Tinta Media - Presiden Asosiasi Ahli Pidana (AAPI) Dr. Muhammad Taufik, S.H., M.H. menegaskan bahwa disahkannya Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) itu adalah sesuatu yang dipaksakan.
“Mereka akan mengesahkan rancangan undang-undang hukum pidana itu adalah sesuatu yang dipaksakan,” tegasnya dalam Perspektif PKAD: RKUHP Segera Disahkan, Selamat Datang Rezim Otoriter??!!!, Selasa (6/12/2022) di kanal Youtube Pusat Kajian Analisis dan Data.
Menurutnya, dengan melihat proses pembuatan hukumnya, law making, prosesnya ini sama sekali unhistoris. “Sepertinya bertolak belakang dengan asas umum dari ketika ada satu peraturan khusus, peraturan umum itu dilangkahi,” tuturnya.
Putusan MK No.13-022/PUU-IV/2006 telah menghapus delik-delik pasal penghinaan presiden dari Pasal 134, Pasal 136, dan Pasal 137 KUHP dari semula delik umum siapa pun bisa melaporkan siapa saja yang menghina presiden kemudian di RKUHP ini di ubah menjadi delik aduan. “Hanya orang yang bersangkutan (orang yang menghina presiden) atau presiden saja yang boleh membuat aduan dan sifatnya bukti laporan yang mendukung,” ucapnya.
Ternyata Indonesia mencantumkan pasal penghinaan kepada pejabat kepala negara dan pejabat negara tapi di tahun 2006 pada masa Pak Susilo Bambang Yudhoyono dilakukan koreksi sehingga alhasil tidak disebutkan lagi sebagai delik umum tapi delik aduan. “Kita sudah ada asas lex specialis derogat legi generali yang artinya peraturan khusus mengesampingkan hukum yang berlaku umum. Nah tampaknya asas ini sudah tercerabut. Harusnya Mahkamah Konstitusi (MK) yang mengadili undang-undang di bawah UUD (undang-undang dasar) ternyata bisa dikalahkan oleh DPR,” jelasnya.
Ia mengungkapkan jika berbicara tentang aliran hukum maka ini adalah aliran hukum yang represif yang sudah tidak dikenal di negara Belanda dan negara asal-muasalnya KUHP (Perancis) sudah tidak ada.
“Jadi betul-betul ini menggunakan asas hukum yang dipakai di negara-negara oligarki, sementara kita sudah menggunakan paham progresif,” ungkapnya.
Jika RKUHP ini sudah disahkan, Dr. Taufik menyatakan kesimpulannya bahwa akan final untuk menuju otokrasi, dengan bentuknya monolitik.
“Akan terjadi yang namanya proses kristalisasi presiden itu tiga periode,” ujarnya.
Untuk mempersiapkan tiga periode maka orang-orang yang menolak itu akan diberangus dengan menggunakan pasal-pasal penghinaan pejabat negara. “Dan ini tidak pernah ditemukan di rumusan mana pun. Ini seperti daftar pesanan makanan karena disebutkan di situ pejabat negara itu termasuk jaksa, polisi, dan sebagainya, tidak dikenal di mana pun di dalam UU mana pun gaya UU seperti itu,” kritiknya.
Ia menyebutnya sebagai penyelundupan hukum. Jadi bertolak belakang dengan demokrasi.
“Ini jelas anti demokrasi, pintu awal supaya mulus menyahkan gagasan presiden tiga periode. Karena ini lebih aman di saat negara positif tidak memiliki duit maka yang didorong adalah secepat mungkin mengesahkan RKUHP menjadi KUHP,” pungkasnya. [] Ageng Kartika.