Tinta Media - Ketua Forum Doktor Muslim Peduli Bangsa (FDMPB) Dr. Ahmad Sastra sangat menyayangkan para santri yang terjebak sinkretisme agama dan pragmatisme politik.
“Hari Santri Nasional yang digelar tiap tanggal 22 Oktober setiap tahunnya, tapi sangat disayangkan jika para santrinya terjebak sinkretisme agama dan pragmatisme politik,” tuturnya kepada Tinta Media, Senin (7/11/2022).
Sinkretisme agama dan pragmatisme politik menurut Ahmad Sastra merupakan kemusyrikan modern yang menyerang tauhid umat muslim. “Sebagaimana terjadi sejak dulu, ini hanya lah sebuah kelanjutan masa lalu,” ujarnya.
Ia menjelaskan tentang sinkretisme agama seperti paham pluralisme dan paham moderasi agama. Dan Allah dengan tegas melarang mencampuradukkan ajaran, sebagaimana firman Allah dalam surat Al-Baqarah ayat ke 42, yakni tidak mencampuradukkan antara kebenaran dan kebatilan, dan tidak menyembunyikan kebenaran.
“Pencampuradukan ajaran agama-agama yakni dengan mengoplos yang hak dan batil, dalam bahasa filsafat disebut sinkretisme agama,” jelasnya.
Ia menilai seharusnya para santri memahami bahwa salah satu kebenaran Islam justru ditunjukkan melalui berbagai istilah-istilah yang khas dengan makna yang khas pula.
“Berbagai istilah khas Islam misalnya kata kaffah, rahmatan lil’alamin, dan washatiyah, ketiganya memiliki pengertian khas yang sahih karena berasal dari Allah langsung,” ucapnya.
Sementara istilah moderatisme, sekularisme, liberalisme, pluralisme, dan radikalisme adalah istilah yang berasal dari epistemologi Barat. “Dan tentu saja bertentangan dengan ajaran Islam,” lanjutnya.
Barat menginginkan polarisasi muslim dengan memberikan label dan kapling-kapling Islam sehingga menimbulkan berbagai friksi intelektual hingga fisik sesama muslim. Ahmad Sastra mengatakan upaya semacam ini sesungguhnya pengulangan sejarah semata. “Karena itu umat Islam khususnya santri harus cerdas dan mampu membaca dengan cepat dan tepat. Inilah yang disebut ghozwul fikr,” katanya.
Ragam Islam buatan Barat seperti Islam moderat, Islam radikal, Islam fundamentalis, Islam nusantara, Islam progresif, Islam liberal, Islam teroris, Islam sekuler, Islam tradisional, dan Islam modern. Semua ini merupakan hasil dari gerakan imperialisme epistemologi (ghozwul fikr) Barat ke dunia Islam.
“Tentu saja hal tersebut tidak akan ditemukan dalam ajaran Islam karena termasuk sinkretisme,” ungkapnya.
Ia membeberkan upaya Barat dalam bidang agama dengan memunculkan narasi pengarusutamaan moderasi agama. Di mana narasi moderasi agama adalah indikasi kecil dari islamphobia. Bertujuan mengaburkan hakikat Islam, mencampur aduk kebenaran Islam dengan agama lain.
“Selain itu bertujuan untuk mengerdilkan ajaran Islam, mendegradasi akidah umat Islam, dan melumpuhkan dakwah tauhid serta menghadang kebangkitan Islam,” bebernya.
Baginya tanpa adanya narasi moderasi agama, Islam adalah agama yang paling bisa memberikan ruang pembiaran kepada pemeluk agama lain. Islam memberikan ruang pengakuan atas fakta pluralitas sosiologis, namun tidak dengan pluralisme teologis. “Tanpa diembel-embel moderat, Islam merupakan agama yang penuh perdamaian, toleransi, adil, dan menebarkan kebaikan kepada seluruh alam semesta,” ucapnya.
Ahmad Sastra menyatakan bahwa jebakan yang tidak kalah berbahaya yang tengah menjerat kaum santri adalah jebakan pragmatisme politik. Istilah pragmatisme ini berasal dari kata Yunani, artinya perbuatan (action) atau tindakan (practice).
“Para santri, kyai, dan ulama yang menjebakkan diri dalam permainan politik demokrasi sekuler maka mereka sesungguhnya sedang menjerumuskan ke dalam jebakan pragmatisme,” tuturnya.
Ia memaparkan bahwa pragmatisme memandang kriteria kebenaran ajaran adalah faedah atau manfaat, sedangkan pragmatisme William James menawarkan sebuah konsep baru dalam memandang kebenaran. William James menolak kebenaran sebagai sesuatu yang sifatnya statis, yang dikandung oleh suatu gagasan.
“Hal ini menimbulkan implikasi bahwa kebenaran tidak bersifat mutlak, melainkan berubah-ubah. Jelas sekali pragmatisme ini sebagai standar ide dan perbuatan yang sangat bertentangan dengan Islam. Standar perbuatan Islam ialah halal haram, bukan manfaat atau kegunaan riil untuk memenuhi kebutuhan manusia yang dihasilkan oleh sebuah ide, ajaran, teori, atau hipotesis,” paparnya.
Politik demokrasi menjadikan manfaat sebagai standar kebenaran dan mengabaikan wahyu. Ia mempertanyakan peranan santri, kyai dan ulama yang terjebak dalam pragmatisme politik.
“Lantas apa jadinya kalau para santri, kyai, dan ulama tidak lagi menjadikan wahyu sebagai standar kebenaran dalam berpolitik?” tanyanya.
“Benar apa yang disampaikan Imam Al Ghazali bahwa rusaknya rakyat karena rusaknya pemimpin, sementara rusaknya pemimpin karena rusaknya para ulama,” pungkasnya. [] Ageng Kartika