Tinta Media - Meskipun Indonesia rutin merayakan Hari Guru Nasional dan menjadi guru adalah salah satu profesi tertua di dunia, termasuk di tanah air, namun Direktur Siyasah Institute Iwan Januar melihat banyak persoalan yang membelit dunia pendidikan Indonesia.
“Namun, banyak persoalan membelit dunia pendidikan kita,” tuturnya kepada Tinta Media, Ahad (27/11/2022).
Ia menilai ketika Islam telah dipinggirkan dari kehidupan, syariat Islam dimusuhi, maka dunia pendidikan terbelit beragam persoalan besar; tujuan pendidikan, kurikulum, penanggung jawab pendidikan bagi masyarakat, hingga persoalan tenaga pengajar yang berkualitas dan beretika.
“Persoalan-persoalan tersebut sebagian besar akan terselesaikan ketika kaum muslimin memiliki sistem kehidupan Islami, berlandaskan iman,” nilainya.
Iwan menyampaikan bahwa Human Development Index (HDI) Indonesia terbilang jauh dibandingkan dengan negara-negara lain. “Dari pelaporan PBB untuk tahun 2021/2022 dengan nilai HDI 0.705 yang menempatkan Indonesia pada ranking tinggi tetapi tidak banyak menggambarkan kemajuan Indonesia,” ujarnya.
Menurutnya, salah satu penyebab belum majunya pendidikan di Indonesia adalah kualitas guru di tanah air yang jauh dari memadai. “Peneliti Bank Dunia (World Bank), Rythia Afkar menilai bahwa kualitas guru di Indonesia rendah berdasarkan hasil survei yang pihaknya lakukan pada 2020,” ungkapnya.
“Sepertinya hasil pernyataan di atas sejalan dengan hasil Uji Kompetensi Guru (UKG) 2015, rata-rata nasional hanya 44,5, berada jauh di bawah nilai standar 55. Bahkan, kompetensi pedagogik, yang menjadi kompetensi utama guru pun belum menggembirakan,” paparnya lebih lanjut.
Iwan menilai masih banyak guru yang cara mengajarnya masih text book, cara mengajar di kelas yang membosankan. “Persoalan ini bisa terjadi karena kelemahan rekrutmen SDM pengajar, juga upaya peningkatan kemampuan guru dalam mengajar secara nyata,” nilainya.
Karakter Guru
Hal yang tak kalah penting dalam menyukseskan sebuah proses pendidikan menurutnya adalah karakter guru. “Menjadi guru bukan sekedar mengantarkan ilmu pada para murid, tapi juga membentuk kepribadian Islami,” terangnya.
“Guru yang punya kemampuan pedagogik namun tak punya ahlak yang luhur sebagai pendidik, dapat membahayakan proses pendidikan dan perkembangan karakter para pelajar,” tambahnya.
Iwan menyesalkan maraknya tenaga pendidik terlibat masalah hukum, mulai dari kekerasan terhadap siswa hingga pelecehan seksual. “Deretan kasus kejahatan yang melibatkan tenaga pendidik tentu memprihatinkan sekaligus menyadarkan orang tua bahwa dunia pendidikan hari ini menjadi tidak ramah pada anak. Karena guru yang harusnya memberikan rasa aman dan nyaman bagi para siswa, bahkan menjadi orang tua kedua, malah menebar ancaman,” sesalnya.
“Oleh karena itu, dalam Islam seorang pendidik bukan saja harus memiliki kompetensi teknis dalam mengajar, tapi juga harus memiliki etika/adab yang Islami,” imbuhnya.
Menurutnya, ini sebagai implementasi dari firman Allah Swt. yang artinya:
“Wahai orang-orang yang beriman, kenapakah kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan? Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan.” (TQS. ash-Shaf [61]: 2-3).
Iwan menjelaskan bahwa para ulama telah menyusun kode etik para guru, mualim, mudarris, agar dipahami dan dihayati saat menjalankan peran mereka. Imam al-Ghazali misalnya dalam risalahnya berjudul al-Adab fid Din dalam Majmu’ah Rasail al-Imam al-Ghazali (Kairo, Al-Maktabah At-Taufiqiyyah, t.th., halaman 431) menuliskan ada 11 etika/adab yang harus dimiliki para pengajar, artinya: “Adab orang alim (guru), yakni: tidak berhenti menuntut ilmu, bertindak dengan ilmu, senantiasa bersikap tenang, tidak takabur dalam memerintah atau memanggil seseorang, bersikap lembut terhadap murid, tidak membanggakan diri, mengajukan pertanyaan yang bisa dipahami orang yang lamban berpikirnya, merendah dengan mengatakan, ‘Saya tidak tahu,’ bersedia menjawab secara ringkas pertanyaan yang diajukan penanya yang kemampuan berpikirnya masih terbatas, menghindari sikap yang tak wajar, mendengar dan menerima argumentasi dari orang lain meskipun ia seorang lawan.”
Dipaparkannya, para guru, mualim, mudaris, juga bisa mempelajari adab-adab para guru dalam kitab Tadzkirah As-Sami’ wal Mutakallim karya Imam Badruddin Ibnu Jama’ah Al-Kinani yang membagi adab seorang pengajar menjadi 4 bagian, yakni “Adab seorang alim terhadap dirinya, adab seorang alim bersama murid dan pelajarannya, adab seorang alim pada pembelajarannya, adab seorang alim dengan para muridnya secara mutlak dan ketika di dalam halaqoh,” paparnya.
Iwan juga menyampaikan adanya kode etik untuk para guru, mufti, alim, yang disusun Imam Nawawi dalam risalah Adab Al-‘Alim wa Al-Muta’alim Muqaddimah Al-Majmu’. “Beliau menuliskan sejumlah sifat yang harus dimiliki para pencari ilmu dan para pemilik ilmu serta para pengajar,” tuturnya.
Ideologi kapitalisme dan sekulerisme dinilai Iwan telah menghapus kewajiban para calon tenaga pengajar dari memiliki adab-adab yang mulia ini. “Malah menanamkan semangat materialistik kepada para tenaga pengajar dan para pelajar, kecuali sedikit saja mereka yang menyadarinya,” nilainya.
Dalam keadaan sekarang, Iwan menegaskan dunia pendidikan bisa diselamatkan sebagian dengan kesadaran para penyelenggara pendidikan dan kesungguhan para guru serta mualim. "Kesadaran mereka, meski bersifat parsial, bisa menjadi seteguk air yang menyegarkan untuk menjaga dan melindungi keberkahan dunia pendidikan dan mencetak generasi yang unggul. Meski sulit, tetap harus diperjuangkan," tegasnya.
Karenanya, Iwan berharap di Hari Guru, yang biasa diperingati setiap tanggal 25 November, para guru muslim, para mualim, para mudaris, harus merenungi, memperbaiki diri, dan berusaha menciptakan sistem kehidupan yang kelak akan memajukan pendidikan kaum muslimin agar dapat bersaing bahkan mengalahkan dominasi negara-negara adidaya yang telah mencengkram negeri-negeri muslim. "Tidak sekedar memikirkan karir pribadi, sertifikasi, serta dana pensiun," pungkasnya.[] Raras