Tinta Media - Menyambut Natal dan tahun baru (nataru) 2023, pihak kepolisian Kabupaten Bandung gencar melakukan operasi penggerebekan minuman keras. Hal ini dilakukan untuk mengamankan perayaan Natal dan tahun baru yang telah dua tahun terhalang karena Covid-19. Bahkan, polisi menggerebeg sebuah rumah yang dijadikan gudang penyimpanan minuman keras ilegal. Sebanyak 8.400 botol miras berbagai merk diamankan dari sebuah rumah di salah satu komplek perumahan, Kecamatan Rancaekek, Kabupaten Bandung pada Jumat (9/12/2022).
Mirisnya, pemilik gudang miras tersebut bukan kali ini saja terkena razia. Bahkan, warga sekitar tidak merasa heran akan razia tersebut karena memang sudah sebanyak tiga kali terulang. Yang lebih mencengangkan lagi, warga sekitar mengetahui adanya gudang dan penjualan miras, tetapi tidak merasa terganggu. Pasalnya, miras tersebut tidak dijual kepada warga sekitar, terlebih pemilik gudang miras merupakan sosok yang baik dan dermawan.
Minuman keras atau yang sering disebut miras merupakan minuman mengandung senyawa alkohol atau etanol. Adanya alkohol pada minuman tersebut mengakibatkan minuman mempunyai sifat khamr atau memabukkan hingga menghilangnya kesadaran. Ketika tingkat kesadaran menurun, seseorang akan lepas kontrol terhadap apa yang dia lakukan. Ia tidak akan mampu memahami apa-apa yang membahayakan dirinya atau orang lain. Mereka bisa melakukan apa saja, mulai dari tindakan asusila hingga kriminalitas, bahkan sampai menghilangkan nyawa orang lain.
Nabi Muhammad saw. sendiri secara tegas telah menyebut bahwa khamr adalah ummul khaba ‘its (induk dari segala kejahatan).
“Khamr adalah induk dari kekejian dan dosa yang paling besar, barang siapa meminumnya, ia bisa berzina dengan ibunya, saudari ibunya, dan saudari ayahnya.” (HR ath-Thabrani)
Jauh-jauh hari, Islam telah memperingatkan bahwa miras mendatangkan banyak kemadaratan. Dalam kehidupan masyarakat, termasuk di negeri ini, begitu banyak fakta yang menegaskan bahwa mengonsumsi miras erat kaitannya dengan kasus kejahatan. Salah satu fakta yang pernah terjadi, adalah seorang oknum polisi yang dalam keadaan mabuk, menembak empat orang, tiga di antaranya meninggal.
Miras tidak hanya merusak pribadi peminumnya, tetapi juga berpotensi menciptakan kerusakan bagi orang lain. Oleh karena itu, pemberantasan miras harus dilakukan secara sistematis bukan hanya untuk pengamanan sesaat, seperti menjelang nataru.
Faktanya selalu berulang, pasca natura, miras kembali diizinkan beredar meski dengan embel-embel dibatasi dan diawasi peredarannya, semisal untuk di tempat hiburan malam dan pariwisata. Namun, sudah menjadi rahasia umum, bahwa peredaran miras cenderung menyebar di tengah masyarakat secara ilegal, dengan dukungan dari oknum aparat yang meraup keuntungan dari praktek ilegal tersebut.
Inilah realitas masyarakat kapitalisme sekularisme yang diterapkan di negeri ini. Aturan agama (syariah) dicampakkan.
Selain asas manfaat yang menjadi landasan dalam kehidupan, dan moral oknum aparat yang lemah, serta masyarakat yang hidup bebas dan hedonis, menjadikan aturan buatan manusia melalui mekanisme demokrasi yang erat dengan kapitalisme, sebatas formalitas, termasuk dalam pelarangan miras selama nataru ini, hanya sesaat saja.
Tolok ukur kapitalisme dalam segala hal, termasuk pembuatan hukum dan pengaturan urusan masyarakat adalah keuntungan atau manfaat semata, terutama manfaat ekonomi. Ini menjadikan penguasa negeri ini mengeluarkan kebijakan yang justru membuka keran investasi miras.
Perpres investasi miras, tepatnya Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 10 Tahun 2021 tentang Bidang Usaha Penanaman Modal. mengindikasikan legalisasi produksi miras oleh penguasa. Alasan investasi yang dipandang akan memberi keuntungan secara ekonomi, telah mengalahkan efek buruk dari miras yang terjadi di tengah masyarakat. Gaya hidup sekular- kapitalis, liberal, dan hedon telah meniscayakan hadirnya sarana-sarana pemenuhannya, termasuk miras.
Oleh karena itu, selama sistem sekulerisme kapitalisme masih diterapkan dan syariah Islam dicampakkan, masyarakat akan terus terancam dengan miras dan segala madaratnya.
Hal ini tentu berbeda jika sistem Islam diterapkan secara menyeluruh. Keharaman miras begitu jelas dalam Al-Qur'an surat Al-Baqarah: 219.
Keharaman khamr (miras) ini diperkuat dengan penerapan sanksi tegas bagi orang yang meminum miras, berupa cambukan 40 kali atau 80 kali. Selain itu, pihak-pihak yang berhubungan dengan miras walaupun tidak meminumnya, akan dikenai sanksi berupa ta'zir, yang bentuk dan kadar sanksi itu diserahkan kepada Khalifah atau qadhi, sesuai ketentuan syariah. Yang jelas, sanksi itu harus memberikan efek jera.
Produsen dan pengedar khamr akan dijatuhi sanksi yang lebih keras dari peminum khamr. Pasalnya, mereka menimbulkan bahaya yang lebih besar dan lebih luas bagi masyarakat. Mereka termasuk dalam golongan orang-orang yang telah melanggar keharaman miras, sebagaimana hadits berikut:
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat sepuluh golongan dengan sebab khamr: orang yang memerasnya, orang yang minta diperaskan, orang yang meminumnya, orang yang membawanya, orang yang minta di antarkan, orang yang menuangkannya, orang yang menjualnya, orang yang makan hasil penjualannya, orang yang membelinya, dan orang yang minta dibelikan. (HR. Tirmidzi)
Maka pelarangan khamr (miras) wajib secara totalitas, yang hanya dapat diberlakukan ketika Islam diterapkan secara kaffah dalam naungan khilafah.
Wallahu'alam bishawwab.
Oleh: Thaqqiyunna Dewi, S.I.Kom.
Sahabat Tinta Media