Tinta Media - Menanggapi terus naiknya utang pemerintah, Peneliti Forum Kajian dan Kebijakan untuk Transparansi Anggaran (FAKKTA) Muhammad Ishak menjelaskan penyebabnya.
"Terus naiknya utang pemerintah karena masalah paradigma pembangunan yang berlandaskan kapitalisme," tuturnya dalam wawancara eksklusif bersama Tinta Media, Jumat (28/10/2022).
Menurutnya, negara-negara kapitalisme menjadikan utang berbunga sebagai salah satu sumber pembiayaan APBN selain pajak dan non pajak. Pemerintah juga selalu mengadopsi konsep anggaran defisit atau belanja selalu lebih besar dibandingkan dengan pendapatan. "Padahal, kalau mau pemerintah bisa mengadopsi anggaran berimbang atau surplus. Berutang itu masalah pilihan," ujarnya.
Ia juga melihat ada banyak pengeluaran-pengeluaran pemerintah yang tidak produktif, hanya menjadi bancakan korupsi pejabat terkait. Kemudian, Pemerintah Juga dinilai kurang kreatif dalam menghasilkan pendapatan dari potensi ekonomi domestik, seperti di sektor kelautan, kehutanan, perkebunan, dan pertambangan. "Kalau dikelola dengan baik dan benar maka pendapatannya akan sangat besar," imbuhnya.
Ia mengungkapkan bahwa naiknya utang pemerintah saat ini sudah menuju taraf yang semakin mengkhawatirkan karena sudah hampir menyentuh 40% terhadap PDB. Yang mengakibatkan pembayaran bunga utang semakin membebani APBN. Dimana tahun ini dianggarkan 21% dari total Belanja Pemerintah Pusat. "Padahal daya tersebut semestinya bisa digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat seperti pembangunan infrastruktur jalan, jembatan, irigasi, sekolah, dan rumah sakit," terangnya.
Ia menyatakan bahwa dengan mengadopsi sistem Islam, maka masalah utang pemerintah dapat diselesaikan dengan baik dan benar. "Dengan sistem Islam, pemerintah diharamkan untuk menutupi defisit APBN dengan utang Ribawi," bebernya.
Dengan sistem tersebut, lanjutnya, kekayaan alam di negara ini dapat dikelola dengan lebih baik sehingga memberikan nilai tambah yang jauh lebih tinggi. "Dengan demikian pemasukan negara akan lebih besar," paparnya.
"Apalagi, kekayaan alam, seperti sektor pertambangan yang depositnya besar harus dikelola oleh negara," tukasnya.
"Sistem tersebut bukan isapan jempol, sebab setidaknya sepanjang masa Khulafaur Rasyidin, pemerintah tidak pernah berhutang kepada negara atau publik dengan menggunakan utang ribawa," pungkasnya.[] Ajira