Tinta Media - Sejak awal peradaban manusia, perempuan sering menjadi objek penindasan di tengah masyarakat. Fisik dan mentalnya yang cenderung lemah, membuat mereka sering menjadi sasaran kekerasan, pelecehan dan eksploitasi. Mirisnya, fakta ini masih menjadi persoalan hingga era modern saat ini.
Ketidakadilan yang berlarut-larut, memunculkan berbagai gerakan protes dari wanita di seluruh penjuru dunia. Sekelompok wanita yang menyebut dirinya kaum feminis, meneriakkan tuntutan kesetaraan gender. Yaitu kesamaan hak bagi laki-laki maupun perempuan dalam segala lini kehidupan. Pemerintah seluruh dunia pun mulai memperlihatkan dukungan terhadap gerakan kesetaraan gender ini. Atas nama Hak Asasi Manusia, feminisme yang sebenarnya berasal dari Barat ini merangsek masuk ke negeri Indonesia.
Sebagaimana kita ketahui, Indonesia adalah negara yang ekonominya banyak bergantung kepada asing, sehingga sangat mudah bagi asing untuk memasukkan ide dan budayanya ke Indonesia. Sayangnya, ide kesetaraan gender yang kelihatannya cemerlang ini, sesungguhnya memiliki konsep yang salah kaprah. Konsep yang justru akan merugikan perempuan, mengeluarkan perempuan dari fitrah aslinya, dan malah membuka pintu eksploitasi bagi perempuan.
Sejalan dengan propaganda feminis yang terus digaungkan, pemerintah Indonesia membuat berbagai kebijakan yang mendukung eksistensi perempuan. Sekali lagi, mengatasnamakan kesetaraan gender. Terbaru, bertepatan dengan hari ibu tahun ini, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) telah membuat tema Hari Ibu 2022, yaitu "Perempuan Berdaya Indonesia Maju". Selain tema utama, ditetapkan pula sub-sub tema untuk menegaskan tema utama yang dimaksud. Diantaranya, Kewirausahaan Perempuan, Perempuan dan Digital Economy, Perempuan dan Kepemimpinan, serta Perempuan Terlindungi, Perempuan Berdaya (tirto.id, 13/12/2022).
Dari tema-tema yang diangkat, jelas bahwa pemerintah menghendaki perempuan berperan aktif dalam menggerakkan ekonomi negara. Perempuan diharapkan ikut serta mendorong roda perekonomian, alih-alih fokus pada perannya sebagai ibu dan pengatur rumah tangga. Padahal, urusan ekonomi bukanlah hal yang ringan. Urusan yang tidak patut dibebankan di pundak perempuan secara fitrah. Bukankah dalam hal ini, kata 'Pemberdayaan' sama saja artinya dengan 'ekploitasi' perempuan?
Mengutip dari penjelasan KemenPPPA berkaitan tema hari ibu di atas, akar masalah dari kekerasan terhadap perempuan adalah pola pikir masyarakat yang belum menjunjung kesetaraan. Dijelaskan lebih lanjut, perlindungan yang menyeluruh dan sistematis bagi perempuan perlu diwujudkan, karena perempuan berdaya dan terlindungi merupakan modal bangsa untuk menjadi negara yang maju. Maka sejatinya, pemerintah telah salah memahami akar masalah kekerasan pada perempuan. Praktis, solusi pemberdayaan yang disuguhkan pun hanyalah solusi parsial yang bisa menimbulkan masalah yang lebih pelik di kemudian hari.
Persoalan yang merundung perempuan adalah persoalan sistemis. Gabungan dari kerusakan di segala lini kehidupan yang dibawa oleh sistem kapitalisme dan sekularisme. Dalam sistem ini, baik laki-laki maupun perempuan tidak memahami peran dan kewajibannya masing-masing sebab telah dijauhkan dari nilai-nilai agama, khususnya Islam yang mengatur masalah ini dengan sempurna.
Laki-laki mudah memandang rendah perempuan karena tidak memahami kedudukan mulia seorang wanita. Lebih dari itu, banyak laki-laki enggan menjalankan kewajibannya sebagai pencari nafkah maupun pemimpin dalam rumah tangga. Di sisi lain, perempuan masa kini tak jauh berbeda. Fitrah kewanitaan mereka yang hakiki telah banyak tercabut. Sehingga mudah termakan propaganda feminis dan kesetaraan gender yang sebenarnya malah menyesatkan.
Kemuliaan Perempuan dalam Pandangan Islam
Sejak awal kedatangannya di negeri Arab, Islam telah memuliakan perempuan. Bisa dikatakan inilah yang pertama-tama dilakukan oleh Islam, yaitu mengangkat derajat perempuan yang sebelumnya dipandang rendah oleh masyarakat Arab. Sebelum datangnya Islam, orang Arab jahiliyah memiliki kebiasaan membunuh anak-anak mereka sesaat setelah dilahirkan, jika yang lahir adalah anak perempuan. Masyarakat Arab menganggap bahwa anak perempuan adalah aib dalam keluarga. Namun, sejak Rasulullah Muhammad SAW mendapat risalah Islam dari Allah SWT, beliau menghimbau bangsa Arab, khususnya kaum muslimin, untuk menghentikan kebiasaan tersebut.
Islam adalah yang pertama kali memperjuangkan hak-hak kaum wanita. Maka aneh, jika saat ini justru Islam dituduh mendiskriminasi perempuan karena berbagai aturan yang diterapkan ajarannya. Pada dasarnya semua aturan yang ada dalam ajaran Islam yang diberlakukan bagi perempuan tujuannya jelas untuk menjaga kehormatan dan kemuliaan perempuan. Namun orang-orang barat yang tidak menyukai Islam telah memutar balikkan fakta dan pemahaman masyarakat dunia terhadap Islam.
Ajaran Islam memuliakan perempuan diantaranya dengan cara mewajibkan mereka menggunakan pakaian yang menutup aurat sehingga mereka tidak mudah diganggu oleh laki-laki. Islam juga mewajibkan penafkahan keluarga bagi laki-laki bukan perempuan, jelas untuk memuliakan perempuan. Sebab fitrah perempuan yang mental dan fisiknya cenderung lemah lembut lebih pantas berperan sebagai ibu dan pengatur rumah tangga. Begitulah Allah SWT menciptakan makhluknya dengan penuh kesempurnaan.
Namun aturan ini telah banyak difitnah oleh Barat sebagai tindakan penindasan dan diskriminasi. Padahal jika kita pikirkan dengan akal sehat, manakah yang lebih memuliakan perempuan, menutupi auratnya atau menelanjangi mereka? Manakah yang lebih memuliakan, menyuruh mereka keluar rumah untuk bekerja menopang perekonomian rumah tangga dan negara, atau menyuruh mereka diam di rumah mengurus rumah dan anak-anaknya sembari terjamin semua kebutuhan hidupnya?
Islam juga tidak melarang wanita bekerja dan berkarier. Dalam Islam, bekerja bagi perempuan adalah mubah (boleh) asalkan ia tidak melalaikan kewajibannya sebagai seorang istri dan ibu. Wanita tidak dilarang mengenyam pendidikan. Justru Islam mewajibkan perempuan memiliki kepandaian sebab ia adalah madrasah pertama bagi anak-anaknya yang kelak akan menjadi penerus dan pemimpin negara. Islam memang melarang perempuan untuk menjadi pemimpin. Akan tetapi, bukankah ini sangat masuk akal? Laki-laki memiliki kelebihan dalam memimpin yang telah dikaruniakan oleh Allah Sang Maha Pencipta.
Kendati demikian, walaupun wanita dilarang menjadi pemimpin dalam islam, banyak sekali hadist Rasulullah SAW yang menjelaskan mulianya kedudukan perempuan. Diantaranya, ketika seorang sahabat bertanya siapa yang harus kita hormati, Rasulullah SAW bersabda "ibumu" sebanyak tiga kali baru kemudian "ayahmu" (HR. Al Bukhari dan Muslim). Dalam hadist lainnya, Rasulullah SAW bersabda "Sebaik-baik kalian adalah yang terbaik sikapnya terhadap keluarga. Dan aku adalah yang terbaik di antara kalian terhadap keluargaku.” (HR Ibnu Majah). Jelas, ajaran islam tiada duanya dalam hal memuliakan perempuan.
Kenyataan yang sebenarnya, banyaknya kasus kekerasan pada perempuan, pada saat ini berakar dari penerapan sistem kapitalis dan sekularisme, bukan karena wanita tidak mampu memberdayakan dirinya. Pemberdayaan perempuan sejatinya bertujuan untuk melanggengkan kepentingan kaum kapitalis. Umat islam sengaja dijauhkan dari ajaran dan akidahnya. Secara tidak langsung, para wanita dipaksa keluar rumah mencari nafkah, meninggalkan anak-anak yang sebenarnya sangat membutuhkan kehadiran mereka. Dengan demikian kaum kapitalis semakin merajalela merampok kekayaan umat. Menyadari hal ini, maka satu-satunya jalan keluar dari semua kesengsaraan yang dialami masyarakat Indonesia dan masyarakat dunia adalah meruntuhkan sistem kapitalisme dan sekularisme. Menggantinya dengan sistem yang lebih baik dan sempurna yaitu sistem Islam.
Oleh : Dinda Kusuma Wardani T
Sahabat Tinta Media