Tinta Media - Peristiwa bom bunuh diri kembali terjadi di Indonesia, tepatnya di Astanaanyar, Bandung pada Rabu 7/12/2022. Peristiwa ini menewaskan 2 orang, yaitu satu orang pelaku pemboman dan satu orang anggota polisi. Hal ini sontak menjadi highlight di berbagai media masa.
Berdasarkan laporan yang di lansir media BBC News Indonesia (8/12/22), kepolisian berhasil mengungkap identitas pelaku, yaitu Agus Sudjadno yang dikenal sebagai Agus Muslim yang ternyata merupakan mantan napi teroris dan pernah menjalani rehabilitasi di lapas Nusakambangan. Terungkapnya identitas pelaku hasil dari penggeledahan tim densus 88 ini lantas menjadikan tanggapan yang serius berbagai pihak, baik dari kepolisian maupun pemerintah.
Kasus bom bunuh diri di Bandung menjadi pemantik peningkatan deradikalisasi, apalagi adanya dugaan 10% napi teroris kembali beraksi. Wakil presiden (Wapres), KH Ma’ruf Amin segera mengimbau MUI untuk mengefektifkan kembali program tim penanggulangan terorisme (TPT) untuk menanggulangi benih-benih terorisme.
“Terorisme ini mulai lagi. Dulu MUI di awal-awal membangun tim penanggulangan terorisme, dan kita melakukan beberapa langkah. Saya kira lembaganya masih ada, ya. Karena itu, ternyata ini masih perlu diefektifkan lagi," ujar Ma'ruf dalam sambutannya saat membuka Mukernas Kedua Majelis Ulama Indonesia (MUI) 2022 di Grand Sahid Jaya, Jakarta, Kamis (8/12/2022).
Menurut Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), kejadian aktifnya kembali mantan napi terorisme ini diakibatkan adanya tantangan besar dalam proses rehabilitasinya. Sulitnya menjalankan program deradikalisasi tersebut karena kurangnya koordinasi dan kolaborasi antar pihak terkait. Di antaranya, yaitu harus ada kerjasama antara masyarakat dan keluarga karena tidak bisa hanya mengandalkan BNPT dan kepolisian melulu. (BBC News 8/12/22)
Benar, kasus terorisme tersebut memang harus diatasi. Namun, solusi yang diberikan pemangku wewenang sudah terbaca jelas. Peningkatan efektivitas program deradikalisasi baik di lembaga rehabilitasi maupun di masyarakat berisi pengerdilan umat beragama untuk taat pada agamanya sendiri, khusunya umat Islam.
Dari kejadian yang sudah-sudah, program ini menyasar pada kriminalisasi para ulama yang ingin berdakwah secara menyeluruh mengenai segala aspek dalam Islam. Namun, lagi-lagi berbagai pembatasan, bahkan pemboikotan dai-dai gencar terjadi. Para pendakwah hendaknya tidak boleh menyampaikan Islam secara fundamentalis, tetapi harus moderat dan bisa toleran terhadap agama lain.
Program yang berjalan sebelumnya pun hanya membuat gaduh sesama umat Islam. Pembubaran majelis-majelis kajian pun sering terjadi. Alasannya karena ilmu yang disampaikan mengandung unsur pemberontakan terhadap negara atau membawa ideologi lain. Padahal, sebenarnya ilmu yang disampaikan seluruhnya termasuk dalam Islam. Sudah sepatutnya kita sebagai muslim menjalankan ajaran agama secara keseluruhan atau kaffah, tidak setengah-setengah atau pilih-pilih.
Hal ini bahkan diperintahkan oleh Allah dalam Al-Qur’an surah Al-Baqarah ayat 208 yang artinya:
”Wahai orang-orang yang beriman! Masuklah ke dalam Islam secara keseluruhan, dan janganlah kamu ikuti langkah-langkah setan. Sungguh, ia musuh yang nyata bagimu.”
Solusi yang tidak tepat pihak berwenang terhadap masalah ini jelas hanya menambah gaduh. Namun, jika di tilik lebih dekat lagi, program tersebut tak lain merupakan agenda besar kaum barat untuk menyerang secara sistematis umat muslim.
Komitmen ini makin nyata dengan pengesahan RKUHP dengan adanya Pasal 191 RKUHP yang menyatakan bahwa makar adalah niat untuk melakukan suatu perbuatan yang telah diwujudkan dengan adanya permulaan pelaksanaan perbuatan tersebut.
Cakupan makar setidaknya ada tiga jenis, yakni; makar terhadap Presiden, makar terhadap NKRI, dan makar terhadap pemerintah yang sah. Hal ini semakin menyederhanakan definisi makar sehingga semakin mudah memidanakan seseorang. Negara juga semakin represif terhadap rakyat dan semakin gencar melakukan upaya deradikalisasi.
Tidak adanya ruang bagi masyarakat untuk mengkritik penguasa yang zalim dan salah, sedikit demi sedikit membungkam suara umat. Ini menjadikan penguasa lebih otoriter. Hal ini juga menunjukkan bahwa negara makin taat pada komitmen global, yaitu memoderatkan para pemeluk agama, terkhusus Islam, menjadikan para pemeluknya tidak mau menampakan identitas agamanya. Mereka menjadi pemeluk yang biasa-biasa saja, toleran secara berlebihan, dan terpengaruh presepsi sesat liberal lainnya. Sejatinya, hal ini merupakan bentuk serangan sistematis terhadap Islam. Wallahualam bii shawab.
Oleh: April Rain
Aktivis Dakwah