Tinta Media - Parlemen Rusia pada Kamis (24/11/2022) mengesahkan pembacaan ketiga dan terakhir dari undang-undang yang berisi pelarangan promosi propaganda L68T [lesbian, gay, biseksual, dan transgender] kepada anak-anak dan segala usia, termasuk orang dewasa.
Di bawah undang-undang baru, setiap tindakan atau peristiwa yang dianggap mempromosikan homoseksualitas, termasuk online, film, buku, iklan, atau di depan umum, dapat dikenakan denda yang berat. (CNBC Indonesia)
Pelaku akan dikenakan denda mencapai 400.000 rubel atau sekitar Rp103 juta untuk individu hingga 5 juta rubel (Rp1,2 miliar) untuk badan hukum. Tak hanya untuk warga negara mereka saja, warga negara asing (WNA) pun akan menghadapi 15 hari penangkapan dan pengusiran dari Rusia.
Tak hanya Rusia, Brunei Darussalam dan negara Gambia pun pernah memberlakukan UU kriminalisasi kaum gay dengan ancaman hukuman mati bagi pelakunya.
Di Indobesia justru berbeda. Eksistensi L68T kian meningkat. Survei pada tahun 2018 menunjukan 57,7% publik berpendapat bahwa L68T tidak boleh didiskriminasi dan punya hak yang sama dengan masyarakat normal lainnya. L68T dianggap sebagai pilihan orientasi seksual yang harus dihormati.
Propaganda L68T di negeri ini sudah sejak lama, bukan hanya dilakukan saat ini, bahkan dilakukan secara terstruktur, massif dan sistematik. Sebagai bangsa yang disebut religius nation state, propaganda ini merupakan persoalan yang problematik.
Pemberian panggung seperti yang pernah dilakukan presenter Deddy Corbuzier di podcast miliknya dengan mengundang pasangan gay, Ragil Mahardika dan Fred seolah menunjukan kepedulian terhadap kaum L68T. Padahal, eksistensi kelompok tersebut seharusnya diedukasi agar kembali kepada fitrahnya, bukan didukung.
Mirisnya, Kedutaan Besar (Kedubes) Inggris di Jakarta turut juga memberi dukungan terhadap perilaku menyimpang ini dengan memasang bendera L98T pada 24 Mei 2022 dan mengunggahnya di akun instagram resmi @ukinindonesia. Tindakan tersebut memunculkan polemik di tengah masyarakat Indonesia dan menciptakan isu sensitif.
Tindakan provokatif Kedubes Inggris tersebut disebabkan sikap Indonesia yang tidak jelas terhadap L68T. Menerima atau menolak atau abu abu, semua tidak jelas.
Jika kita lihat faktanya, baik pegiat medsos, ormas-ormas Islam, hingga pejabat, semua menunjukkan sikap yang cenderung membiarkan, bahkan terkesan mendukung atas dalih demokrasi dan HAM. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika jumlah dan eksistensi L68T di Indonesia berkembang sangat pesat.
Lihat saja perkembangan L98T di Indonesia. Berdasarkan data dari Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (RuanganInfo.com, 10/5/22), Sumatera Barat menempati posisi kelima dengan kurang lebih 18 ribu orang tercatat sebagai L68T. Provinsi DKI jakarta di posisi keempat, tercatat 43 ribu orang. Jawa Tengah menduduki urutan ketiga, dengan jumlah L68T kurang lebih 218 ribu. Provinsi Jawa Timur yang berada di ujung timur pulau Jawa, menduduki posisi kedua dengan jumlah sekitar 300 ribu orang. Sungguh mengherankan, yang menjadi juara adalah Provinsi Jawa Barat. Di Provinsi ini terdapat sekitar 302 ribu orang L68T.
Mengapa L68T berkembang pesat di negeri yang mayoritas (86, 19%) beragama Islam? Apakah hukumnya tidak tegas?
Mengingat Indonesia sebagai religius nation state, maka seharusnya hukum indonesia punya cara untuk menanggulangi mulai dari segi pencegahan hingga pemberantasan L68T.
Sebenarnya telah nyata di hadapan kita bahwa propaganda L68T merupakan sebuah konspirasi global yang akan membawa bahaya besar bagi negeri ini dan penduduknya. Penyebaran L68T di Indonesia, merupakan upaya sistemik yang banyak dipengaruhi oleh serangan budaya Barat.
Hal ini dimaksudkan untuk menjauhkan masyarakat Indonesia dari ajaran agamanya, alias sekularisme. Karena itu, propaganda ini harus ditolak dan dilawan oleh seluruh lapisan masyarakat Indonesia.
Islam secara tegas melarang perbuatan L68T dan memberikan sanksi yang akan memberikan efek jera bagi setiap pelakunya. Sebagaimana dalam hadits:
"Barang siapa kalian dapati melakukan perbuatan kaum Nabi Luth alaihi salam (yakni melakukan homoseksual), bunuhlah pelaku dan objeknya.” (HR. Tirmidzi no. 1456, Abu Dawud no. 4462, dan selainnya).
Lain halnya dengan hukum buatan manusia, perilaku menyimpang masih ditolerir, bahkan diberi panggung dengan dalih kemanusiaan atau HAM. Agama bukan acuan, baik dalam kehidupan individu, masyarakat, bahkan negara karena sistem yang dianut adalah sekuler. Alhasil, hukum yang dihasilkan dapat dikompromikan, sekalipun bertentangan dengan syariat.
Hukum Allah adalah hukum terbaik karena datang dari Yang Mahasempurna untuk mewujudkan kemaslahatan seluruh umat. Sebagai muslim, seharusnya kita meyakini bahwa tidak ada hukum terbaik selain syariat Islam dengan cara menerapkannya secara kafah untuk memberantas L68T ini, agar generasi kita terselamatkan dan negara terhindar dari kerusakan. Kita harus memberantas perilaku seks menyimpang yang mengundang azab Allah sebagaimana sejarah di zaman Nabi Luth telah membuktikannya.
Wallahua'lam bishawab.
Oleh: Eli Yulyani
Ummahat Peduli Umat