Maraknya Rumah Sakit Swasta, Wujud Peradaban yang Maju? - Tinta Media

Kamis, 24 November 2022

Maraknya Rumah Sakit Swasta, Wujud Peradaban yang Maju?

Tinta Media - Pasca pandemi Covid-19, pertumbuhan jumlah rumah sakit baru semakin meningkat. Menurut Sekretaris Jenderal Asosiasi Rumah Sakit Swasta Indonesia (ARSSI), Ichsan Hanafi, pertumbuhan jumlah rumah sakit pada tahun 2021 berada di kisaran 3%-5% dari jumlah total rumah sakit di seluruh Indonesia, yaitu mencapai kisaran 3.000 unit. Sebanyak 65% di antaranya merupakan rumah sakit swasta. ( Kontan.co.id ,9/9/2022)

Pembangunan rumah sakit swasta di Indonesia cukup massif. Kondisi demografi penduduk Indonesia yang tinggi, bagi pemilik dan pengelola rumah sakit, merupakan peluang untuk ekspansi bisnis. Ditinjau dari keberadaannya, RSU di Indonesia pada 2021 berjumlah 2.514 unit. Angka tersebut naik sekitar 3,75 % dari jumlah RSU di Indonesia pada 2020, yaitu 2.423 unit. (GoodStats,11/03/22)

Hal ini tampak juga dari pernyataan Gubernur Jawa Barat, Ridwan Kamil saat peletakan batu pertama di RS. Edelwieis, bahwa penduduk Jawa Barat yang berkisar 50 juta, masih butuh tambahan 30 rumah sakit baru. Ini Tidak mungkin dana sepenuhnya dari pemerintah, perlu adanya dukungan dari pihak swasta. (Sindonews.com,28/10/2022)

Bupati Bandung Dadang Supriatna saat meresmikan Rumah Sakit Muhammadiyah Bandung Selatan pun menuturkan, bahwa menciptakan kesehatan masyarakat pada dasarnya adalah tugas pemerintah. Namun, tentunya memerlukan kerjasama, sinergitas, sekaligus dukungan demi menjaga keperluan masyarakat dalam soal pembangunan kesehatan. (Dara.co.id, 3/11/2022)

Rumah Sakit merupakan  institusi pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna. Rumah sakit menyediakan pelayanan rawat inap, rawat jalan, dan gawat darurat. 

Merujuk pada ketentuan UU No. 4 Tahun 2009, rumah sakit di Indonesia berdasarkan pengelolaannya dibedakan menjadi dua, yaitu rumah sakit privat dan rumah sakit publik.

Rumah sakit privat merupakan  rumah sakit swasta yang secara legal (badan hukum) merupakan Perseroan Terbatas dan ditujukan untuk mencari laba. 

Sementara itu, rumah sakit publik merupakan rumah sakit milik pemerintah atau pihak swasta yang secara legal (badan hukum) bersifat tidak mencari laba (non profit).

Perbedaan paling mencolok secara umum  adalah masalah biaya dan pelayanan. Rumah sakit swasta biaya berobatnya memang lebih mahal, tetapi sesuai dengan kualitas pelayanan dari dokter, perawat, dan fasilitasnya. Sedangkan di rumah sakit pemerintah, biayanya lebih murah, bahkan bisa gratis dengan adanya BPJS. Sayang, kualitasnya standar atau bahkan minim, sesuai syarat dan ketentuan berlaku.

Faktanya, sekarang pemerintah membuka kran kemudahan pendirian rumah sakit swasta di dalam perundang-undangan Omnibus Law. Rencana tersebut tercantum pada Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) dalam UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja Sektor Kesehatan Bidang Perumahsakitan.

Kemudahan ini menjadikan kesehatan sebagai komoditas komersial atau bisnis, sejalan dengan dilegalkannya industrialisasi sistem kesehatan yang berujung pada tergadainya idealisme insan kesehatan. 

Harga pelayanan kesehatan juga terus melejit. Di samping itu, seiring meluasnya cakupan pelayanan BPJS Kesehatan, kualitas pelayanan makin mengelite dan makin samar dari harapan. Diskriminasi pelayanan kesehatan pun kian kronis dan meluas, hingga rakyat kecil makin tercekik akibat kebijakan negara ini. Seakan-akan' rakyat miskin dilarang sakit' menjadi ujaran miris yang sering terdengar di tengah masyarakat dalam mengekspresikan sulitnya mereka dalam mendapatkan kualitas pelayanan kesehatan yang layak dan mudah. 

Contoh, meninggalnya pasien miskin RSUD Bulukumba di kantor Dukcapil saat mengurusi KTP-el sebagai prasyarat pelayanan BPJS Kesehatan. (DetikSulsel, 16/03/22). Ada bantahan bahwa penanganannya sudah sesuai ketentuan medis. Akan tetapi, potensi terjadi hal yang sebaliknya sangat besar. Ini merupakan karakter dari sistem kesehatan kapitalisme berupa pelayanan BPJS Kesehatan.

Misalnya, sistem rujukan kapitalistik juga konsep pembayaran casemix (InaCBGs) yang  dirancang untuk kepentingan bisnis BPJS Kesehatan, bukan untuk keselamatan dan kesembuhan pasien.

Dari sisi keberadaan dokter dan insan kesehatan lainnya, serta kelalaian negara melalui pelegalan industrialisasi sistem kesehatan, tidak kalah serius bahayanya. Idealisme dan dedikasi insan kesehatan sebagai ujung tombak pelaksana pelayanan kesehatan dibajak oleh berbagai bisnis korporasi, mulai dari bisnis institusi pendidikan, tenaga kesehatan, industri farmasi, lembaga keuangan kapitalis BPJS Kesehatan sebagai pembiaya, sampai pada rumah sakit.

Dunia sepakat, bahwa saat ini tidak ada tempat yang aman dari jeratan kapitalisme, termasuk negeri ini, meskipun berkali-kali para pemegang kebijakan membantahnya. Kenyataannya, kapitalisme berhasil memengaruhi segala kebijakan di semua lini, termasuk sistem kesehatan. 

Melalui organisasi kesehatan dunia yang ada di PBB yaitu WHO, semua negara di dunia yang notabene menjadi anggota PBB harus mengadopsi semua  kebijakan kesehatan yang ditetapkan, sebagai konsekuensi keanggotaan mereka. Walhasil, meskipun tujuan organisasi ini ingin menyelamatkan nyawa manusia di dunia, tetap tidak akan mampu berkutik ketika berhadapan dengan para kapitalis penguasa dunia.

Negeri ini seyogyanya bersikap independen dalam menghadapi setiap masalah, termasuk soal kesehatan. Selain itu, harus disadari bahwa layanan kesehatan itu bukan hanya hak orang-orang kaya, tetapi seluruh masyarakat, baik kaya ataupun miskin. Tugas negara adalah memenuhinya, bukan memilah-milah.

Apakah dalam suatu negara dikatakan berperadaban maju jika banyak berdiri rumah sakit, tetapi tidak memberikan pelayanan kesehatan kepada seluruh rakyatnya sebagai bentuk perlindungan nyawa bagi seluruh rakyatnya? Pemilahan pelayanan kesehatan berdasarkan kelas ekonomi ini niscaya dalam negara yang menerapkan sistem kapitalisme. Inilah yang akhirnya melahirkan pelayanan masalah kesehatan di Indonesia masih rendah, yang berakibat kepada rendahnya kualitas SDM, yang menjadi salah satu indikator rendahnya kualitas suatu negara.

Islam sebagai agama yang sempurna dan paripurna dalam mengatur kehidupan manusia, telah memiliki sistem kesehatan yang lengkap, dimulai dari pandangan bahwa kesehatan adalah kebutuhan dasar bagi setiap rakyat dan kewajiban pemimpin adalah memenuhinya. Maka, negara di dalam Islam akan memastikan bahwa pelayanan kesehatan ini didapatkan oleh seluruh rakyat, tanpa memandang kaya atau miskin. 

Negara menyediakan sarana-prasarana kesehatan berupa rumah sakit dengan para tenaga medisnya, penyediaan obat-obatan yang berkualitas beserta laboratorium penelitian dan para ilmuwan untuk melakukan penelitian dalam menemukan obat-obatan. Negara juga mendirikan sekolah dan perguruan tinggi yang akan melahirkan para tenaga medis. Hal tersebut dilakukan untuk memberikan pelayanan kesehatan yang optimal.

Semua kebijakan pelaksanaan kesehatan ini bukan sekadar diserahkan pada ahlinya, melainkan juga dalam rangka menerapkan syariat Allah Ta'ala, dalam sebuah institusi negara khilafah. Sejarah khilafah telah menggambarkan, bahwa selama puluhan abad negara berperan sebagai pelayan kesehatan yang adil, berkualitas, dan begitu mudah diakses kapan pun, oleh siapa pun, dan di mana pun saat dibutuhkan, tanpa dibebani secara finansial (terjangkau bahkan gratis) hingga bagi yang berpura-pura sakit sekalipun.

Ruang pelayanan kesehatan benar-benar meraih puncak kemanusiaan. Salah satu buktinya dipaparkan sejarawan berkebangsaan Amerika W. Durant tentang Rumah Sakit Al-Manshuri (683 H/1284 M) Kairo, sebagai berikut, ” … Pengobatan diberikan secara gratis bagi pria dan wanita, kaya dan miskin, budak dan merdeka; dan sejumlah uang diberikan kepada tiap pasien yang sudah bisa pulang agar tidak perlu segera bekerja.” (W. Durant. The Age of Faith; op cit; pp 330-1).

Semua itu karena pelayanan kesehatan berlangsung di atas sejumlah prinsip sahih, di antaranya adalah:

Pertama, kesehatan merupakan  kebutuhan pokok publik sebagaimana disabdakan  Rasulullah saw., “مَنْ أَصْبَحَ مِنْكُمْ مُعَافًى فِي جَسَدِهِ آمِنًا فِي سِرْبِهِ عِنْدَهُ قُوتُ يَوْمِهِ فَكَأَنَّمَا حِيزَتْ لَهُ الدُّنْيَ” (HR Ibnu Majah)

Kedua, pemerintah bertanggung jawab secara langsung dalam hal pemenuhan kebutuhan pelayanan kesehatan masyarakat tanpa terkecuali. Layanan itu tetap berkualitas, terbaik bagi siapa pun, kapan pun, dan di mana pun, meski gratis.

Rasulullah saw. bersabda, “Ketahuilah, setiap kalian adalah pemimpin dan setiap kalian akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpin; dan penguasa yang memimpin rakyat banyak, ia akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya.” (HR Al- Bukhari)

Ketiga, anggaran bersifat mutlak, maksudnya, ada atau tidak ada kekayaan negara untuk pembiayaan pelayanan kesehatan wajib ditanggung negara. Prinsip ini bisa diterapkan karena Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) Khilafah didesain oleh Allah Ta'ala sedemikian rupa, sehingga meniscayakan negara berkemampuan secara finansial yang memadai untuk memikul tanggung jawabnya.

Sistem kesehatan yang sempurna itu didukung dengan sistem pemerintahan Islam, yaitu sistem ekonomi Islam dan sistem lainnya. Salah satunya adalah sistem keuangan baitulmal. 
Keuangan baitulmal berasal dari banyak sumber, di antaranya pengelolaan adalah SDA, jizyah, fai, kharaj, ghanimah, harta tidak bertuan, dll.

Seluruh pemasukan itu akan membuat perekonomian Islam unggul, termasuk dalam mendukung jaminan pelayanan kesehatan bagi seluruh rakyat. Hanya saja, semua aturan ini tidak mungkin dapat  diterapkan selama sistem kapitalisme masih menghantui negeri kaum muslim. 

Kehadiran Islam (Khilafah) dengan karakternya sebagai negara pe-ri’ayah dan penyejahtera, menjadikan akses pelayanan kesehatan secara gratis dan berkualitas terhadap individu dan masyarakat terjamin. Pada saat yang bersamaan, kesejahteraan dokter dan insan kesehatan akan terjamin pula. Harkat dan martabatnya pun akan terpelihara.

Allah Swt. berfirman, “Wahai orang-orang yang beriman! Taatlah kepada Allah dan taatlah kepada Rasul, serta ulil amri di antara kalian. Jika kalian berselisih dalam suatu hal, maka kembalikanlah kepada Allah dan Rasul-Nya. Jika kalian benar-benar beriman kepada Allah dan hari akhir, yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (QS An-Nisa: 59) 

WalLahu a'lam bi ash-shawwab.

Oleh: Nia Kurniasari
Sahabat Tinta Media
Rekomendasi Untuk Anda × +

Bagikan artikel ini

Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini.

Artikel Menarik Lainnya :