HAKtP: Mampukah Wujudkan “Ruang Aman” bagi Perempuan? - Tinta Media

Minggu, 25 Desember 2022

HAKtP: Mampukah Wujudkan “Ruang Aman” bagi Perempuan?


Tinta Media - Tanggal 25 November ditetapkan sebagai Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan (HAKtP). Peringatan HAKtP diikuti serangkaian agenda kampanye hingga tanggal 10 Desember. 16 Hari Kampanye Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan (16KHAKtP) adalah agenda internasional yang diselenggarakan setiap tahun untuk menggalakkan upaya-upaya dalam memberantas dan menghapus kekerasan terhadap perempuan. Kampanye ini mengajak masyarakat untuk terlibat langsung dalam memberikan ruang aman bagi perempuan. 

Kali ini, 16KHAKtP dilaksanakan dalam bentuk Road Show Jakarta Ramah Perempuan dan Peduli Anak, dengan tema “Ciptakan Ruang Aman, Kenali UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS). Kegiatan ini mengusung tagline “Satu Suara Untuk UU TPKS” dengan tagar #kenalUUTPKS, #JakartaRamahPerempuan, dan #JakartaPeduliAnak. (tempo.com) 

Pada tahun 2021, Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan mengangkat tema, “Orange the World: End Violence again Woman Now!”. Tema ini digaungkan mengingat kasus kekerasan terhadap perempuan yang meningkat di tengah pandemi Covid-19. 

Di tahun 2020, Komnas Perlindungan Perempuan merilis tema HAKtP “Gerak Bersama: Jangan Tunda Lagi, Sahkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual”.

Angka Kekerasan Perempuan Meningkat Tiap Tahun

Sejak 2001, agenda tersebut diadakan dengan kampanye menuntut pengesahan undang-undang yang akan menjadi regulasi perlindungan bagi perempuan. Ini menunjukkan bahwa perempuan selama ini tidak punya tempat yang aman dalam kehidupannya, baik dalam ranah privasi maupun pubik. Hal itu diperkuat oleh data yang menunjukkan kekerasan terhadap perempuan setiap tahun mengalami peningkatan. 

Dilansir dari laman databoks.katadata.co.id, pada 2012, laporan kekerasan terhadap perempuan berjumlah 135.170 kasus. Kemudian jumlahnya terus meningkat hingga mencapai 204.794 kasus pada 2015. Laporan sempat menurun menjadi 163.116 kasus pada 2016. Namun, jumlahnya meningkat kembali tiga tahun berturut-turut hingga mencapai 302.686 kasus pada 2019. 

Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) mencatat ada 338.496 laporan kasus kekerasan berbasis gender (KBG) terhadap perempuan yang terverifikasi sepanjang 2021. Angka ini meningkat sekitar 50% dari laporan tahun 2020 yang berjumlah 226.062 kasus.

Data dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) per Oktober 2022 menyebutkan, jumlah kekerasan yang terjadi di Indonesia pada 2022 mencapai 18.719 kasus. Dari jumlah itu, lebih dari 90 persen atau 17.159 kasus dialami perempuan. Bak fenomena gunung es, data tersebut adalah data terlapor dan masih banyak kasus di luar sana yang serupa, tetapi tidak dilaporkan. 

Mengapa Tak Kunjung Membuahkan Hasil?

Selama 22 tahun diperingati dengan segala tuntutan, upaya dan agendanya menjadikan HAKtP sebagai seruan tak berkorelasi. Nyatanya, kekerasan masih saja terjadi, malah semakin meningkat. 

Bahkan, sejak tahun 1979, diselenggarakan Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan yang kemudian ditindaklanjuti oleh pegiat feminis untuk mendorong pemerintah menerbitkan berbagai aturan untuk mendukung penghapusan kekerasan terhadap perempuan. Seperti yang sudah disahkan, yaitu Undang-undang Penghapusan Kekerasan Seksual (UU PKS). 

Ketidaksesuaian antara agenda tahunan dengan fakta yang terjadi, haruslah menjadi pertanyaan besar bagi kita, mengapa kekerasan kian meningkat tiap tahun padahal segala macam upaya sudah dilakukan? Mengapa solusi tersebut tak kunjung membuahkan hasil yang signifikan? Ada apa sebenarnya?

Sekuler-Kapitalis Biang Kerok Kekerasan terhadap Perempuan

Pada faktanya, seruan aktivis feminis untuk memperjuangkan hak-hak perempuan berawal dari pandangan bahwa ada ketimpangan gender. Deskriminasi terhadap perempuan adalah imbasnya. Perempuan menjadi pihak yang sering disalahkan dalam kasus kekerasan seksual. Misalkan, ada kelembagaan atau aturan yang diberlakukan untuk perempuan, seperti batasan keluar rumah pada malam hari, aturan berpakaian, dan sebagainya. 

Namun di sisi lain, sistem kehidupan yang serba sekuler-kapitalistik ini memberi wadah bagi perempuan untuk banyak aktivitas di luar rumah (karena tuntutan ekonomi). Yang paling parah sampai mengumbar dirinya, dengan mempertontonkan aurat secara vulgar. 

Lihat saja di industri pertelevisian, iklan-iklan, bahkan film-film yang demi mendapat rating tinggi tak segan mengorbankan perempuan. Yang tak kalah penting untuk dipikirkan bahwa laki-laki juga purlu mengontrol diri, menundukkan pandangan agar tidak berpikiran kotor. Sehingga ketika ada kasus kekerasan pada perempuan, bukan si perempuan yang dikritisi, tetapi laki-laki juga harus dihukum dengan sanksi yang menjerakan.

Begitu sistemik persoalan ini karena problemnya bukan hanya dari perempuan atau laki-laki saja Medoa. Pada media yang sangat mudah diakses hingga detik ini, bertebaran situs-situs porno. Meskipun sudah terblokir, tetapi masyarakat lebih pintar untuk kembali bisa mengakses. 

Bisa kita lihat, anak-anak SMP melahirkan di sekolah, bahkan anak-anak SD sudah mengenal pacar-pacaran. Peredaran minum keras, klub malam, narkoba juga tak ada tindakan tegas dan tuntas. Itu semua mampu menghilangkan kewarasan seseorang sehingga akan melakukan tindakan keji dan hina.

Inilah kontradiksi yang sangat jelas, bagaikan dua sisi mata uang. Satu sisi adanya tuntutan perlindungan terhadap perempuan, kampanye, sosialisasi, bahkan dibuatkan Undang-Undang. Namun, di sisi lain terjadi pembiaran terhadap maraknya industri hiburan (food, fun, fashion, film). 

Inilah wajah kehidupan yang sekuler dan liberal. Kehidupan ini menjunjung tinggi nilai-nilai kebebasan individu. Atas nama kebebasan dan hak asasi,  manusia dibiarkan memenuhi apa yang dia mau, tanpa mempertimbangkan lagi benar-salah, halal-haram, dan pahala-dosa karena aspek agama tidak diberi ruang untuk mengatur kehidupan manusia. 

Orang-orang yang berduit, yaitu para kapital, pemilik industri juga diberi karpet merah untuk mengeksploitasi perempuan.
Solusi pragmatis yang diberikan pun tak akan menyelesaikan masalah kekerasan terhadap perempuan, justru menjadi habitat subur munculnya kekerasan terhadap perempuan. 

Bagaikan fatamorgana, aturan akan dibuat jika terjadi konflik antar individu tersebut, seperti tambal sulam. Sampai kapan pun masyarakat yang hidup di sistem sekuler-kapitalis tidak akan pernah aman dan akan bergulat dengan kasus kekerasan terhadap perempuan.

Karena itu, persoalan perempuan perlu solusi tuntas hingga ke akarnya. Pentingnya solusi tuntas ini tidak hanya akan memberi sanksi tegas terhadap pelaku kekerasan, tetapi juga memberikan proteksi yang kuat dalam mencegah terjadinya kejahatan. Hukum harusnya menjadi regulasi yang tajam bagi seluruh elemen masyarakat. 

Islam Menjamin Perlindungan Perempuan

Dialah Allah, Tuhan Pencipta langit dan bumi, yang paling tahu karakter manusia. Dialah yang menciptakan manusia dengan jenis yang berbeda. Allah memberikan seperangkat panduan dalam mengatur kehidupan dalam agama-Nya, yaitu Islam yang dirisalahkan kepada Rasulullah Muhammad saw. 

Dalam kacamata Islam, keamanan adalah salah satu kebutuhan fundamental bagi setiap individu. Perempuan adalah kehormatanm yang wajib dilindungi. Oleh karena itu, memenuhi keamanan perempuan dalam Islam harus dengan menyelaraskan peran individu, masyarakat dan negara. 

Individu yang muslim wajib tertanam akidah Islam yang bersih dan tanpa keraguan. Keimanan yang meyakini bahwa setiap yang dilakukan di dunia pastilah akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah Swt. di hari akhir. Karena itu, ia akan menjaga dirinya agar senantiasa benar dalam pandangan Allah dengan memperkaya pemahaman Islam. 

Muslim laki-laki dan perempuan akan menjaga izzahnya dengan menutup aurat dengan sempurna. Perempuannya tidak tabarruj, menjaga pergaulannya, menjaga kemaluannya, tidak membiarkan eksploitasi (perempuan pada sisi kewanitaannya). 

Masyarakat juga mengemban tugas amar ma’ruf nahi munkar. Masyarakat ikut andil dalam melindungi perempuan dan laki-laki. Masyarakat tidak akan membiarkan jika melihat kezaliman terhadap perempuan. 

Semua itu didukung oleh pengaturan kehidupan dalam masyarakat oleh negara. Negara menjamin kemanan media penerangan, yaitu dengan mengawasi media massa yang sarat kecanggihan teknologi, memfilter segala hal yang berbau porno atau yang merusak akal,  memperbanyak tontonan yang mendidik dan mencerdaskan, menindak tegas siapa pemilik media yang menyediakan tontonan merusak dengan mencabut hak pendirian. 

Ketegasan negara tentu berdasarkan pada pandangan Islam semata. Selain itu, negara menjamin pemenuhan ekonomi setiap warga, memberangus peredaran narkoba, miras, judi dan hal-hal haram lainnya. Semuanya dengan jaminan sistem sanksi yang tegas sesuai dengan syariat, seperti qishash untuk kasus pembunuhan, rajam dan jilid untuk kasus zina, potong tangan untuk kasus pencurian. Sanksi tidak hanya menjerakan bagi pelaku, tetapi juga bagi seluruh warga negara. 

Upaya-upaya yang dilakukan oleh negara tersebut tidak hanya berlaku bagi warga muslim, tetapi juga bagi warga selain muslim. Negara pun wajib memberi perlindungan dan keamanan bagi mereka. Sebagaimana Rasulullah pernah mengatakan pada saat beliau menjadi pemimpin negara bahwa darah ahludz dzimmah adalah haram tanpa sebab tertentu. Dengan demikian, perempuan-perempuan yang hidup dalam pengaturan yang sudah Allah buat akan terjamin keamanannya. Hanya Islam satu-satunya solusi permasalahan perempuan, bukan yang lain. Wassalam []

Oleh: Elima Winanta
Sahabat Tinta Media
Rekomendasi Untuk Anda × +

Bagikan artikel ini

Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini.

Artikel Menarik Lainnya :