Tinta Media - Sistem zonasi pada Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) menyisakan banyak persoalan di berbagai wilayah di Indonesia. Sistem ini dipandang sebagai salah satu upaya meningkatkan akses pendidikan yang berkeadilan, tetapi faktanya berbanding terbalik.
Banyak pihak mengkritisi sistem zonasi ini. Salah satunya adalah anggota DPRD Jabar Dapil II fraksi PAN Hj. Thariqoh Nashrullah, ST.ME.Sy. Ia mengimbau agar Dinas Pendidikan Kab. Bandung perlu meninjau ulang pemetaan sekolah-sekolah di wilayahnya.
Banyaknya wilayah di Kecamatan Kabupaten Bandung belum memiliki sekolah negeri baik SD, SMP maupun SMA. Ini dikarenakan pemetaan sekolah negeri tersebut masih menumpuk di pusat kecamatan saja. Thariqoh pun menyarankan agar pemda Kabupaten Bandung segera memperbaharui dan mengadakan fasilitas sekolah demi menunjang sistem zonasi ini.
Saat ini memang PPDB dengan sistem zonasi mengharuskan calon peserta didik mendaftar ke sekolah terdekat yang berada di sekitar tempat tinggalnya saja. Aturan ini ditetapkan pemerintah melalui Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (permendikbud) no.44 Tahun 2019.
Awalnya sistem ini dimaksudkan guna mendorong pemetaan guru yang berkualitas, serta pemerataan jumlah guru yang dibutuhkan di setiap sekolah. Namun, ternyata kebijakan zonasi ini malah menimbulkan masalah yang pelik. Penyesuaian sekolah dengan tempat tinggal peserta didik melalui kartu keluarga (KK) yang sudah diterbitkan minimal 1 tahun menjadikan orang tua yang ingin anaknya masuk sekolah negeri yang diminati berlomba-lomba memanipulasi data domisili yang ada dalam KK agar dekat dan masuk peta koordinat sekolah yang diinginkan.
Tidak meratanya sekolah negeri di setiap wilayah malah menjadikan kelebihan daya tampung calon peserta didik pada suatu sekolah. Kelebihan inilah yang acap kali dijadikan transaksi bisnis para oknum sekolah yang bersangkutan.
Agar peserta didik dapat tertampung dan masuk quota, maka mereka harus membayar sejumlah uang. Sudah menjadi rahasia umum jika ingin masuk sekolah negeri harus membayar mahar, sehingga mau tidak mau para orang tua dipaksa melakukan kecurangan demi kelangsungan pendidikan anaknya, ketimbang harus masuk sekolah swasta yang sangat mahal biayanya. Bahkan, sistem zonasi menjadikan banyak sekolah kosong. Banyak pula anak-anak yang tidak dapat sekolah.
Karut-marut PPDB sistem zonasi menunjukkan betapa lemahnya negara dalam mengurus pendidikan warganya. Padahal, pendidikan adalah hak mendasar individu dan masyarakat. Namun, sangat disayangkan pengelolaan negara kita yang berasas kapitalis-neoliberal menuntut negara memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada swasta ataupun masyarakat untuk terlibat dalam kewajiban yang seharusnya dilakukan negara.
Negara yang seharusnya menjadi pelaksana dan operator malah cuci tangan dalam mengurus urusan rakyat dan berperan sebagai regulator dan fasilitator saja. Karena itu, bermitra dengan swasta dianggap solusi bagi pemerintah daripada harus membangun sekolah yang memadai.
Alhasil, pendidikan dijadikan alat pengeruk keuntungan dengan adanya keterlibatan swasta. Karena itu, pendidikan melalui sistem zonasi tidak akan pernah menjadi solusi jika sistem politik negeri ini masih berpegang pada kapitalis-neoliberal.
Padahal, jika target awalnya ingin menciptakan keadilan dalam kemampuan mengakses sarana pendidikan bagi seluruh rakyat, maka pengadaan sarana-prasarana pendidikan di setiap wilayah harus disesuaikan dengan kebutuhan rakyat, mulai dari pendidikan dasar, menengah, atas, bahkan perguruan tinggi. Tidak boleh dibeda-bedakan antara kualitas sekolah di wilayah (daerah) dengan kualitas sekolah di pusat ibu kota negara.
Hal itu didasarkan pada pemahaman bahwa pendidikan merupakan kebutuhan mendasar bagi setiap manusia, sehingga harus dipenuhi secara maksimal. Konsep seperti ini hanya dapat dijalankan oleh sebuah sistem yang memiliki konsep ri'ayah (pengaturan) urusan rakyat dalam penyelenggaraan negaranya, yaitu sistem Islam.
Sistem Islam yang diterapkan dalam sebuah khilafah, menjadikan seorang kepala negara (khalifah) sebagai pihak yang paling bertanggung jawab dalam menyelenggarakan pendidikan bagi semua warga negara. Oleh karena itu, khalifahlah yang menyiapkan sarana-prasarana pendidikan, mulai dari gedung sekolah beserta seluruh kelengkapannya, guru-guru yang kompeten, kurikulum sahih yang berlandaskan akidah Islam, serta konsep tata kelola sekolahnya. Ditunjang dengan penyiapan SDM pendidik yang mumpuni, berupa pengadaan perguruan tinggi yang memadai untuk melahirkan calon-calon guru (pendidik).
Terkait mekanisme pemenuhan hak pendidikan bagi seluruh warga negara, khilafah berpegang pada prinsip kesederhanaan aturan, kecepatan pelayanan, dan profesionalitas pengurus, sehingga mempermudah peserta didik dalam mengakses pendidikan, mulai dari pendaftaran hingga pelaksanaan belajar-mengajarnya.
Melalui mekanisme pembiayaan yang dikelola oleh baitulmal, khilafah mampu menghadirkan pelayanan pendidikan yang gratis, tetapi tetap berkualitas di seluruh wilayah negeri. Hal inilah yang menjadikan warga negara berlomba-lomba dalam menikmati pelayanan pendidikan, sehingga menghadirkan kualitas SDM rakyat yang berkualitas, yang peluangnya dimiliki oleh semua rakyat, tanpa kecuali. Inilah yang akan mengantarkan negara menjadi maju dan berperadaban tinggi di tengah kehidupan umat manusia. Selain itu, rakyat juga berlomba-lomba dalam upaya mencapai derajat yang tinggi di sisi Allah melalui ilmu yang diraihnya.
Hal tersebut pernah terjadi di masa kegemilangan Islam, yaitu ketika penerapan Islam dalam kekhilafan berjalan selama lebih dari 13 abad. Pendidikan pada masa itu melahirkan banyak ilmuwan besar, seperti Ibnu Sina, Ibnu Rusyd, al-Khawarizmi, al-Farabi, Imam al-Ghazali, dan masih banyak lainnya yang pengaruh keilmuannya dapat dirasakan hingga di zaman modern seperti sekarang.
Wallahu'alam bishawwab.
Oleh: Thaqqiyuna Dewi, S.I.Kom.
Sahabat Tinta Media