Tinta Media - Mencintai itu tidak hanya di mulut, tetapi ada buktinya. Minimal, mencintai itu dibuktikan dengan mengikuti yang dicintai. Lebih dari itu, mencintai juga dapat dibuktikan dengan membela atau menolong yang dicintai dari siapa pun yang memusuhi pihak yang dicintai.
Kalau seseorang mencintai Karl Marx, maka dia akan mengikuti ide-ide Marxisme yang dicetuskan oleh Karl Marx. Misalnya mengikuti materialisme dialektika dan materialisme historis ala Karl Marx. Dia juga akan mengikuti ide "pertentangan kelas" (class struggle) ala Marx sehingga selalu memprovokasi agar terjadi kontradiksi buruh (kelas proletar) versus kapitalis (kelas borjuis). Dia akan juga mengikuti ide Diktatur Proletariat dalam negara Sosialis Komunis, sebagai wujud kekuatan kelas buruh yang memenangkan pertarungan kelas dalam revolusi ala Marxis.
Kebencian dan permusuhan terhadap agama ala Marxis juga akan menjadi sesuatu yang diikuti. Jika Marx berkata,"The religion is the opium of the people" dan Lenin berkata,"The religion is the vodka of the people," maka para pecinta Marx di China saat ini menerjemahkannya dalam bentuk tindakan represif kepada muslim Uighur di Xinjiang. Muslim Uighur yang menjalankan ibadah puasa dianggap pelaku kriminal dan dipaksa untuk makan. Maka larangan terhadap ajaran Islam seperti celana cingkrang atau cadar patut dicurigai sebagai bentuk kebencian pada agama ala Karl Marx.
Kalau seseorang mencintai Nichollo Machiavelli yang telah menulis Ill Principe (The Prince) yang menghalalkan segala cara (the end justifies the means), dia akan tulus mengikutinya. Caranya tak lain adalah dengan menempuh segala cara seperti ajaran Machiavelli. Bahkan kalau perlu dengan cara yang paling kotor dan paling keji untuk mencapai tujuannya. Maka jangan heran, pecinta Machiavelli akan tega berbuat curang dan bahkan membunuh sesama manusia untuk memperoleh kekuasaan.
Kalau seseorang mencintai para pemikir dan filosof sekularisme dari Barat, seperti John Locke, Montesquieu, Jean Jacques Rousseau, Michael Montaigne, Voltaire, dan sebagainya, dia akan mengikuti mereka dengan menjalankan negara ala pemikir sekularisme itu. Ide sekularisme (pemisahan agama dari negara), yang aslinya adalah pemisahan agama Katolik dari negara, akan diikuti secara membabi buta dan akan dianggap sebagai kebenaran yang tertinggi yang absolut.
Ide sekularisme itu akhirnya diterjemahkan secara umum, bukan pemisahan agama Katolik dari negara saja, tapi pemisahan agama secara umum (Katolik dan non Katolik) dari negara, termasuk pemisahan agama Islam dari negara.
Padahal, lahirnya sekularisme harus dipahami sesuai konteks sosio historisnya yang terjadi di Eropa pasca Reformasi Gereja dan Renaissance. Sekularisme lahir untuk merespon dominasi Gereja Katolik atas sistem monarki di Barat selama Medieval Ages (Abad Pertengahan V - XV M) yang menyebabkan peradaban Barat relatif stagnan. Walhasil sekularisme mustinya dipahami secara unik atau terbatas sebagai pemisahan agama Katolik dari negara bukan diinferensi secara general secara menyesatkan menjadi pemisahan agama dari negara.
Maka, jika saat ini ada kebencian terhadap negara yang berlandaskan agama (theocracy) patut dicurigai itu adalah tanda cinta kepada para pemikir sekularisme tersebut. Kebencian yang semestinya diarahkan kepada para raja despotik monarki di Eropa yang dilegitimasi Gereja Katolik, lalu diarahkan secara sesat kepada para khalifah dalam sejarah Islam khususnya di Turki Utsmani. Mustafa Kamal di Turki adalah sosok yang mengikuti kebencian kaum sekularis kafir yang aslinya adalah anti monarki yang didukung gereja Katolik di Eropa, tapi akhirnya membelokkan kebencian itu kepada Islam sehingga anti kepada para khalifah di dalam Turki Ustmani.
Kebencian terhadap sistem kekhalifahan itu jelas tidak mungkin dicari asal usulnya dari ajaran Islam atau sejarah Islam. Siapa muslim yang membenci Khalifah Abu Bakar, Khalifah Umar bin Khaththab, Khalifah Utsman bin Affan, dan Khalifah Ali bin Abi Thalib? Tidak ada bukan? Jadi, akar kebencian terhadap sistem kekhalifahan Islam sebenarnya tidak berakar pada ajaran Islam atau sejarah Islam, melainkan berakar pada kebencian mendalam di dada kaum sekularis kafir terhadap sistem monarki yang despotik yang didukung Gereja Katolik di Eropa pada Abad Pertengahan.
Mereka yang membenci sistem kekhalifahan itu sebenarnya mencintai John Locke, Montesquieu, Jean Jacques Rousseau, Michael Montaigne, Voltaire, dan semisalnya. Bohong besar kalau mereka mengklaim mencintai Khalifah Abu Bakar, Khalifah Umar bin Khaththab, Khalifah Utsman bin Affan, dan Khalifah Ali bin Abi Thalib. Itu klaim palsu. Bohong. Tidak mungkin. Jauh panggang dari api.
Seorang muslim yang mencintai Rasulullah SAW, jelas berbeda dengan orang yang mencintai Karl Marx, dan berbeda pula dengan yang mencintai John Locke, Montesquie, dkk.
Seorang muslim yang mencintai Rasulullah SAW, akan mengikuti Syariah Islam yang dibawa oleh Rasulullah SAW, bukan mengikuti Marxisme, bukan pula mengikuti Sekularisme.
Rasulullah SAW pernah bersabda :
فَوَ الَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَا يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى أَكُونَ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِنْ وَالِدِهِ وَوَلَدِهِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِينَ
"Demi Dzat yang jiwaku ada di tangan-Nya, tidaklah beriman dengan sempurna di antara kalian, hingga aku lebih ia cintai daripada ayahnya, anaknya, dan seluruh manusia”. (HR. Imam Bukhari dan Muslim).
Imam Nawawi dalam Syarah Shahih Muslim menjelaskan hadis itu dengan berkata :
...
قال القاضي عياض رحمه الله ومن محبته صلى الله عليه و سلم نصرة سنته والذب عن شريعته وتمنى حضور حياته فيبذل ماله ونفسه دونه
"...Al-Qadhi ‘Iyadh rahimahullah berkata, 'Di antara bentuk kecintaan kepada Nabi SAW adalah menolong sunnahnya, dan membela syariatnya, dan menginginkan kehadiran kehidupan beliau SAW, hingga ia mencurahkan segala harta dan jiwanya untuk membela Rasulullah SAW”. (Imam Nawawi, Syarah Shahih Muslim, Juz 2/15-16).
Jadi, bagi muslim yang mencintai Rasulullah SAW, sudah barang tentu wajib membuktikan kecintaannya dengan mengikuti dan membela Syariah Islam yang dibawa oleh Rasulullah SAW. Itulah bukti bahwa dia lebih mencintai Rasulullah SAW dibandingkan manusia siapapun selain Rasulullah SAW.
Mereka yang mengklaim mencintai Rasulullah SAW tapi mengikuti Marxisme; atau mengikuti Sekularisme, hakikatnya tidak mencintai Rasulullah SAW di atas kecintaan kepada manusia siapapun selain Rasulullah SAW.
Mereka itu hakikatnya lebih mencintai Karl Marx daripada Rasulullah SAW. Mereka itu hakikatnya lebih mencintai para pemikir dan filosof sekularisme dari Barat, seperti John Locke, Montesquieu, Jean Jacques Rousseau, Michael Montaigne, Voltaire, dkk, daripada mencintai Rasulullah SAW.
Faktanya, saat ini ada muslim yang seperti itu. Dia lebih cinta Karl Marx atau Montesquieu daripada cinta kepada Rasululullah SAW, hanya untuk menikmati kehidupan duniawi yang fana dan sedikit.
Tapi ingat, setiap pilihan ada konsekuensinya. Termasuk konsekuensi kelak di sana. Kata Rasulullah SAW : "Al Mar'u ma'a man ahabba." (HR Bukhari dan Muslim). Artinya, setiap orang akan dikumpulkan pada Hari Kiamat bersama orang-orang yang dicintainya, bisa jadi di surga, atau bisa jadi di neraka. Nauzhu billaahi min dzaalik. []
Oleh : KH. M. Shiddiq Al Jawi
Pakar Fikih Kontemporer