Tinta Media - Sobat. Abdullah ibn Ábbas ra berkata, “Seorang Álim yang Rabbani, adalah dia yang mengajari manusia ilmu yang sebesar-besar hingga sekecil-kecilnya.” Yang disifati Rabbani adalah para ahli hikmah, ahli ilmu, dan para pemilik kesabaran,” demikian penjelasan Ibn Ábbas. Adapun Hasan Al-Bashri menyatakan, “Mereka adalah ahli ibadah kepada Allah dan ahli taqwa di tengah-tengah manusia.”
Allah SWT Berfirman :
مَا كَانَ لِبَشَرٍ أَن يُؤۡتِيَهُ ٱللَّهُ ٱلۡكِتَٰبَ وَٱلۡحُكۡمَ وَٱلنُّبُوَّةَ ثُمَّ يَقُولَ لِلنَّاسِ كُونُواْ عِبَادٗا لِّي مِن دُونِ ٱللَّهِ وَلَٰكِن كُونُواْ رَبَّٰنِيِّۧنَ بِمَا كُنتُمۡ تُعَلِّمُونَ ٱلۡكِتَٰبَ وَبِمَا كُنتُمۡ تَدۡرُسُونَ
“Tidak wajar bagi seseorang manusia yang Allah berikan kepadanya Al Kitab, hikmah dan kenabian, lalu dia berkata kepada manusia: "Hendaklah kamu menjadi penyembah-penyembahku bukan penyembah Allah". Akan tetapi (dia berkata): "Hendaklah kamu menjadi orang-orang rabbani, karena kamu selalu mengajarkan Al Kitab dan disebabkan kamu tetap mempelajarinya.” ( QS. Ali Ímran (3) : 79 )
Sobat. Tidak mungkin terjadi dan tidak pantas bagi seorang manusia yang diberi kitab oleh Allah dan diberi pelajaran tentang pengetahuan agama, serta diangkat menjadi nabi, kemudian dia mengajak manusia untuk menyembah dirinya sendiri bukan menyembah Allah. Orang yang diberi keutamaan-keutamaan seperti itu tentunya akan mengajak manusia mempelajari sifat-sifat Allah serta mempelajari hukum-hukum agama, dan memberikan contoh yang baik dalam hal menaati Allah dan beribadah kepada-Nya, serta mengajarkan Kitab kepada sekalian manusia.
Nabi sebagai seorang manusia yang telah diberi keutamaan yang telah disebutkan, tentu tidak mungkin dan tidak pantas menyuruh orang lain menyembah dirinya, sebab dia adalah makhluk Allah. Maka penciptanya yaitu Allah yang harus disembah. Ditegaskan kepadanya adalah menyuruh manusia agar bertakwa kepada Allah, mengajarkan Al-Kitab dan melaksanakannya, hal itu telah ditegaskan oleh firman Allah:
Katakanlah, "Hanya Allah yang aku sembah dengan penuh ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agamaku." (az-Zumar/39: 14)
Barang siapa menyuruh manusia menyembah dirinya, berarti ia mengakui bahwa Allah mempunyai sekutu yaitu dirinya sendiri. Barang siapa mempersekutukan Allah dengan lain-Nya, berarti ia telah menghilangkan kemurnian ibadah kepada Allah semata. Dengan hilangnya kemurnian ibadah berarti hilang pulalah arti ibadah.
أَلَا لِلَّهِ ٱلدِّينُ ٱلۡخَالِصُۚ وَٱلَّذِينَ ٱتَّخَذُواْ مِن دُونِهِۦٓ أَوۡلِيَآءَ مَا نَعۡبُدُهُمۡ إِلَّا لِيُقَرِّبُونَآ إِلَى ٱللَّهِ زُلۡفَىٰٓ إِنَّ ٱللَّهَ يَحۡكُمُ بَيۡنَهُمۡ فِي مَا هُمۡ فِيهِ يَخۡتَلِفُونَۗ إِنَّ ٱللَّهَ لَا يَهۡدِي مَنۡ هُوَ كَٰذِبٞ كَفَّارٞ
“Ingatlah, hanya kepunyaan Allah-lah agama yang bersih (dari syirik). Dan orang-orang yang mengambil pelindung selain Allah (berkata): "Kami tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya". Sesungguhnya Allah akan memutuskan di antara mereka tentang apa yang mereka berselisih padanya. Sesungguhnya Allah tidak menunjuki orang-orang yang pendusta dan sangat ingkar. (az-Zumar/39: 3)
Begitu juga firman Allah yang menceritakan seruan Nabi Hud kepada kaumnya:
Agar kamu tidak menyembah selain Allah. Aku benar-benar khawatir kamu akan ditimpa azab (pada) hari yang sangat pedih." (Hud/11: 26)
Semua nabi menyuruh manusia agar menyembah Allah:
Dan kepada kaum samud (Kami utus) saudara mereka, Saleh. Dia berkata, "Wahai kaumku! Sembahlah Allah, tidak ada tuhan bagimu selain Dia.¦. (Hud/11: 61)
Sobat. Allah lalu memerintahkan kepada rasul-Nya agar mengingatkan kaumnya bahwa agama yang suci adalah agama Allah. Maksud agama dalam ayat ini ialah ibadah dan taat. Oleh sebab itu, ibadah dan taat itu hendaknya ditujukan kepada Allah semata, bersih dari syirik dan ria.
Penyembah berhala berpendapat bahwa Allah adalah Zat yang berada di luar jangkauan indera manusia. Oleh sebab itu, tidak mungkin manusia dapat langsung beribadah kepada-Nya. Apabila manusia ingin beribadah kepada-Nya, menurut mereka, hendaknya memakai perantara yang diserahi tugas untuk menyampaikan ibadah mereka itu kepada Allah. Perantara-perantara itu ialah malaikat dan jin, yang kadang-kadang menyerupai bentuk manusia.
Mereka ini dianggap Tuhan. Adapun patung-patung yang dipahat yang diletakkan di rumah-rumah ibadah adalah patung yang menggambarkan tuhan, tetapi bukanlah Tuhan yang sebenarnya. Hanya saja pada umumnya kebodohan menyebabkan mereka, tidak lagi membedakan antara patung dan Tuhan sehingga mereka menyembah patung itu sebagaimana menyembah Allah, seperti keadaan orang-orang yang menyembah binatang. Mereka itu tidak lagi membedakan antara menyembah binatang dan menyembah Pencipta binatang.
Orang-orang Arab Jahiliah melukiskan patung-patung dengan bermacam-macam bentuk, ada patung yang menggambarkan bintang-bintang, malaikat-malaikat, nabi-nabi, dan orang-orang saleh yang telah berlalu. Mereka menyembah patung-patung itu sebagai simbol bagi masing-masing sembahan itu.
Demikianlah anggapan kaum musyrikin di masa lalu dan menjelang diutusnya Muhammad saw sebagai rasul. Kemudian datanglah Rasulullah dengan mengemban perintah untuk membinasakan sembahan-sembahan mereka itu dan mengikis habis anggapan yang salah dari pikiran mereka, serta menggantinya dengan ajaran yang menuntun pikiran agar beragama tauhid.
Allah berfirman:
Dan sungguh, Kami telah mengutus seorang rasul untuk setiap umat (untuk menyerukan), "Sembahlah Allah, dan jauhilah thagut." (an-Nahl/16: 36)
Dan firman-Nya:
Dan Kami tidak mengutus seorang rasul pun sebelum engkau (Muhammad), melainkan Kami wahyukan kepadanya, bahwa tidak ada tuhan (yang berhak disembah) selain Aku, maka sembahlah Aku. (al-Anbiya'/21: 25)
Sebagai penjelasan lebih luas tentang pengakuan orang-orang Quraisy terhadap adanya Allah, dituturkan oleh Qatadah bahwa apabila orang-orang musyrik Mekah itu ditanya siapa Tuhan mereka, siapa yang menciptakan mereka, dan siapa yang menciptakan langit dan bumi serta menurunkan hujan dari langit, mereka menjawab, "Allah." Kemudian apabila ditanyakan kepada mereka, mengapa mereka menyembah berhala-berhala, mereka pun menjawab, "Supaya berhala-berhala itu mendekatkan mereka kepada Allah dengan sedekat-dekatnya dan berhala-berhala itu memberi syafaat pada saat mereka memerlukan pertolongan dari sisi Allah."
Kemudian mengenai sikap kaum musyrikin yang serupa itu Allah berfirman:
Maka mengapa (berhala-berhala dan tuhan-tuhan) yang mereka sembah selain Allah untuk mendekatkan diri (kepada-Nya) tidak dapat menolong mereka? Bahkan tuhan-tuhan itu telah lenyap dari mereka? (al-A.hqaf/46: 28)
Allah mengancam sikap dan perbuatan mereka serta menampakkan kepada mereka akibat yang akan mereka rasakan. Allah akan memutuskan apa yang mereka perselisihkan itu pada hari perhitungan. Pada hari itu, kebenaran agama tauhid tidak akan dapat ditutup-tutupi lagi dan kebatilan penyembahan berhala akan tampak dengan jelas. Masing-masing pemeluknya akan mendapat imbalan yang setimpal. Orang-orang yang tetap berpegang kepada agama tauhid akan mendapat tempat kembali yang penuh kenikmatan. Sedang orang-orang yang selalu bergelimang dalam lembah kemusyrikan akan mendapat tempat kembali yang penuh dengan penderitaan.
Pada bagian akhir ayat ini, Allah menandaskan bahwa Dia tidak akan memberi petunjuk kepada orang-orang yang mendustakan kebenaran dan mengingkari agama tauhid karena kesesatan mereka yang tak dapat dibetulkan lagi. Macam-macam cara yang mereka tempuh untuk menyekutukan Allah dengan tuhan-tuhan yang lain, seperti menyembah berhala, atau beranggapan bahwa Allah mempunyai anak dan sebagainya. Semua itu tiada lain hanyalah anggapan mereka yang jauh dari kebenaran dan menyeret mereka ke lembah kesesatan.
Sobat. Sifat Hamba Rabbani yang pertama adalah dia yang Alim. Keadaannya sedang dan terus berpengetahuan dengan pembelajaran yang tak kenal henti. Dia terus menggali dan mendalamkan, menghubungkan dan meluaskan. Sang Alim tak membeda-bedakan ilmu menjadi duniawi dan agamawi, meski ada tingkatan menurut yang lebih penting dan harus didahulukan. Semuanya tetap Ilmu Allah selama dibaca dengan asma-Nya dan difaedahkan bagi kemaslahatan insan dan semesta.
Sobat. Sifat Hamba Rabbani yang kedua adalah Faqih.Tidak hanya alim namun diharapkan juga berjuang menuju kedalaman seorang faqih. Janganlah hanya menjadi perbendaharaan ilmu, sebab ada tuntutan untuk menghubungkan setiap pengetahuan dan keadaan nyata yang berjalan dalam keseharian.
Sobat. Menjadi hamba Rabbani adalah menjadi alim sekaligus faqih; bagai rahib yang khusyuk di perpustakaan dan ruang percobaan ilmiah, kemudian bagaikan singa yang tangkas dan cermat menghadapi persoalan nyata masyarakat.
Sifat hamba Rabbani yang ketiga adalah bashirun bis siyasah menurut penjelasan Imam Ath-Thabari yakni melek, mengerti dan waspada terhadap politik. Memahami agar hamba-hamba yang alim lagi faqih tidak terbudakkan kuasa kejahatan. Seorang hamba Rabbani menggunakan dan mendukung siyasah untuk menegakkan syariah Islam dan melangsungkan kehidupan Islam demi terwujudnya rahmatan liláalamin.
Sobat. Sifat hamba Rabbani yang ke empat adalah bashirun bit tadbir : Melek, mengerti dan melaksanakan manajemen. Para ahli ilmu hendaknya memahami pengelolaan sumber daya dari perencanaan, penataan, pelaksanaan, pengendalian, timbal balik, hingga perbaikannya. Juga agar di jalan perjuangannya mereka memahami bagaimana mengelola hati dari sosok-sosok yang penuh potensi.
Sobat. Sifat hamba Rabbani yang kelima adalah al-qaím bisy syuúnir raíyah liyushlihu umura dinihim wa dunyahum yakni bermakna bahwa hamba yang dianugerahi celupan sifat mulia oleh Sang Pencipta, harus giat terlibat menegakkan urusan-urusan kerakyatan untuk memperbaiki perkara agama juga dunia mereka.
Sobat. Ahli ilmu Rabbani tertuntut untuk peduli dan melayani umat. Dia mendidik, menumbuhkan, dan mengembangkan kebajikan di tubuh umat hingga mereka merasakan keberkahan, kemuliaan dan kebahagiaan hidup baik di dunia maupun di akherat kelak.
(DR. Nasrul Syarif M.Si., Penulis Buku Gizi Spiritual. Dosen Pascasarjana IAI Tribakti Lirboyo. Wakil Ketua Komnas Pendidikan Jawa Timur)