Tinta Media - Kasus HIV/AIDS kian hari kian mengkhawatirkan. Angkanya terus meningkat. Remaja, dewasa, bahkan anak-anak menjadi korban. Miris. Segala jenis solusi sudah dicoba dan dijalankan, baik oleh pemerintah maupun berbagai lembaga sosial. Hingga kini, masalah ini belum juga menemukan solusi yang menuntaskan.
Hari AIDS yang selalu diperingati 1 Desember, hanya sekadar seremoni yang tak sajikan solusi. Bagi-bagi kondom dijadikan jalan keluar masalah HIV/AIDS yang kian melonjak. Solusi palsu yang dilakukan bukannya menyelesaikan, tetapi semakin membuat masalah kian runyam.
Berbagai aliansi dibentuk untuk membereskan kasus HIV/AIDS di berbagai daerah. Apa iya bisa menuntaskan semua masalah? Nyatanya, tidak. Segala solusi yang ditawarkan hanya sebagai solusi parsial yang tak benar-benar tuntaskan masalah.
Berbagai kampanye yang beraroma edukasi diajukan sebagai jawaban masalah. Kampanye Hak Kesehatan Seksual dan Reproduksi (HKSR) yang dipimpin lembaga global, misalnya. Kampanye ini justru mempromosikan hak bebas tentang reproduksi. Dengan kata lain, menyerukan kebebasan seksual yang menjamin terjaganya hak seseorang, bebas melakukan aktivitas seksual dengan siapa pun sesuai kehendaknya. Ini karena ditopang oleh aturan Hak Asasi Manusia yang terus menderaskan opini kebebasan. Tentu pemahaman ini keliru dan berbahaya bagi kehidupan.
Inilah cara pandang sekulerisme dalam menyelesaikan masalah, hanya memandang hilir, tak peduli segala sesuatu yang ada di hulu. Tak mengetahui sebab pasti, wajar saja segala sesuatu yang dijadikan solusi hanyalah ilusi.
Tentu, masalah ini tak bisa dipandang sebelah mata. Segala aspek kehidupan yang kini ada di hadapan, memudahkan setiap orang untuk berbuat seenaknya, mulai dari regulasi, kemudahan akses digital, pergaulan bebas yang kebablasan, semuanya bersinergi membentuk kehidupan yang rusak.
Pola pikir dan pola sikap yang terbentuk, tak mengindahkan hukum halal haramnya perbuatan. Pemberian ruang yang bebas dalam jangkauan luas memudahkan masyarakat mengakses jalan menuju maksiat. Ditambah lagi, minimnya pemahaman agama, minim iman dan takwa.
Negara pun seolah acuh dengan segala kerusakan yang menimpa. Berbagai perilaku menyimpang tak ditindak tegas oleh negara, dibiarkan begitu saja karena lagi-lagi dengan alasan menghormati hak asasi manusia. Inilah paham keblinger yang menghancurkan generasi.
Kasus HIV/AIDS yang kian mengkhawatirkan adalah masalah sistemik. Tak bisa diselesaikan dengan solusi praktis. Sekulerisme menjadi biang masalah. Sistem yang menjauhkan segala pengaturan kehidupan dari aturan agama ini telah merusak manusia.
Bagaimana tidak? Manusia dengan seenaknya menerapkan hukum yang berdasarkan pada kebebasan, hanya mengikuti hawa nafsu belaka. Hingga akhirnya, mereka menemui segala proses yang merusak bagi kehidupan, destruktif.
Gaya bebas ala Barat yang liberal dijadikan acuan. Nahasnya, hal ini dianggap sebagai modernitas. Belum lagi, hubungan sesama jenis yang kian merebak. Ini pun buah sekulerisasi dan liberalisasi bangsa Barat yang merusak pemahaman generasi. Akhirnya, generasi ini terjebak dalam lingkaran masalah yang terus berputar, tak tersolusikan hingga kini. Memprihatinkan.
Islam mensyariatkan pernikahan untuk menjaga kemuliaan manusia beserta keturunannya. Islam pun tegas mengharamkan segala jenis perbuatan zina. Bahkan, mendekatinya pun dilarang. Tak hanya itu, Islam pun melarang tegas hubungan sesama jenis dan menetapkan hukuman berat atas segala pelanggaran tersebut. Semua demi terjaganya kehormatan manusia yang sempurna, bukan untuk mengekang kebebasan manusia.
Segala kerusakan yang kompleks ini hanya dapat tersolusikan dengan tuntas dan sempurna dengan syariat Islam. Aturan inj ditetapkan Allah Swt. untuk mengatur seluruh proses kehidupan manusia. Allah Swt. adalah Dzat Yang Maha Mengetahui segala yang dibutuhkan manusia. Di dalam aturan-Nya pasti terkandung maslahat agar manusia selamat dari segala jenis ancaman.
Wallahu a'lam.
Yuke Octavianty
Forum Literasi Muslimah Bogor