Tinta Media - Perlahan lahan aqidah dan syariah Islam diserang dan dipreteli, awalnya khilafah kemudian hukum muamalah lama-lama ibadah. Sekarang urusan nikah. Lama-lama Islam habis.
Khilafah adalah penjaga Islam. Tanpa khilafah, Islam tak eksis. Kehormatan Islam tak terjaga. Darah muslim tak terjaga. Itulah yang terjadi setelah konspirasi besar penjajah Inggris, Perancis dll dengan anteknya yakni si Yahudi Mustafa Kamal berhasil menghancurkan khilafah.
Setelah khilafah tiada lagi, maka pelindung dan penjaga Islam pun tiada. Wilayah Islam dibagi-bagi kemudian dibentuk menjadi nation state. Baik kerajaan maupun republik semua hanyalah penguasa boneka agen penjajah. Kemudian penjajah leluasa menghabisi muslim dan ajaran Islam secara bertahap.
Moderasi beragama adalah proyek penjajah yang terbaru. Aqidah Islam yang memastikan hanya Islam agama yang haq mereka serang dengan ide kufur prulalisme beragama dengan mengakui semua agama benar. Maka alangkah fatalnya jika seorang muslim sampai mengakui semua agama benar karena itu secara pasti telah mengeluarkan dia dari Islam alias murtad.
Kemudian ajaran Islam berupa muamalah semisal jual beli, riba dll sudah ancur-ancuran. Praktis ajaran Islam yang masih bisa dilaksanakan hanyalah soal makanan minuman, soal nikah dan talak, dan soal ibadah mahdhoh. Maka yang tersisa itupun sekarang diserang juga. Promosi miras dalam kasus holywings yang melecehkan Nabi Muhammad Saw adalah yang terbaru. Termasuk opini tempo yang menyatakan bahwa nikah itu adalah perkara perdata tak ada kaitan dengan agama. Juga kasus terbaru berikutnya. Belum lagi kasus rendang babi.
Begitulah tanpa khilafah Islam dan Muslim tak ada penjaganya. Musuh musuh Islam dan antek anteknya leluasa memfitnah dan menghancurkan Islam. Tanpa umat Islam bisa membela dan melindungi agamanya secara layak dan berhasil nyata.
Imam Bukhari dan Muslim telah meriwayatkan hadits dari jalur Abu Hurairah ra, bahwa Nabi shalla-Llahu ‘alaihi wa Sallama, bersabda:
إِنَّمَا الإِمَامُ جُنَّةٌ يُقَاتَلُ مِنْ وَرَائِهِ وَيُتَّقَى بِهِ فَإِنْ أَمَرَ بِتَقْوَى اللهِ عَزَّ وَجَلَّ وَعَدْلٌ كَانَ لَهُ بِذَلِكَ أَجْرٌ ، وَإِنْ يَأْمُرُ بِغَيْرِهِ كَانَ عَلَيْهِ مِنْهُ [رواه البخاري ومسلم]
“Sesungguhnya seorang imam itu [laksana] perisai. Dia akan dijadikan perisai, dimana orang akan berperang di belakangnya, dan digunakan sebagai tameng. Jika dia memerintahkan takwa kepada Allah ‘Azza wa Jalla, dan adil, maka dengannya, dia akan mendapatkan pahala. Tetapi, jika dia memerintahkan yang lain, maka dia juga akan mendapatkan dosa/adzab karenanya.” [Hr. Bukhari dan Muslim]
Yang dimaksud dengan al-imâm adalah khalifah. Para ulama’ menjadikan tiga lafadz: Imâm, Khalîfah dan Amîru al-Mu’minîn sebagai sinonim, dengan konotasi yang sama. Imam an-Nawawi menjelaskan:
«يَجُوْزُ أَنْ يُقَالَ لِلْإِمَامِ: اَلْخَلِيْفَةُ، وَالْإِمَامُ، وَأَمِيْرُ المُؤْمِنِيْنَ»
“Untuk seorang imam [kepala negara], boleh disebut dengan menggunakan istilah: Khalîfah, Imâm dan Amîru al-Mu’minîn.”
Lebih lanjut Imam Nawawi menjelaskan makna al-Imâm Junnat[un] [Imam/Khalifah itu laksana perisai] dalam kitabnya Syarah Shahih Muslim: ”Sabda Rasulullah -shallaLlâhu ’alayh wa sallam-: (الإمام جنة) yakni seperti al-sitr (pelindung), karena Imam (Khalifah) mencegah musuh dari perbuatan mencelakai kaum muslimin, dan mencegah sesama manusia (melakukan kezhaliman-pen.), memelihara kemurnian ajaran Islam, rakyat berlindung di belakangnya dan mereka tunduk di bawah kekuasaannya.”
Sementara Imam al-Mala’ al-Qari menjelaskan hadis ini, bahwa kedudukan al-Imam, dan apa yang diungkap dalam hadits yang agung ini pun tidak terbatas dalam peperangan semata, seperti penegasan beliau:
”Frase (وَيُتَّقَى بِهِ) sebagai penjelasan dari kedudukan al-Imam sebagai junnah (perisai) yakni menjadi pemimpin dalam peperangan yang terdepan dari kaumnya untuk mengalahkan musuh dengan keberadaannya dan berperang dengan kekuatannya seperti keberadaan tameng bagi orang yang dilindunginya, dan yang lebih tepat bahwa hadits ini mengandung konotasi dalam seluruh keadaan; karena seorang al-Imam menjadi pelindung bagi kaum muslimin dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhannya secara berkelanjutan.”( ‘Ali bin Sulthan Muhammad Abu al-Hasan Nuruddin al-Mala’ al-Qari, Mirqât al-Mafâtiih Syarh Misykât al-Mashâbiih, juz VI, hlm. 2391).
Itulah mengapa penjajah kafir bersama seluruh anteknya baik penguasa dan para ulama su' berusaha keras untuk menghalangi kembalinya khilafah. Mereka dengan segala makarnya memfitnah khilafah. Mengajak umat Islam dengan segala tipu muslihat untuk menolak khilafah meskipun harus memutarbalikkan Nash Al Quran dan as Sunnah sesuai hawa nafsu mereka. Juga berani berdusta dengan memutarbalikkan sejarah Islam hingga seolah olah klaim klaim busuk mereka terhadap khilafah itu benar. Agar umat Islam membenci ajaran agamanya sendiri.
Setelah melihat dan merasakan semua itu, belumkah cukup bagi muslim untuk kembali kepada ajaran Islam khilafah?
Wallaahu a'lam.[]
Ustaz Abu Zaid
Tabayyun Center