Siaran TV Digital, Siapakah yang Diuntungkan? - Tinta Media

Kamis, 17 November 2022

Siaran TV Digital, Siapakah yang Diuntungkan?

Tinta Media - Media sosial merupakan salah satu sarana informasi yang banyak diminati oleh sebagian besar masyarakat di negeri ini, tak terkecuali media televisi. Mayoritas masyarakat masih sangat bergantung pada media ini untuk mendapatkan informasi dan juga hiburan termudah yang mampu dijangkau hampir seluruh kalangan masyarakat, baik di kota maupun desa. 

Namun, tampaknya belakangan ini masyarakat harus terusik dengan kebijakan pemerintah, yang mengubah siaran TV analog ke TV digital, dengan alasan siaran TV digital ini lebih luas jangkauannya dan kebal terhadap gangguan frekuensi. 

Meski hal ini bukanlah kebijakan baru, tetapi cukup mengejutkan masyarakat, sebab dilaksanakan serentak mulai dari Jabodetabek per 02 November 2022. Warganet pun sontak mengkritisi kebijakan ini, sebab tak semua masyarakat mampu membeli set-top-box untuk mengakses TV digital. Namun apalah daya, kebijakan tetaplah kebijakan yang harus dijalankan, tak peduli jika itu mempersulit rakyat untuk mendapatkan haknya.

Sebagaimana disampaikan oleh Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam) Mahfud MD, bahwa ASO merupakan amanat Undang-Undang (UU) nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Ciptaker). Dalam UU itu disebutkan bahwa migrasi penyiaran televisi dari analog ke digital harus diselesaikan pada 2 November 2022. 

Menurut Mahfud, migrasi siaran TV analog ke digital ini merupakan program pemerintah dalam mewujudkan transformasi digital. Kebijakan ini merupakan ketentuan dari International Telecommunication Union (ITU). Jadi, peralihan siaran televisi analog ke digital adalah keharusan, (06/11/2022, nasional.okezone.com).

Peralihan secara serentak ini tentu saja berdampak pada meningkatnya permintaan set-top-box (STB). Panen untung dari membanjirnya order STB merupakan hal yang pasti. Jelas, para pengusaha inilah yang meraup banyak keuntungan dari kebijakan ini. 

Sedangkan rakyat hanya sebagai pihak yang menerima pelaksanaan kebijakan, sekaligus yang paling diperas isi dompetnya. Meskipun koar-koar adanya pembagian STB gratis, tetap saja pada faktanya banyak yang tidak mendapatkan. Selain itu, TV tabung yang menjadi instrumen TV analog juga tidak bisa digunakan untuk menyaksikan TV digital, bahkan TV layar datar pun juga tidak semuanya bisa ditransformasikan menjadi instrumen TV digital. 

Apakah ini berarti masyarakat juga harus membeli TV baru demi siaran TV digital? Harusnya ini juga dijadikan pertimbangan sebelum memaksakan kebijakan kepada hak rakyat.

Di dalam sistem kapitalisme, kebijakan seperti ini merupakan hal wajar, sebab segala sesuatunya dianggap sebagai komoditas ekonomi. Demikian jugaperihal media, yang dewasa ini merupakan instrumen paling berdaya ekonomis dan menguntungkan untuk dijadikan lahan mengumpulkan pundi-pundi rupiah. Terlebih, masyarakat saat ini hampir tidak bisa terlepas dari media digital pasca pandemi. Sehingga, hal ini pun menjadi celah bagi para kapitalis untuk meraup banyak keuntungan. Sungguh hal ini sangat bertolak belakang dengan sistem Islam.

Setiap individu yang berkewarganegaraan Daulah Islam (khilafah), boleh mendirikan suatu media informasi, baik cetak, audio, audio visual, analog, maupun digital. Negaralah yang memegang kendali media informasi, khususnya dari aspek infrastruktur media dan konten media tersebut. Negara khilafah akan menindak tegas apabila ada pemilik lembaga media yang melanggar kebijakan yang telah ditetapkan. 

Tak hanya itu, khilafah juga bertanggung jawab menyediakan instrumen penyedia layanan siaran media. Khilafah hanya menyediakan konten-konten siaran/tayangan yang edukatif sesuai aturan Islam dan juga sebagai sarana dakwah Islam. Negara tidak akan membiarkan para kapitalis menjadi pengendali media seperti saat ini, apalagi sampai menjadikan media sebagai lahan bisnis dengan rakyat.

Perlu disadari betul oleh masyarakat, bahwa sistem kapitalisme saat ini telah merenggut kesejahteraan rakyat. Bahkan, banyak kerusakan moral juga disebabkan oleh sistem tersebut. Negara yang seharusnya mengurusi kebutuhan umat, faktanya justru berbisnis dengan rakyat. Sistem inilah yang menjadi akar masalahnya. Namun, di sisi lain, tawaran solusi dari sistem Islam justru dikriminalisasi. 

Sudah saatnya umat Islam melek akan aturan Islam, menjadikan Islam sebagai solusi terbaik dalam kehidupan dan bernegara. Jangan biarkan liberalisasi ekonomi dan budaya kian merusak generasi muslim. Jadikan generasi kita kritis dengan terus mendakwahkan kebenaran yang berasal dari Pencipta manusia. Wallahu a'lam bish shawab.

Oleh: Nur Faktul
Pemerhati Sosial dan Generasi
Rekomendasi Untuk Anda × +

Bagikan artikel ini

Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini.

Artikel Menarik Lainnya :