Tinta Media - Mudir Ma'had Khodimus Sunnah Ajengan Yuana Riyan Tresna (YRT) menilai dialog antaragama tidak lepas dari semangat pluralisme dalam kerangka penjajahan.
"Sejarah dialog antaragama tidak lepas dari semangat pluralisme agama dan dalam kerangka penjajahan," tuturnya kepada Tinta Media, Rabu (09/11/2022).
Semua agama diposisikan sama, kata Ajengan, tidak boleh ada klaim kebenaran, tidak boleh ada dominasi hukum dari agama tertentu,dan pada akhirnya harus tunduk pada solusi-solusi peradaban Barat.
Ia menjelaskan beberapa kekeliruan dalam gagasan dialog antaragama. "Kekeliruan konseptual gagasan dialog antaragama dapat dilihat dari beberapa sudut pandang," ujarnya.
Pertama, Ajengan menyebutkan sudut pandang persamaan agama. "Prinsip persamaan semua agama. Dialog antaragama didasarkan pada persamaan antarkeyakinan, agama, dan peradaban tanpa adanya keyakinan, agama atau peradaban yang lebih unggul," terangnya.
Kedua, menurutnya, kekeliruan yang lain adalah adanya klaim bahwa tidak ada kebenaran secara mutlak, sehingga perlu ada upaya mencari kebenaran.
"Klaim tidak ada kebenaran mutlak. Mereka memandang perlunya upaya mencari kebenaran yang harus dipandang relatif (nisbi), sehingga tidak boleh seorang pun mengklaim telah memonopoli kebenaran. Mereka bermaksud membangun pola baru hubungan antar umat beragama yang inklusif," paparnya.
Terakhir, ia menyatakan bahwa kekeliruan selanjutnya adalah menuduh agama sebagai sumber konflik, yang tujuannya adalah justifikasi sepihak dan mengaburkan sumber konflik yang sebenarnya.
"Tuduhan agama sebagai sumber konflik. Tuduhan ini mengandung dua motif sekaligus. Justifikasi dialog antaragama demi terciptanya perdamaian, dan mengaburkan sumber konflik yg sebenarnya. Faktanya, imperialisme negara Barat-lah yang telah melahirkan konflik di dunia Islam," pungkasnya.[] Nur Salamah