Tinta Media - Semua pasti setuju, setiap orang harus bertransformasi "dadi wong apik" (menjadi orang baik). Hijrah total menjalani proses yang ada memantaskan diri "dadi wong apik."
Dadi wong apik tidak bisa sekedar slogan. Seringkali ditemui manis di kata dan ucapan semata, namun sumir dalam realita. Dadi wong apik perlu pembuktian. Harus satu antara kata dan perbuatan. Disitulah akan muncul harmoni "dadi wong apik."
Salah satu ciri "wong apik" adalah "mikul dhuwur mendhem jero." Dia tidak akan menjelek-jelekkan saudaranya. Tidak mengakui persahabatan yang selama ini terjalin. Apalagi membuat pengakuan yang terlihat memojokkan di muka umum atau di sosial media.
Selain itu ciri wong apik adalah "ojo kepaten obor." Artinya akan terus berusaha sekuat tenaga untuk menyambung silahukhuwah dengan saudara muslimnya dan silahturahmi dengan saudara kandungnya. Sikapnya tidak justru sebaliknya. Menunjukkan diksi memutus tali silahturahmi. Entah dengan kepentingan apapun. Dia tetap akan menjaga. Bukan karena tekanan, iming-iming, dll mudah mengucapkan diksi memutus ukhuwuh.
Dan masih banyak ciri-ciri yang lain.
"Ojo Bosen Dadi Wong Apik" itu kalimat yang sarat makna dan luar biasa. Perlu digalakkan. Namun akan menjadi "wagu" dan kontra produktif jika yang terlibat didalamnya justru menebar aroma memutus ukhuwah dan menjelekkan saudara. Jadijya "ra toto lan ra mutu."
Bukankah kita terus mendakwahkan, jangan hanya beda fiqih terus menjelek-jelekkan atau menyesatkan orang. Jangan sampai beda pilihan dakwah bukan disebut saudara, tapi malah di sebut musuh. Sungguh, itu semua bertolak belakang dengan ukhuwah dan materi dakwah. "Bersamamu dalam lika-liku dakwah" tentu menjadi seru. Demikian juga "timbul tenggelam dalam lautan dakwah."
Akankah kata-kata manis itu saat ini telah menjadi hambar? Terus berbuat baik walau dianggap tidak baik. Tidak berhenti berproses menjadi orang baik walau ada yang menjauh dan bersikap kurang pas. Bismillah. Allah bersama kita.
Oleh: Gus Uwik
Peneliti Pusat Kajian Peradaban Islam