Tinta Media - Pekan lalu media sosial ramai memberitakan tentang seorang suami yang menganiaya istri dan anaknya dengan sadis. Sang istri kini kondisinya kritis, sementara nyawa anak perempuannya tidak tertolong. Sebenarnya kasus ini hanya satu dari sekian banyak kasus kekerasan yang sekarang ini semakin banyak terjadi. Akan tetapi, yang mengherankan ada tuduhan yang dilontarkan anggota Komnas Perempuan, Rainy Hutabarat bahwa kasus penganiayaan yang berujung pada kematian anak tersebut merupakan bentuk kekerasan berbasis gender yang ekstrem. REPUBLIKA.co.id ( 09/11/2022)
Padahal faktanya, banyak juga terjadi kekerasan dengan korban yang sama gendernya, bahkan mengalami nasib yang lebih mengenaskan. Misalnya saja kasus yang sekarang ini masih berjalan dan menyita banyak perhatian, yaitu penghilangan nyawa ajudan di jajaran kepolisian. Ada juga kasus seorang anak di Ngawi, Jatim, yang membunuh ayahnya dengan tiga tusukan di dada hingga tembus ke paru, hanya karena bosan setelah setahun merawat ayahnya yang stroke. publika.rmol.id (20/10/2022)
Tuduhan kekerasan berbasis gender ini malah mengaburkan penyebab kekerasan yang sebenarnya sangat kompleks dan sistemik. Sesungguhnya ada banyak faktor yang menjadi penyebab kekerasan dalam rumah tangga. Hanya saja, para pegiat gender selalu mengarahkan opini bahwa penyebab kekerasan adalah karena ketidaksetaraan gender. Hal itu dilakukan untuk menipu umat agar mendukung kesetaraan gender yang diusung sebagai solusi atas persoalan perempuan dan anak. Padahal, senyatanya kesetaraan gender hanyalah ilusi dan tidak akan menyelesaikan permasalahan kekerasan.
Jika kita cermati lebih dalam, ada banyak faktor mengapa kekerasan semakin banyak terjadi di masyarakat. Tingkat stres yang semakin tinggi karena impitan ekonomi dan jauhnya seseorang dari nilai-nilai Islam membuat dia tak bisa mengontrol emosi. Relasi hubungan antar anggota keluarga hanya berdasarkan manfaat. Yang berkuasa adalah dia yang paling berkontribusi secara materi.
Suami sebagai kepala keluarga tak akan dianggap apa-apa jika pendapatannya lebih rendah dari istri. Akibatnya, terjadi guncangan dalam keluarga.
Itulah buah dari sistem kapitalistik yang merusak semua sendi-sendi kehidupan dan menjadi bibit terjadinya kekerasan. Bukan hanya di dalam rumah tangga, tetapi juga di masyarakat secara keseluruhan. Sistem ini tak layak untuk dipertahankan karena akan membawa manusia menuju kehancuran.
Islam tentu saja melarang kekerasan dan pembunuhan pada anak perempuan. Ketika dulu bayi-bayi perempuan dikubur hidup-hidup, Islam datang menyelamatkan. Bukan hanya itu, Islam mengutuk keras pembunuhan pada siapa pun, baik laki-laki dan perempuan tanpa hak, sebagaimana dalam surat Al-Maidah ayat 32.
Islam memandang laki-laki dan perempuan sama kedudukannya di hadapan Syara' dan akan mendapatkan balasan setimpal, baik Surga ataupun Neraka, sesuai dengan amal perbuatannya.
Adapun perbedaan peran dan kewajiban-kewajiban mereka yang dibebankan oleh Syara', merupakan bukti kasih sayang dan cinta dari Sang Pencipta. Allah Swt. yang paling tahu mana yang terbaik untuk makhluk ciptaan-Nya.
Setiap individu muslim diharuskan mempelajari ajaran agamanya, agar dia bisa menahan amarah dan memperlakukana istri serta anak-anaknya sebaik mungkin. Ini sesuai dengan tuntunan Nabi Muhammad saw. yang artinya:
“Sebaik-baik kalian adalah yang paling baik kepada keluarganya. Dan aku adalah orang yang paling baik kepada keluarga di antara kalian.” (HR Ibnu Majah)
Sebelum menikah, setiap individu muslim harus mengetahui hak dan kewajiban masing-masing, meniatkan dari awal bahwa pernikahan merupakan ibadah sepanjang jalan yang akan menggenapkan separuh agamanya.
Suami istri yakin bahwa masing-masing dari mereka akan dimintai pertanggungjawaban kelak di akhirat. Karenanya, mereka tidak akan berbuat zalim satu sama lain.
Begitu juga terhadap anak. Mereka akan menganggap anak sebagai amanah yang harus dijaga dan diperlakukan sebaik mungkin sesuai dengan keinginan pemiliknya, Allah Swt. Kesadaran tersebut, akan menghasilkan hubungan yang harmonis dan jauh dari tindak kekerasan.
Tak hanya itu, dalam sistem Islam, negara harus berperan aktif memberantas kekerasan, baik secara preventif maupun represif, agar tercipta suasana aman di seluruh lapisan masyarakat.
Negara harus menjamin bahwa setiap kepala keluarga berhak mendapatkan penghasilan yang layak agar bisa menafkahi keluarga dan menjalankan fungsi qawwam-nya dengan baik. Dengan begitu, para istri bisa nyaman di rumah merawat anak-anaknya. Keluarga akan sejahtera dan masyarakat akan lebih tentram tanpa kekhawatiran.
Inilah solusi tepat permasalahan kekerasan, bukan dengan kesetaraan gender yang hanya akan membuat blunder. Yakinlah, jika sistem Islam, yakni khilafah diterapkan, KDRT dan kekerasan lainnya akan terminimalisir, bahkan hilang dengan sendirinya.
Oleh: Sakinah Qalby
Sahabat Tinta Media