Tinta Media - Kasus gagal ginjal pada anak yang terjadi beberapa waktu lalu, menjadi momok yang menakutkan di tengah masyarakat. Sejak Agustus 2022 lalu hingga saat tulisan ini dibuat, telah ditemukan 206 kasus gagal ginjal yang terjadi pada anak usia 6 bulan hingga 18 tahun yang tersebar di 22 provinsi di Indonesia. Hanya dalam rentang waktu 2 bulan sejak kasus ini mencuat ke permukaan, tercatat 99 anak telah meninggal akibat menderita gagal ginjal akut.
Sontak hal ini menimbulkan kepanikan, terlebih pada para orang tua. Anak yang mengalami gagal ginjal akut rata-rata mengalami gejala yang sama seperti mual, diare, batuk, pilek hingga demam 3-5 hari, dan sering mengantuk. Jumlah air seni semakin sedikit, bahkan tidak bisa buang air seni sama sekali. Walaupun Kemenkes mengatakan agar masyarakat tenang jika mengalami hal tersebut, tetapi hingga saat ini kasus gagal ginjal pada anak belum pasti diketahui penyebabnya.
Hasil temuan labolatorium yang dilakukan oleh Kemenkes menyatakan bahwa faktor penyebab kasus gagal ginjal akut 75% disebabkan oleh senyawa kimia kandungan poletelin glikol yang menimbulkan senyawa berbahaya, seperti etilen glikoll (EG) dan dietilen glikol (DEG). Kandungan tersebut diduga masuk ke tubuh anak melalui berbagai obat sirup yang dikonsumsi oleh anak-anak. Bahkan, Kemenkes hingga saat ini telah mengidentifikasi 91 obat sirup yang memiliki kandungan EG dan DEG.
Adapun faktor pemicu gagal ginjal akut lainnya adalah daya tahan tubuh anak yang rentan, hingga lingkungan sekitar yang kurang bersih, karena disinyalir bahwa tidak semua anak yang mengalami sakit gagal ginjal akut sedang mengonsumsi obat sirup. Namun, melihat kasus gagal ginjal akut yang menimpa anak mengalami jumlah yang fantastis dalam kurun waktu yang hampir bersamaan dan dalam kondisi banyaknya anak yang mengkonsumsi obat demam atau batuk akibat banyaknya anak-anak yang menderita sakit tersebut, menjadikan kemungkinan faktor penyebab gagal ginjal akut adalah karena mengkonsumsi obat sirup yang mengandung EG dan DEG, lebih besar. Apalagi, kasus serupa juga terjadi di Gambia. Hingga saat, ini tercatat 70 anak meninggal akibat gagal ginjal akut.
Persoalan kesehatan pada anak bukan hal baru di negeri ini ataupun di dunia. Kasus stunting hingga gizi buruk, masih belum ada solusi tuntas. Angka kematian anak yang tinggi melalui fenomena gagal ginja akut dalam dua bulan terakhir, seharusnya menyadarkan penguasa serta masyarakat, bahwa ada kesalahan dalam tata kelola masalah kesehatan di negeri ini. Kesehatan yang erat hubungannya dengan lingkungan bersih, makanan yang bergizi, edukasi tentang pola hidup sehat serta perlindungan ketat negara dari penyakit menular atau bahkan wabah, menjadikan negara harus serius dalam memenuhi faktor-faktor yang dapat menjamin kesehatan masyarakat, termasuk menjamin keamanan suatu produk baik makanan maupun obat dengan penerapan standarisasi produk yang halal dan aman.
Namun, melihat penanganan kasus gagal ginjal akut yang terkesan lambat ditangani dan bahkan terkesan saling lempar tanggung jawab, menunjukkan bahwa pengelolaan kesehatan dalam sistem kapitalisme yang diterapkan di negeri ini memang jauh dari aspek pelayanan yang sesungguhnya. Bahkan, masalah kesehatan dijadikan objek komersialisasi yang bisa diperdagangkan, termasuk dalam masalah produksi dan konsumsi obat. Hal ini karena sistem kapitalisme diterapkan dengan asas manfaat dan untuk mencapai keuntungan materi.
Selain itu, setiap tahunnya pemerintah terus mengurangi subsidi kesehatan, karena menganggap bahwa pemberian subsidi kepada rakyat merupakan beban. Padahal, seharusnya mengurusi segala pemenuhan kebutuhan rakyat mulai dari sandang, pangan, papan, pendidikan, kesehatan bahkan keamanan merupakan kewajiban negara.
Namun, faktanya negara dalam kapitalisme hanya menjadi regulator yang memuluskan bisnis para korporasi dalam berbagai sektor, termasuk kesehatan. Oleh karena itu, berharap bahwa kesehatan masyarakat, termasuk pada anak, akan terjamin dalam sistem ini, selamanya tidak akan pernah terwujud.
Padahal, anak bagi sebuah bangsa, merupakan generasi penerus yang akan menentukan kualitas suatu bangsa. Jika kualitas kesehatan anaknya buruk, maka masa depan generasi bangsa pun akan lemah.
Oleh karena itu, Islam sangat menjaga kualitas anak-anak, bahkan dari sejak mereka dalam kandungan ibu, dengan memastikan terpenuhinya asupan gizi bagi para ibu hamil.
Ketika anak ini sudah terlahir, Islam akan memastikan juga bahwa anak tersebut terpenuhi segala kebutuhan primer dan asasinya, sandang, pangan, papan, kesehatan, pendidikan dan keamanan. Selain sebagai aset umat atau bangsa di masa depan, di dalam Islam anak pun merupakan aset akhirat bagi orang tuanya.
Oleh karena itu, Allah Swt. berfirman dalam Al-Qur'an, surat An-Nisaa;9, yang artinya :
" Dan takutlah kalian jika meninggalkan di belakang kalian generasi yang lemah..."
Dalam menjaga potensi anak-anak umat ini, negara menerapkan Islam kaffah yang salah satu fungsinya adalah menjaga jiwa manusia, salah satunya dalam memastikan pemenuhan pelayanan kesehatan yang berkualitas bagi seluruh rakyat, termasuk anak.
Rasulullah saw bersabda : "Hancurnya dunia lebih ringan bagi Allah dibandingkan terbunuhnya seorang mukmin tanpa hak." (HR. An-Nasa'i dan Tirmidzi)
Negara atau khilafah menjamin kesehatan rakyat dengan menyediakan fasilitas kesehatan yang berkualitas dan gratis, memenuhi kebutuhan gizi rakyat tanpa membedakan rakyat yang kaya dan yang miskin. Ditopang oleh edukasi melalui pendidikan yang berkualitas bagi setiap warga negara secara merata, baik di kota maupun di pelosok daerah. Semua itu bisa terwujud dengan didukung oleh penerapan sistem ekonomi Islam yang mapan dan kokoh, sehingga dapat memenuhi pembiayaan seluruh pelayanan umum bagi rakyat, melalui pos pengeluaran di Baitul mal.
Penjagaan yang begitu kuat terhadap kualitas generasi dan nyawa rakyat, termasuk anak-anak, menjadikan penerapan syariat Islam kaffah dapat mengantisipasi terjadinya masalah kesehatan anak di tengah masyarakat. Jikapun terjadi wabah atau penyebaran penyakit secara serentak di berbagai daerah, khilafah akan bertindak sangat cepat dalam melakukan riset untuk mengetahui penyebabnya. Jika ditemukan ada kelalaian atau kesalahan yang dilakukan oleh manusia, maka akan terkena sanksi ta'zir dari negara. Namun jika penyebaran penyakit tersebut disebabkan oleh faktor cuaca atau wabah, negara akan bersegera menemukan obat-obatan terbaik melalui para ilmuwan yang ada di laboratorium terbaik, sehingga ditemukan cara atau obat untuk menyembuhkan penyakit tersebut atau menghentikan penyebaran wabah, dan tentunya hal tersebut dilakukan secara gratis kepada masyarakat.
Wallahua'lam bishawwab.
Oleh: Thaqqiyuna Dewi, S.I.Kom.
Sahabat Tinta Media