Merebaknya Kasus Kekerasan hingga Pembunuhan, Kok Bisa? - Tinta Media

Minggu, 06 November 2022

Merebaknya Kasus Kekerasan hingga Pembunuhan, Kok Bisa?

Tinta Media - Bulan September lalu, publik dihebohkan dengan kasus KDRT yang melibatkan pasangan selebritis yang cukup dikenal masyarakat dengan keharmonisannya. Tak hanya di kalangan publik figure, akhir oktober ini kasus yang tak kalah mengejutkan juga terjadi. Seorang suami membunuh istrinya sendiri lantaran cemburu. Jasad korban kemudian dibuang di tebing jembatan. Masih di ranah keluarga, seorang paman membanting keponakannya yang masih bayi berusia 4 bulan ke lantai hingga tewas lantaran kesal seusai cekcok dengan ibu korban.

Kasus serupa yang juga sempat viral, yaitu beredarnya sebuah video yang diduga seorang eks pendeta muda mendorong troli berisi bungkusan plastik, sembari tersenyum ketika hendak naik lift. Plastik tersebut ternyata berisi jasad korban yang dibunuhnya di sebuah apartemen di Jakarta Timur. 

Publik kembali harus mengelus dada. Dua bulan berturut-turut (Agustus-September) institusi pendidikan berbasis agama (pesantren) berkabung. Pasalnya, di sejumlah pesantren terjadi kasus kekerasan, berupa penganiayaan oleh senior, pengeroyokan hingga perkelahian yang menimbulkan hilangnya nyawa. 

Institusi non-agama pun tak lepas dari kasus serupa. Beberapa hari yang lalu, tawuran pelajar yang membawa senjata tajam terjadi di Tangerang. Salah satu korbannya mengalami luka bacok di kepala hingga tengkoraknya terbuka cukup lebar. Yang terbaru, kasus perundungan yang berujung cacat permanen pada korban hingga depresi mental dialami oleh pelajar MAN 1 Bandar Lampung. Pelakunya adalah teman-teman sekolah korban.

Sederet kasus kekerasan ini terjadi di berbagai lini, mulai dari yang terkenal sampai orang biasa, ranah privat hingga publik. Pelakunya orang terpelajar hingga bahkan yang terkesan agamis. 

Seyogyanya hal ini menimbulkan pertanyaan, mengapa kasus demikian ini begitu menjamur. Terlepas dari segala motif yang mendasari pelaku melakukan tindak kekerasan di atas, jika diambil benang merahnya, maka akan sampai pada kesimpulan bahwa kita hari ini sedang hidup di sistem yang menempatkan nyawa manusia seolah tidak ada harganya. Jika kejadiannya hanya satu dua kasus atau beberapa bidang saja, maka problemnya ada di individu. Namun, jika merata seperti ini, kita patut waspada bahwa kesalahannya tidak sekadar dari sisi individu per individu saja, tetapi sudah di level yang lebih tinggi.

Kesalahan pada level individu diakibatkan oleh lemahnya benteng keimanan dalam jiwa, sehingga seseorang menjadi mudah dibutakan oleh nafsu dan emosi sesaat. Minimnya pemahaman terhadap syariat telah membelokkan standart perbuatan seseorang, bukan lagi halal haram. Solusi yang diambil untuk menyelesaikan masalah pun tidak lagi mengindahkan rambu-rambu syariat. Merundung, melukai fisik, bahkan hingga menghilangkan nyawa pun dengan mudah dilakukan karena tidak adanya kontrol diri yang lahir dari pemikiran dan perasaan takut akan dosa.

Pada level negara, sistem kapitalis demokrasi nyatanya telah menjadi pabrik bagi segala macam produk berupa kerusakan pemikiran, perasaan, dan aturan di tengah-tengah masyarakat. Dampak sistemik pun tidak bisa dielakkan. 

Pada tataran pengaturan ekonomi yang kapitalistik, negara membolehkan penguasaan sektor-sektor krusial publik oleh pemilik modal, permainan harga oleh jejaring kapital, industrialisasi sektor pendidikan, kapitalisasi bidang kesehatan, dll. 

Variabel-variabel tersebut telah menciptakan lingkaran setan bagi rusaknya tatanan kehidupan masyarakat, dari ranah yang sangat privat sampai publik. 

Secara tidak langsung, hal itu juga telah memproduksi kemiskinan sistemik, degradasi moral kaum terpelajar karena ilmu hanya diorientasikan pada materi, hingga hilangnya perasaan atau naluriah kemanusiaan seseorang. Ditambah ketiadaan sanksi yang tegas, hukum yang tebang pilih, bisa direkayasa dan dibeli, menjadikan para pelaku kekerasan menganggap remeh atas perbuatannya, sehingga tidak mampu menciptakan efek jera kepada pelaku maupun efek pencegahan bagi masyarakat umum dari melakukan hal yang serupa.

Dalam sistem Islam, nyawa manusia sangat mahal harganya. Hal ini digambarkan dalam sabda Rasulullah saw.

“Hancurnya dunia lebih ringan di sisi Allah dibandingkan terbunuhnya seorang muslim” [HR. An-Nasa’i]. 

Maka, sebagai wujud penjagaan terhadap hal ini, negara memiliki kewajiban untuk menerapkan dua lapis kebijakan. 

Pertama, lapis preventif atau pencegahan. Melalui sistem pendidikan yang berbasis akidah Islam, akan terbentuk individu-individu yang tidak saja mumpuni dalam iptek, tetapi juga berkepribadian Islam dan menguasai tsaqofah islam. Walhasil, individu-individu di masyarakat adalah mereka yang memiliki benteng ketakwaan yang kokoh sebagai pengendali dirinya. Mereka menjadikan pahala dan dosa sebagai standart perbuatan. Mereka akan senantiasa menjadikan rambu-rambu syariat sebagai solusi bagi seluruh problematika kehidupannya.

Begitupun keberadaan masyarakat. Mereka menjadi sistem kontrol selapis di bawah negara. Dari ketakwaan individu-individu di dalamnya, akan lahir suasana yang islami di tengah kehidupan bermasyarakat. Ketakwaan itu pula yang akan menciptakan atmosfer untuk gemar beramar ma’ruf nahi mungkar. 

Kondisi yang demikian akan menjadi model pencegahan yang efektif dari kekacauan yang mungkin ditimbulkan oleh individu yang bermasalah.

Kedua, lapis kuratif atau penindakan. Negara akan menerapkan sistem sanksi yang tegas terhadap para pelaku kekerasan. 

Ada tiga jenis pidana bagi pelaku pembunuhan tergantung pilihan yang diambil oleh keluarga korban, di antaranya qishash (hukuman mati), diyat (membayar tebusan atau uang darah), dan memaafkan (al ‘afwu). Sanksi ini akan menjadi jawabir (penghapus dosa) sekaligus menjadi zawajir (efek jera) bagi pelaku.

Hanya sistem Islam yang mampu menuntaskan problem kekerasan sampai ke akarnya. Karena Allah adalah Al-Khaliq (pencipta) sekaligus Al-Mudabbir (pengatur), maka produk hukum dari Allah berupa syariat adalah sebaik-baik solusi bagi seluruh problematika hidup manusia selaku hamba. 

Allah berfirman, “Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?” [QS. Al-Maidah: 50]. 

Wallahu ‘alam bishawab.

Oleh: Naning Prasdawati, S.Kep.,Ns.
Sahabat Tinta Media
Rekomendasi Untuk Anda × +

Bagikan artikel ini

Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini.

Artikel Menarik Lainnya :