Tinta Media - Akhir Oktober lalu, tragedi kemanusiaan terjadi di Itaewon, Korea Selatan. Tragedi kemanusiaan ini terjadi saat hampir seratus ribu orang memadati sebuah komplek hiburan untuk merayakan pesta Halloween. Ratusan jiwa melayang dan terluka. Peristiwa yang terjadi di Itaewon pada 29 Oktober 2022 itu lantas mendapatkan perhatian dunia, termasuk pemerintah Indonesia.
Tragedi kemanusiaan yang terjadi di Itaewon sebenarnya hampir sama dengan tragedi kemanusiaan yang terjadi di Kanjuruhan, Malang, beberapa waktu sebelumnya. Tragedi Kanjuruhan juga menewaskan lebih dari 130 jiwa. Hanya saja, tewasnya para suporter di Kanjuruhan merupakan dampak dari sikap kepolisian yang terlalu gegabah dalam mengambil tindakan untuk mengatasi kerusuhan yang dipicu oleh suporter Arema.
Sedangkan dalam tragedi Itaewon, kerusuhan terjadi karena berkumpulnya manusia di satu titik, di samping minimnya pengawasan polisi, hingga membuat masyarakat sesak, kemudian mati lemas.
Dua kejadian kemanusiaan tersebut rupanya mendapatkan perhatian yang berbeda dari pemerintah Indonesia. Pemerintah Indonesia menyatakan turut berduka cita atas tragedi yang terjadi di Itaewon. Pemerintah juga berharap agar para korban luka segera sembuh.
Namun, ucapan belasungkawa tersebut tidak diberikan kepada para korban Kanjuruhan yang merupakan warga negara Indonesia sendiri. Pemerintah Indonesia justru mengklaim bahwa penanganan yang dilakukan saat di Kanjuruhan meskipun memakan korban sudah sesuai dengan prosedur yang ada. Pemerintah bahkan menyalahkan pintu stadion yang terkunci hingga para suporter tak dapat keluar dari serangan gas air mata.
Kurangnya kepedulian pemerintah terhadap rakyat sendiri tak lain merupakan dampak dari sistem sekularisme yang diterapkan. Sebab, sistem ini meniadakan kepengurusan rakyat berdasarkan syariat Islam. Sistem ini berprinsip kepada pemisahan aturan agama dari kehidupan dan merambat kepada pemisahan aturan agama terhadap negara.
Walhasil, penguasa cenderung abai terhadap urusan rakyat. Rakyat hanya dianggap sebagai beban. Padahal, selama ini rakyat selalu mencukupi kebutuhan hidupnya sendiri, terlebih di saat semua kebutuhan semakin mencekik akibat diterapkannya sistem ekonomi kapitalistik.
Kepedulian pemerintah terhadap rakyat akan nampak saat pemerintah menyandarkan segala peraturannya kepada Islam. Hal ini karena Islam memandang bahwa pemerintah atau penguasa adalah junnah (perisai) bagi seluruh warga negara.
Dalam hadis, Rasulullah saw. bersabda:
"Sungguh, Imam (Khalifah) itu laksana perisai, di mana orang-orang akan berperang di belakangnya dan berlindung (dari musuh) atas dengannya." (HR. Bukhari).
Penguasa dalam pandangan Islam adalah sebagai penanggung jawab atas segala urusan rakyat. Sebagaimana sabda Rasulullah saw. yang artinya:
"Al Imam (penguasa) adalah penanggung jawab dan bertanggung jawab atas rakyatnya ..." (HR. Bukhari).
Walhasil, tragedi kemanusiaan tersebut merupakan tanggung jawab penguasa untuk mengusut tuntas dan memberikan jaminan bagi para korban untuk dapat memenuhi kebutuhan hidup, memberikan kompensasi atas setiap nyawa yang melayang.
Pertanggungjawaban penguasa akan dapat terpenuhi jika negeri ini menerapkan sistem Islam secara menyeluruh di semua aspek kehidupan, baik dalam aspek pemerintahan, politik, hukum, ekonomi, sosial, pendidikan, kesehatan, dan keamanan. Lebih dari itu, tragedi kemanusiaan sejatinya akan dapat dicegah, bahkan tidak akan terjadi jika sistem Islam telah diterapkan.
Ini karena Islam akan membatasi apa saja yang boleh dilakukan oleh masyarakat dan negara, dan apa saja yang tidak. Terkait dengan hiburan, permainan atau perayaan, maka negara Islam tidak boleh membiarkan warga negaranya merayakan segala perayaan atau hiburan yang bertentangan dengan ajaran Islam.
Oleh karena itu, tragedi kemanusiaan yang terjadi merupakan suatu permasalahan yang komplek karena ketiadaan penerapan syariat Islam di tengah-tengah masyarakat. Jadi, bukan sekadar kelalaian manusia yang sarat akan mencari kesenangan dengan materi semata. Wallahu a'lam bishawab.
Oleh: Firda Umayah
Sahabat Tinta Media