Tinta Media - Pernyataan Ketua Umum Nahdlatul Wathan Diniyah Islamiyah Dr. TGB Muhammad Zainul Majdi, M.A. melalui video yang dipublikasikan Badan Kebudayaan Nasional PDIP 4 November 2022 yang menyatakan ‘ajakan-ajakan untuk kembali kepada kekhalifahan, di beberapa negara Islam itu terbukti memecah belah' sebagaimana yang terjadi di Suriah dan Yordania, dinilai ada kesalahpahaman dalam menilai fakta.
“Pertama ada kesalahpahaman TGB dalam menilai fakta yang terjadi di Suriah dan juga di negeri-negeri Timur Tengah lainnya. Sesungguhnya konflik dan kondisi yang kemudian memecah belah kaum muslimin di Timur Tengah itu bukan karena dakwah khilafah tapi karena intervensi dari negara-negara Barat,” ungkap Mudir Ma’had Khadimus Sunnah Ajengan Yuana Ryan Tresna (YRT) kepada Tinta Media Senin (14/11/2022).
Ia mencontohkan konflik yang terjadi di Suriah. Menurutnya, konflik yang berkepanjangan di Suriah kemudian terjadi pecah belah di dalam negeri karena ada provokasi dari banyak pihak. Keberadaan ISIS (Islamic State of Irak and Syria) sendiri adalah sebuah organisasi yang masih diragukan oleh banyak pihak murni sebagai gerakan kaum muslimin.
“Justru bukti-bukti menunjukkan bahwa ISIS adalah alat dari kepentingan asing. Artinya konflik yang terjadi di negeri kaum muslimin sehingga mereka terpecah belah itu bukan karena dakwah khilafah tapi karena konflik yang dipelihara oleh kafir penjajah,” tegasnya.
YRT menegaskan konflik yang dirawat oleh kafir penjajah untuk melanggengkan penjajahan ini adalah fakta yang harus difahami dengan baik oleh kaum muslimin.
“Kedua, bisa jadi TGB tidak faham bagaimana metode dalam menegakkan Khilafah dan dakwah menuju Khilafah, yang sesungguhnya dilakukan secara pemikiran, tidak dengan kekerasan, tidak dengan konflik, tidak dengan kudeta, tapi dengan perubahan masyarakat,” terangnya.
Perubahan itu, lanjutnya, melalui perubahan cara-cara pandang atau pemahaman tentang masyarakat. Itulah yang disebut dengan dengan perubahan melalui jalan umat.
“Jadi umatlah yang menghendaki adanya perubahan. Dan itu adalah bentuk perubahan yang berbeda dengan kudeta atau konflik yang terjadi di negara-negara Timur Tengah pada hari ini,” imbuhnya.
Narasi Jahat
YRT mengatakan kalau motif TGB karena ketidakcermatan membaca fakta, ketidakcermatan membaca secara jujur bagaimana semestinya dakwah khilafah itu, mungkin masuk dalam kategori kecerobohan dalam menyampaikan sesuatu, termasuk narasi yang ceroboh.
“Tapi kalau motifnya adalah dalam rangka melanggengkan penjajahan, untuk membela sistem demokrasi yang ada hari ini, untuk melawan para penyeru Khilafah sebagaimana yang menjadi misi utama dari para penjajah untuk membendung gerakan radikalisme dan sebagainya, maka tentu itu termasuk narasi jahat untuk melakukan fitnah kepada dakwah Islam terutama dakwah mengajak kepada penerapan Islam kafah dalam naungan khilafah,” tegasnya.
YRT mengatakan, betul di Suriah, Jordan dan negeri-negeri muslim lainnya umat Islam menghadapi represif penguasa yang sangat keras terhadap dakwah Islam. Barat juga menciptakan kelompok-kelompok yang saat ini sudah ada di tengah masyarakat untuk menciptakan konflik, termasuk apa yang terjadi di Suriah dengan ISIS dan kelompok-kelompok syiah yang memunculkan konflik di sana. “Konflik itu dirawat oleh kafir penjajah,” tandasnya.
YRT lalu menyimpulkan bahwa yang melanggengkan konflik itu berawal dari sikap represif penguasa dan kedua konflik itu dirawat oleh penjajah.
“Ini mungkin yang dibaca oleh para tokoh yang ada hari ini sehingga berkomentar dengan dugaan dua motif tadi, karena kecerobohan atau memang memiliki motif buruk mengaburkan dakwah Islam, mengaburkan seruan menuju khilafah serta membela kapitalisme,” terangnya.
Menurut YRT, statement sebagaimana yang diucapkan TGB itu muncul karena kemenangan narasi perang melawan radikalisme.
“Dulu namanya perang melawan terorisme (WOT) dan itu membuahkan hasil yang sangat gemilang bagi mereka. Mereka hanya butuh waktu singkat untuk membelah dunia menjadi dua, bersama kami kata mereka, atau bersama teroris. Jadi, siapapun yang tidak sepakat dengan kami maka teroris,” urainya.
Nah tidak cukup dengan itu, sambung YRT, agendanya dilanjutkan dengan perang melawan radikalisme hingga hari ini dengan salah satu gagasannya moderasi Islam.
“Apa yang ada di balik pernyataan TGB dan tokoh-tokoh yang lain pada hari ini itu bisa kita baca dari titik ini yaitu keberhasilan barat melakukan war on radikalisme sehingga tokoh-tokoh yang ada harus cari aman. Mereka harus berdiri melawan radikalisme atau membela radikalisme. Cuma itu pilihannya,” paparnya.
Perang Istilah
Tokoh-tokoh yang ada, kata YRT, yang memang tidak berani untuk menyatakan yang sebenarnya atau yang tersandera dengan kekuatan politik yang ada maka akan berada di barisan melawan radikalisme.
“Dan radikalisme adalah seperti yang mereka definisikan yaitu siapapun yang bertentangan dengan prinsip-prinsip nation state, termasuk dalam konteks Indonesia dihadapkan dengan Pancasila NKRI Bhineka Tunggal Ika dan lain sebagainya,” imbuhnya.
Padahal menurut YRT, sebenarnya itu sudah merupakan tafsir yang sangat jauh dari radikalisme. “Jadi, siapapun yang menolak demokrasi akhirnya disebut radikalis. Siapapun yang membela menyuarakan Islam disebut dengan radikalisme. Itu adalah satu mustholahat (istilah-istilah) yang mereka gunakan untuk menyerang Islam,” tegasnya.
Perang istilah yang hari ini mereka berhasil sampai titik perang melawan radikalisme. “Kita harus melawan itu, harus sadar bahwa ini dalam kondisi harbul mustholahat yakni perang istilah yang kita harus luruskan, kita harus lawan, kita harus jelaskan secara pemikiran,” pungkasnya. [] Irianti Aminatun