Tinta Media - Ayat-ayat di dalam Al-Qur'an dinilai tidak sejalan dengan prinsip-prinsip demokrasi oleh Aktivis Muslimah Ustazah Wiwing Noraeni.
Pertama, ia mengutip firman Allah SWT dalam Al-Qur'an surah An-Nisa ayat 58:
اِÙ†َّ اللّٰÙ‡َ ÙŠَØ£ْÙ…ُرُÙƒُÙ…ْ اَÙ†ْ تُؤَدُّوا الْاَÙ…ٰÙ†ٰتِ اِÙ„ٰٓÙ‰ اَÙ‡ْÙ„ِÙ‡َاۙ ÙˆَاِØ°َا ØَÙƒَÙ…ْتُÙ…ْ بَÙŠْÙ†َ النَّاسِ اَÙ†ْ تَØْÙƒُÙ…ُÙˆْا بِالْعَدْÙ„ِ ۗ اِÙ†َّ اللّٰÙ‡َ Ù†ِعِÙ…َّا ÙŠَعِظُÙƒُÙ…ْ بِÙ‡ٖ ۗ اِÙ†َّ اللّٰÙ‡َ Ùƒَانَ سَÙ…ِÙŠْعًاۢ بَصِÙŠْرًا
Sungguh, Allah menyuruhmu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan apabila kamu menetapkan hukum di antara manusia kamu menetapkannya dengan adil. Sungguh, Allah sebaik-baik yang memberi pemberian pengajaran. Sungguh, Allah Maha Mendengar, Maha Melihat.
"Ayat ini tidaklah pas jika diklaim menjelaskan tentang prinsip demokrasi, kalau dalam demokrasi kekuasaan adalah amanah itu artinya bahwa ketika seseorang telah dipilih maka ia harus amanah untuk menjalankan apa yang menjadi pendapat-pendapat dari rakyat itu yang kemudian dikatakan amanah sebagai kekuasaan," tuturnya pada rubrik kuntum khaira ummah MMC: Demokrasi, Apakah Didasari Ayat Al-Qur'an? Jumat (28/10/2022) di kanal Youtube Muslimah Media Center.
Menurutnya, tidak demikian sebenarnya yang dimaksud ayat ini kerena yang dimaksud amanah, bukan amanah sesuai dengan hukum manusia, tetapi amanah sesuai dengan hukum Allah. "Kita bisa lihat dari tafsir Ibnu Katsir yang menjelaskan QS. An-Nisa ayat 58 ini bahwa Allah menyerukan agar kita menyampaikan amanah kepada ahlinya itu adalah yang dimaksud amanah disini yang sesuai dengan Al-Qur'an dan hadits," ungkapnya.
Ustazah Wiwing juga menjelaskan bahwa yang dimaksud amanah adalah melaksanakan kewajiban-kewajiban dari Allah Swt seperti sholat, puasa, zakat dan juga yang berkaitan dengan muamalah yang berhubungan antara manusia yang satu dengan yang lainnya seperti jual beli sewa menyewa dan seterusnya.
"Sehingga ringkasnya yang dimaksud dengan amanah yaitu bagaimana hubungan antara manusia dengan Allah, hubungan manusia dengan manusia lainnya itu harusnya diatur oleh hukum yang ditetapkan oleh Allah Swt. dengan demikian amanah yang dimaksud disini adalah yang sesuai dengan perintah Allah, sesuai dengan ajaran islam," katanya.
Ketika dikatakan bahwa dalam demokrasi penguasa yang sudah ditunjuk dan dipilih oleh rakyat ini harus amanah, lanjutnya, sehingga harus menjalankan amanat rakyat maka harus menjalankan hukum-hukum yang dibuat rakyat maka tentu ini bertentangan dengan apa yang dimaksud dengan ayat ini.
Kedua, ayat berikutnya yang digambarkan sejalan dengan prinsip demokrasi yaitu dalam Qs. Al-Imran ayat 159 yang menjelaskan tentang musyawarah. "Karena itu maafkanlah mereka dan mohonkanlah ampunan untuk mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian, apabila engkau telah membulatkan tekad, maka bertawakallah kepada Allah. Sungguh, Allah mencintai orang yang bertawakal," ujarnya.
Ustazah Wiwing mengatakan, ayat ini memang menjelaskan tentang musyawarah, Allah memerintahkan umat Islam untuk bermusyawarah tapi sebenarnya ada perbedaan yang sangat mendasar antara konsep musyawarah didalam demokrasi dengan konsep musyawarah didalam islam. "Kalau di dalam demokrasi musyawarah itu adalah dalam segala hal, dalam segala urusan termasuk urusan kenegaraan, memecahkan masalah, hukum dan aturan semuanya dengan musyawarah itu kalau demokrasi," jelasnya.
"Sementara di dalam islam tidak demikian menurut Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani dalam kitab Sakhsiyah Islamiyah juz 1 menjelaskan berkaitan dengan musyawarah bahwa didalam islam pengambilan pendapat itu tidak selalu dengan musyawarah tapi dibagi-bagi," sambungnya.
Ustazah Wiwing juga menjelaskan bagian-bagian tersebut seperti, pertama, jika berkaitan dengan hal-hal yang sifatnya mubah misal berkaitan dengan sarana dan prasarana maka disitu dibolehkan bermusyawarah dan voting untuk pengambilan pendapat," jelasnya.
"Kedua, berkaitan dengan hal-hal yang berkaitan dengan hukum dan aturan maka dalam islam ditetapkan harus dikembalikan pada hukum Allah, kembali kepada syara' sehingga tidak dikembalikan kepada musyawarah tapi dikembalikan pada Allah contohnya berkaitan dengan masalah prostitusi yang merajalela, nah bagaimana solusinya apakah kemudian ini seharusnya di lokalisasi saja atau misalnya bagaimana supaya ini tetap bisa diselesaikan akhirnya dimusyawah disitu lalu divoting lalu pendapat mayoritas setuju dilokalisasi akhirnya aktivis zina ini dilokalisasi berdasarkan musyawarah dan voting pengambilan suara," terangnya.
"Tentu berbeda dengan Islam karena jelas masalah prostitusi merupakan zina adalah haram, maka tidak ada kompromi dalam masalah yang haram sehingga tentu saja tidak boleh solusinya dengan lokalisasi. Sehingga dalam islam dikembalikan pada hukum syara' bukan kepada musyawarah dan juga bukan pada voting atau pengambilan suara," lanjutnya.
"Ketiga, berkaitan dengan hal-hal yang sifatnya membutuhkan keahlian pengetahuan yang mendalam maka Islam menetapkan dalam hal yang seperti ini maka dikembalikan pada ahlinya misalnya ketika perlu ditetapkan pada sebuah daerah apakah di situ membutuhkan jembatan yang kuat, kokoh, bisa tahan terhadap gempa bumi dan seterusnya tentu yang seperti ini sudah tidak dimusyawarahkan juga tidak ditetapkan berdasarkan hukum syara tapi dikembalikan kepada pendapat yang ahli dalam pembuatan jembatan," ungkapnya.
Ustazah wiwing juga mengatakan bahwa sementara hal-hal yang mubah ditetapkan. "Misalnya yang berkaitan dengan sebuah forum seperti kita mau study tour ke sebuah lokasi apakah di alam terbuka atau di tempat yang bisa dipelajari ilmu dan teknologi dan seterusnya, yang jelas itu adalah hal yang mubah ketika hanya ingin mengambil keputusan maka musyawarah di sini dibolehkan dan ini ada landasannya," tuturnya.
"Ini jelas berbeda dengan demokrasi yang semua dimusyawarahkan hal-hal yang sudah jelas seperti zina, miras itu tidak perlu musyawarah. Malah tidak boleh dalam hal itu musyawarah itu harus dikembalikan pada hukum syara sehingga ketika dikatakan QS. Al-Imran itu sesuai dengan prinsip demokrasi tentu itu adalah pendapat yang salah," jelasnya.
Ketiga, dalam surah An-Nisa ayat 135 tentang prinsip adil. "Wahai orang-orang yang beriman, Jadilah kamu penegak keadilan.
Orang-orang yang mengusung demokrasi mengatakan bahwa prinsip-prinsip demokrasi itu sesuai dengan islam kita coba perhatikan ayat ini. Kalau kita perhatikan tafsir yang dimaksud adil dalam surah An-Nisa adil itu sesuai dengan hukum Allah bukan adil menurut kacamata manusia sehingga menurut demokrasi, adil ini menurut kacamata manusia, misal adil dalam waris itu adalah sama antara laki-laki dan perempuan. Dianggap inilah yang adil. Sementara dalam konsep islam, adil itu adalah sesuai dengan hukum islam sehingga dalam waris misalnya laki-laki dibandingkan perempuan itu 1 banding 2 Inilah yang adil karena berdasarkan hukum Allah sajalah yang mampu menghantarkan kepada keadilan," tuturnya.
Ia menegaskan, diantara ayat-ayat Al-Qur'an yang diklaim oleh para penganut demokrasi dinilai sebagai ayat-ayat yang mengandung prinsip demokrasi, sehingga demokrasi dianggap sesuai dengan islam ternyata sama sekali tidak. "Ayat-ayat Al-Qur'an yang tadi kita bahas itu tidak berkaitan dengan demokrasi sehingga demokrasi ini adalah sistem pemikiran kufur yang berasal dari orang-orang kafir yang bertentangan dengan islam," katanya.
"Tentu sebagai seorang muslim, khaira ummat (umat terbaik) tidak boleh kita mengambilnya kita hanya mengambil segala hal baik itu pemikiran, hukum dan aturan hanya yang berasal dari Allah saja hanya dengan itulah kita bisa kembali menjadi khaira ummah wallahua'lam bissawab," tutupnya.[] Erna Nuri Widiastuti
Referensi: https://youtu.be/2Jb27bS7R9U