Ruang Penyalahgunaan Moderasi Beragama di Internal Islam - Tinta Media

Minggu, 06 November 2022

Ruang Penyalahgunaan Moderasi Beragama di Internal Islam

Tinta Media - Pemerintah tengah mengupayakan program untuk merespon isu terorisme di Indonesia. Dilatarbelakangi kaum ekstremes dengan program deradikalisasi, tentu hal ini menjadi semacam ancaman besar yang dapat merusak tatanan dan keutuhan NKRI.

Itulah mengapa, dana hingga triliyunan disiapkan demi suksesnya program yang pemerintah menamainya dengan moderasi beragama.

Sebenarnya, Islam itu wasathiyah sejak dahulu. Islam adalah agama yang rahmatan lil 'alamin, tidak mengajarkan kekerasan sebagaimana judgment yang keliru dari masyarakat. 

Lihatlah bagaimana Rasulullah selama memimpin di Madinah dengan mengayomi banyak agama. Tidak ada indikasi intoleran di sana.

Adapun mengenai peperangan-peperangan dalam sejarah, tentu bukan dalam konteks bermasyarakat sebagaimana kepemimpinan Rasulullah di Madinah.

Para pejuang kemerdekaan negara Indonesia mengakui keberadaan agama lain selain Islam. Bahkan sejak dulu, umat Islam Indonesia pun mengamalkan washathiyah. 

Sebenarnya, moderasi beragama itu bukan hal yang baru dalam Islam. Ia adalah identitas umat. Allah sendiri yang menyebut umat Islam dengan sebutan ummatan wasathan dalam surat al-Baqarah ayat 143.

Tidak mungkin ada umat Islam yang meragukan washathiyah, karena itulah ajarannya.

Artinya, hanya karena pemerintah baru memprogramkannya akhir-akhir ini. Akan tetapi, moderasi beragama bukanlah hal yang baru, itulah hakikat Islam. Itulah ummatan wasathan. Itulah Islam wasathiyah.

Program pemerintah ini sebenarnya semakin menegaskan dan mengukuhkan eksistensi ajaran Islam itu sendiri, bukan semacam kebaruan dalam agama Islam. 
Anehnya, sebagus apa pun program ini, masih saja ada yang meragukan. 

Sebenarnya, umat Islam tidak mungkin meragukan ajarannya. Akan tetapi, yang membuat mereka ragu adalah sisi penyalahgunaan yang mungkin bisa mendapat perhatian serius dari pemerintah untuk dievaluasi demi terselenggaranya program dengan lebih baik.

Pemaknaan Moderasi Beragama di Internal Islam

Moderasi beragama atau kita sebut saja pertengahan, tidak terlalu longgar dan tidak terlalu keras. Bila moderasi beragama sampai dimaknai terlalu longgar, maka ia bisa jatuh pada moderasi agama. 

Moderasi agama, yang dimoderasikan adalah 'ajaran'nya, sedangkan moderasi beragama; yang dimoderasikan adalah 'prilaku beragama'nya. Khalayak masyarakat perlu memahami ini. Karena bagaimanapun, moderasi beragama dengan agama tipis sekali, bahkan masyarakat awam mungkin saja bisa masuk pada toleransi yang berlebih.

Bila sudah terperosok jatuh pada memoderasikan ajaran, sama artinya dengan keluar dari batasan ajaran Islam.
Bila diibaratkan, umat Islam memiliki akidah (keyakinan). Bila umat sampai melanggar akidah itu, tentu ia telah salah memaknai moderasi beragama.
Inti ajaran sampai diubahnya atas nama kerukunan beragama. Kalau sudah ajaran yang diubah, maka ia telah merusak ajarannya sendiri.

Inilah yang penulis ingin sampaikan bahwa ada hal yang sangat krusial. Islam baik-baik saja, ia mengajarkan nilai-nilai toleransi. Namun, tidak lagi dalam jalurnya bila toleransi itu dilebih-lebihkan, bahkan melewati batas.

Sesungguhnya nilai toleransi dalam Islam semenjak Indonesia merdeka tidak sampai mengganggu kerukunan beragama. Hanya karena teroris dan kaum radikal mengaku dari Islam, bukan berarti umat Islam dipaksa dengan sesuatu yang bisa melanggar akidahnya. 

Islam berdiri di atas toleransi, lantas momentum program ini digunakan sebagian oknum agar umat Islam dipaksa untuk toleransi yang keluar batasnya. 
Bagaimana mungkin ia menggadaikan akidah agamanya sendiri, bahkan toleransi umat Islam tidak sampai mengganggu kerukunan beragama. 

Sedangkan mereka yang melakukan pengeboman itu, yang bervisi deradikalisasi itu, sesungguhnya mereka yang seharusnya menjadi sasaran, bukan umat Islam pada umumnya yang bahkan berusaha mengamalkan ajaran agamanya dengan baik.

Kemudian, bila Islam terlalu keras pun, hakikatnya telah keluar dari batasannya. Namun di program ini pun ada semacam peluang ketidakadilan.

Saat kaum ekstremes mengaku dari Islam, kemudian pemerintah begitu overprotektif terhadap 'seluruh' umat Islam demi melindungi keutuhan negara, justru, ada baiknya sasaran itu lebih dispesifikan lagi. 

Coba perhatikan fenomena yang terjadi. Media marak meradikal-radikalkan seseorang tanpa bukti, khususnya umat Islam. Padahal, itu hanyalah konsekuensi dari pemahaman fikih yang dipegangnya.

Sesungguhnya fikih itu luas, tidak hanya satu. Umat Islam yang dimaknai tidak pro dengan pemahamanmya, lantas dilabeli teroris. 

Di sinilah pentingnya pemaknaan moderasi beragama di internal Islam. Perlunya mengedukasi masyarakat agar jangan sampai program ini memecah belah persatuan Islam hanya karena merasa paling benar dengan madzhabnya.

Alih-alih merukunkan antar agama, justru internal agama Islam malah terpecah-belah dengan program ini, penuh provokasi kebencian, hingga saling curiga mencurigai. Padahal, merekalah yang seharusnya jadi sasaran, yang jelas bukti radikalnya?

Inilah yang dimaksud penulis agar jangan sampai makna moderasi beragama itu menjadi kabur dan tidak tepat sasaran. Seharusnya yang dituju adalah kaum ekstremes, tapi yang dibidik adalah umat Islam seluruhnya. Hal ini bisa menjadi celah diskriminasi untuk agama Islam.

Itulah sisi evaluasi program ini yang perlu mendapat perhatian. Dalam agama Islam, ada satu lagi PR yang jadi catatan, yaitu memperbaiki pemahaman mereka yang mudah meradikalkan seseorang tanpa bukti. Ini bisa mengaburkan makna moderasi beragama, bahwa Islam dengan agama lain rukun, tetapi Islam di agamanya sendiri saling bermusuhan.

Bagaimana mungkin ia bisa toleransi dengan agama lain, tetapi tidak toleransi dengan perbedaan furu' di agamanya sendiri.

Oleh: Shopiah Syafaatunnisa
Sahabat Tinta Media


Rekomendasi Untuk Anda × +

Bagikan artikel ini

Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini.

Artikel Menarik Lainnya :