lanjutnya, di pasal 240, setiap orang yang di muka umum dengan lisan atau tulisan menghina pemerintah atau lembaga negara, dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 tahun 6 bulan atau pidana denda paling banyak kategori 2.
 
“Kata-kata menghina ini menjadi kata-kata  karet  yang tentu penafsirannya sering kali tergantung pada rezim penguasanya. Inilah yang saya katakan pewarisan dari apa yang telah dilakukan oleh kolonialisme Belanda dan terus diwarisi dalam konteks hari ini,” sesalnya.
 
L68T
 
Agung mengatakan, L68T yang  membikin miris anak bangsa justru dalam KUHP yang baru disahkan tidak memberikan penjelasan clear tentang  L68T.
 
“Misalnya pasal 414 ayat 1, setiap orang yang melakukan perbuatan cabul terhadap orang lain yang berbeda atau sama jenis kelaminnya di depan umum atau mungkin secara paksa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan atau dipublikasikan dengan muatan pornografi baru itu yang dikenai pidana,” sebutnya.
 
Artinya, lanjut Agung, setiap orang yang melakukan pencabulan sesama jenis asal tidak dilakukan di depan umum, tidak ada kekerasan dan tidak dipublikasikan maka itu masih boleh. “Meski tidak secara langsung mengatakan L68T itu legal tapi menunjukkan bahwa L68T itu tidak dilarang di negeri ini,” jelasnya.
 
Ideologi Negara
 
Catatan kritis lain yang disampaikan Agung terkait tindak pidana terhadap ideologi negara. Di pasal 128, ucap Agung, setiap orang yang menyebarkan atau mengembangkan ajaran komunisme, marxisme, leninisme atau paham lain yang bertentangan dengan Pancasila di muka umum dengan lisan atau tulisan termasuk menyebarkan atau mengembangkan melalui media apapun dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 tahun.
 
“Komunisme, marxisme, leninisme, oke karena  tidak sesuai dengan konteks mayoritas negeri ini yang Islam. Yang menjadi persoalan, paham lain yang bertentangan dengan Pancasila itu apa? Undang-undang Haluan Ideologi Pancasila beberapa waktu lalu menyebut khilafahisme, radikalisme,” ungkapnya.
 
Radikalisme, lanjutnya, sering Negeri ini tetap melanggengkan budaya kolonialisme yang dimiliki oleh Belanda dan ternyata warisan itu dilanjutkan dalam bentuk represifitas dan otoritarianisme, kepada Islam. Khilafahisme  sering ditujukan pada mereka yang berjuang untuk menegakkan Khilafah.
 
“Apakah mereka yang memperjuangkan Khilafah, memperjuangkan penegakan syariat Islam kaffah akan dimaknai paham lain yang bertentangan dengan Pancasila?” tanyanya.

Agung juga mempersoalkan pasal 190, setiap orang yang menyatakan keinginannya di muka umum dengan lisan tulisan atau melalui media apapun untuk meniadakan atau mengganti Pancasila sebagai dasar negara dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun .
 
“Nanti orang ngomong Khilafah, menyampaikan ide Khilafah dianggap sebagai ingin mengganti Pancasila. Kan repot banget ini nanti,” kesalnya.
 
Menurut Agung, negeri ini butuh konsep untuk menyelesaikan problem-problem keumatan. “Konsep-konsep Islam itu ditawarkan sebagai bagian untuk menata negeri ini menjadi lebih baik, tapi bisa jadi dianggap mempersiapkan permufakatan jahat yang bisa dipidana,” duganya.
 
Agung lalu mengajak agar rakyat negeri ini speak up, jangan sampai negeri ini semakin sekuler, semakin kapitalis, semakin liberal.
 
“Saya membaca  rechtsidee (cita hukum) dari pembentukan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang ditetapkan pada 6 Desember kemarin adalah sekularisme, kapitalisme, liberalisme. Ini yang jelas-jelas akan merusak negeri ini menjadi porak-poranda,” pungkasnya. [] Irianti Aminatun
 
 
 
 
 
 
 
 
Rekomendasi Untuk Anda × +

Bagikan artikel ini

Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini.

Artikel Menarik Lainnya :