Tinta Media - Pandemi Covid-19 benar-benar telah memporak-porandakan perekonomian secara global. Wabah yang menyerang dunia semenjak tahun 2019 begitu membuat semua lapisan masyarakat terkena dampaknya baik secara fisik maupun mental. Secara fisik wabah ini telah menyerang kesehatan manusia, menyerang gangguan sistem kekebalan tubuh yang dapat mengakibatkan kematian. Tak sedikit orang yang terkena depresi akibat lockdown yang berkepanjangan. Pun secara ekonomi wabah ini telah menghantam perekonomian negara dan masyarakat hingga pada titik yang begitu rendah.
Di Indonesia, angka kemiskinan pasca terjadinya pandemi tercatat naik secara signifikan. Hal ini tentu berdampak pada kondisi masyarakat, terutama pada masyarakat dengan pendapatan yang relatif rendah (seperti kaum buruh misalnya). Jumlah angka kemiskian yang semakin naik ini ternyata berbanding lurus dengan jumlah penderita gangguan kejiwaan. Betapa tidak, faktor ekonomi yang dialami masyarakat kurang mampu ini pun berimbas pada kondisi psikis mereka. Kebutuhan pokok yang harganya semakin tak terkendali, biaya kesehatan dan pendidikan yang mahal, naiknya harga BBM serta minimnya jumlah lapangan pekerjaan membuat kehidupan rakyat miskin semakin bertambah sulit. Dari sinilah muncul bermacam-macam gangguan metal meskipun faktor ekonomi ini hanya merupakan salah satu dari beberapa penyebab yang memicu adanya gangguan kejiwaan.
Sebenarnya peningkatan jumlah penderita ganggun mental ini sudah terjadi jauh sebelum masa pandemi Covid-19. Menurut riset yang dilakukan oleh IHME atau Institute of health Metrics and Evaluation by University of Washington terkait Global Burden of Desease 2019, gangguan kesehatan mental menjadi salah satu faktor penyebab paling atas dari seluruh beban penyakit yang ada di dunia.
Jumlah pengidap gangguan kesehatan jiwa dengan gangguan perkembangan mental /intelektual (tidak termasuk pecandu alkohol dan narkotika) pada tahun 1990-2019 mencapai lebih dari 14 juta orang untuk jenis kelamin Perempuan dan lebih dari 12 juta orang untuk jenis kelamin laki-laki. Sementara itu jumlah laki-laki dan perempuan yang mengalami depresi sekitar 5 juta orang. Tingginya kasus gangguan mental ini menunjukkan bahwa kondisi negeri ini sedanag sakit. Begitu pula pada kasus melonjaknya angka kemiskinan, bisa dijadikan indikasi bahwa ada kekeliruan dengan tata kelola negara saat ini. Banyak faktor yang menyebabkan masalah ini (gangguan kejiwaan) terjadi baik internal mau pun eksternal termasuk lingkungan dan corak pembangunan yang kapitalistik. Maka untuk mengatsi masalah yang sangat complicated dibutuhkan solusi yang sistematik.
Gangguan kesehatan mental pada umumnya terjadi akibat faktor ekonomi. Sudah bukan rahasia bahwasannya kondisi ekonomi saat ini tenggah mengalami keterpurukan. Angka pengangguran meningkat, ditambah lagi pemangkasan jam kerja para buruh. Dominasi pekerja perempuan yang berdampak pada abainya peran ibu, menyebabkan tidak berfungsinya tugas dan kewajiban atau peranan masing-masing anggota keluarga. Hal inilah yang memicu kondisi disharmoni. Anak yang kurang mendapatkan perhatian, kondisi pengaruh lingkungan yang buruk serta minimnya pengetahuan agama menyebabkan generasi muda mudah mengalami depresi. Tidak adanya penanganan gangguan mental akibat komersialisasi layanan kesehatan menyebabkan kondisi semakin parah, akhirnya pelarian terakhir mereka adalah narkotika dan bunuh diri.
Penyelesaian atas masalah gangguan mental, pendidikan, kesehatan, kemiskinan dan masalah lain yang seakan hanya setengah hati dan tambal sulam dari penguasa menjadikan kondisi negara semakin ruwet dan semrawut. Berbeda dengan sistem pemerintahan islam yang menerapkan hukum syariat. Penyelesaian atas masalah-masalah tersebut sangat terintegrasi dan sistemik. Islam mengatur segala urusan dengan sangat jelas. Kemiskinan sebagai salah satu penyebab gangguan kejiwaan pada maasyarakat diatasi dengan cara penjaminan kebutuhan akan sandang, pangan dan papan secara tidak langsung melalui penyediaan lapangan pekerjaan secara luas. Pemberian pelayanan pendidikan dan kesehatan secara cuma-cuma, sehingga tidak ada kasus anak putus sekolah karena tidak adanya biaya. Anak-anak pun bisa fokus sekolah atau kuliah tanpa harus pusing memikirkan kerja paruh waktu untuk membayar biaya sekolah atau kuliah. Jelas hal ini akan mengurangi potensi generasi muda z mengalami tekanan mental. Demikian juga para orang tua, dengan tidak adanya biaya sekolah atau kuliah tentu hal ini akan memudahkan mereka. Sebagai orang tua wali mereka tidak harus bekerja keras demi untuk membayar uang sekolah ataupun kuliah anak-anaknya.
Lantas bagaimana negara Islam mendanai bidang kesehatan dan pendidikan sementara penguasa saat ini mensubsidi BBM saja merasa berat dan menganggap subsidi BBM adalah beban negara?
Pemasukan penguasa dalam sistem kapitalisme mengandalkan bea cukai dan pajak, sementara dalam negara Islam memiliki begitu banyak pemasukan. Kas negara Islam disebut baitul mal, pos-pos pemasukan baitul mal antara lain:
- Pos kepemilikan umun, terdiri dari fasilitas dan sarana umum seperti instalasi air dan listrik, infrastruktur jalan umum, kereta api, dan lain-lain. Sumber daya alam seperti padang rumput, air, api yang memiliki sifat pembentukan dasarnya menghalangi untuk dimiliki oleh individu. Barang tambang yang mana persediannya dalam jumlah sangat besar seperti tambang emas, batu bara, minyak, gas, batu mulia, nikel, tembaga, garam dan lain sebagainya.
- Pos kepemilikan negara yang terdiri dari ghanimah, fa’i, anfal, usyur, jizyah dan lain-lain.
- Pos zakat yang potensi masukannya sangatlah besar.
Dengan bermacam-macam jenis pemasukan inilah negara Islam mampu membiayai rakyatnya dalam hal pendidikan dan juga kesehatan sekaligus untuk mengatasi masalah kemiskinan. Dengan terselesainya masalah kemiskinan, secara otomatis problematika gangguan kesehatan mental pun dapat diatasi. Apalagi didukung oleh sistem pendidikan berbasis akidah yang mampu menguatkan keimanan, ketaqwaan dan kondisi psikis mereka.
Wallahu a’lam bish shawab. []
Oleh: Siti Fatimah
Pemerhati Sosial dan Generasi