Islam Itu Berasal dari Allah SWT Bukan dari Bangsa Manapun - Tinta Media

Selasa, 29 November 2022

Islam Itu Berasal dari Allah SWT Bukan dari Bangsa Manapun

Tinta Media - Sobat. Secara makna syaríy. Islam adalah agama yang diturunkan oleh Allah SWT kepada junjungan kita, Muhammad SAW untuk mengatur hubungan manusia dengan Penciptanya, dirinya sendiri dan sesama. Hubungan manusia dengan Penciptanya meliputi masalah aqidah dan ibadah; hubungan manusia dengan dirinya sendiri meliputi akhlak, makanan, dan pakaian; hubungan manusia dengan sesamanya meliputi muamalah dan persanksian. Adapun ruang lingkup syariah Islam baik yang berkaitan dengan aqidah maupun peraturan atau system kehidupan yang menjadi turunannya.

ٱلۡيَوۡمَ أَكۡمَلۡتُ لَكُمۡ دِينَكُمۡ وَأَتۡمَمۡتُ عَلَيۡكُمۡ نِعۡمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ ٱلۡإِسۡلَٰمَ دِينٗاۚ 

“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu.” ( QS. Al-Maidah (5) : 3 )

Sobat. sesuatu yang penting bagi Nabi Muhammad saw dan bagi seluruh umat Islam, bahwa Allah telah menyempurnakan agama Islam dan telah mencukupkan nikmat-Nya, serta telah rida agama Islam menjadi agama umat manusia.

Setelah ayat ini dibacakan oleh Nabi, maka Umar menangis lalu Nabi bertanya apa yang menyebabkan ia menangis. Umar menjawab, "Sesuatu yang sudah sempurna tidak ada yang ditunggu lagi kecuali kurangnya." Rasulullah membenarkan ucapan Umar itu (Riwayat Ibnu Jarir dan Harun bin Antarah dari ayahnya ). Diriwayatkan bahwa ayat ini turun di Arafah tanggal 9 Zulhijjah 10 H, hari Jumat sesudah asar. Sejarah telah mencatat: bahwa 81 hari sesudah turunnya ayat ini Nabi Muhammad saw pun wafat setelah menunaikan risalahnya selama kurang lebih 23 tahun. Memang ajaran Islam telah sempurna, walaupun segala persoalan belum dirinci, tetapi telah cukup sempurna dengan berbagai prinsip urusan duniawi maupun ukhrawi.

 فَمَنِ ٱضۡطُرَّ فِي مَخۡمَصَةٍ غَيۡرَ مُتَجَانِفٖ لِّإِثۡمٖ فَإِنَّ ٱللَّهَ غَفُورٞ رَّحِيمٞ 

Kemudian pada akhir ayat ini diterangkan, bahwa orang-orang yang terpaksa makan makanan yang diharamkan Allah karena lapar tanpa niat untuk berbuat dosa, dibolehkan asal dia makan seperlunya saja, sekedar mempertahankan hidup. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.

Sobat. Iman itu tempatnya di hati. Iman itu bergantung pada pembenaran yang bersifat pasti ( tashdiq al-Jazim ), bukan hanya sekedar pembenaran saja namun harus sesuai dengan fakta dan berdasarkan dalil (bukti) sehingga kokoh bersemayam dalam hati. Saat itulah seseorang menjadi mukmin.

وَٱعۡلَمُوٓاْ أَنَّ فِيكُمۡ رَسُولَ ٱللَّهِۚ لَوۡ يُطِيعُكُمۡ فِي كَثِيرٖ مِّنَ ٱلۡأَمۡرِ لَعَنِتُّمۡ وَلَٰكِنَّ ٱللَّهَ حَبَّبَ إِلَيۡكُمُ ٱلۡإِيمَٰنَ وَزَيَّنَهُۥ فِي قُلُوبِكُمۡ وَكَرَّهَ إِلَيۡكُمُ ٱلۡكُفۡرَ وَٱلۡفُسُوقَ وَٱلۡعِصۡيَانَۚ أُوْلَٰٓئِكَ هُمُ ٱلرَّٰشِدُونَ  

“Dan ketahuilah olehmu bahwa di kalanganmu ada Rasulullah. Kalau ia menuruti kemauanmu dalam beberapa urusan benar-benarlah kamu mendapat kesusahan, tetapi Allah menjadikan kamu "cinta" kepada keimanan dan menjadikan keimanan itu indah di dalam hatimu serta menjadikan kamu benci kepada kekafiran, kefasikan, dan kedurhakaan. Mereka itulah orang-orang yang mengikuti jalan yang lurus, ( QS. Al-Hujurat (49) : 7 )

Sobat. Allah menjelaskan bahwa Rasulullah saw ketika berada di tengah-tengah kaum Mukminin, sepatutnya dihormati dan diikuti semua petunjuknya karena lebih mengetahui kemaslahatan umatnya. Nabi lebih utama bagi orang-orang Mukmin dari diri mereka sendiri, sebagaimana dicantumkan dalam firman Allah:
 
Nabi itu lebih utama bagi orang-orang Mukmin dibandingkan diri mereka sendiri (al-Ahzab/33: 6)

Karena Nabi Muhammad selalu berada dalam bimbingan wahyu Ilahi, maka beliau yang berada di tengah-tengah para sahabat itu sepatutnya dijadikan teladan dalam segala aspek kehidupan dan aspek kemasyarakatan. Seandainya beliau menuruti kemauan para sahabat dalam memecahkan persoalan hidup, niscaya mereka akan menemui berbagai kesulitan dan kemudaratan seperti dalam peristiwa al-Walid bin 'Uqbah. Seandainya Nabi saw menerima berita bohong tentang Bani al-Musthaliq, lalu mengirimkan pasukan untuk menggempur mereka yang disangka murtad dan menolak membayar zakat, niscaya yang demikian itu hanya akan menimbulkan penyesalan dan bencana. Akan tetapi, sebaliknya dengan kebijaksanaan dan bimbingan Rasulullah saw yang berada di tengah-tengah para sahabat, mereka dijadikan oleh Allah mencintai keimanan dan menjadikan iman itu indah dalam hati mereka, dan menjadikan mereka benci kepada kekafiran, ke-fasikan dan kedurhakaan.

Karena iman yang sempurna itu terdiri dari pengakuan dengan lisan, membenarkan dengan hati, dan beramal saleh dengan anggota tubuh, maka kebencian terhadap kekafiran berlawanan dengan kecintaan kepada keimanan. Menjadikan iman itu indah dalam hati adalah pararel dengan membenarkan (tasdiq) dalam hati, dan benci kepada kedurhakaan itu pararel dengan mengadakan amal saleh. Orang-orang yang demikian itu adalah orang-orang yang mendapat petunjuk dan mengikuti jalan yang lurus, yang langsung menuju kepada keridaan Allah.

Allah SWT berfirman :
مَن كَفَرَ بِٱللَّهِ مِنۢ بَعۡدِ إِيمَٰنِهِۦٓ إِلَّا مَنۡ أُكۡرِهَ وَقَلۡبُهُۥ مُطۡمَئِنُّۢ بِٱلۡإِيمَٰنِ وَلَٰكِن مَّن شَرَحَ بِٱلۡكُفۡرِ صَدۡرٗا فَعَلَيۡهِمۡ غَضَبٞ مِّنَ ٱللَّهِ وَلَهُمۡ عَذَابٌ عَظِيمٞ  

“Barangsiapa yang kafir kepada Allah sesudah dia beriman (dia mendapat kemurkaan Allah), kecuali orang yang dipaksa kafir padahal hatinya tetap tenang dalam beriman (dia tidak berdosa), akan tetapi orang yang melapangkan dadanya untuk kekafiran, maka kemurkaan Allah menimpanya dan baginya azab yang besar.” ( QS. An-Nahl (16) : 106 )

Sobat. Dalam ayat ini, Allah swt menerangkan tentang ancaman keras terhadap riddah (murtad) yakni kufur kembali sesudah beriman, mengutama-kan kesesatan dari petunjuk (hidayah)-Nya. Mereka mendapat kemurkaan dan azab Allah, kecuali dalam kondisi terpaksa. Misalnya, mereka menyatakan murtad dengan lidah karena jiwanya terancam, namun hati mereka tetap penuh dengan keimanan. Tidak ada dosa dan tuntutan hukum kepadanya, selama ia tetap beriman.

Rasulullah bersabda:
Tidak dicatat amal umatku (karena) kekeliruan, lupa, dan mereka terpaksa. (Riwayat ath-thabrani dari sauban)

Sobat. Bukti Keimanan kita adalah keterikatan kepada hukum syara’. Sebagaimana Allah SWT berfirman :

فَلَا وَرَبِّكَ لَا يُؤۡمِنُونَ حَتَّىٰ يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيۡنَهُمۡ ثُمَّ لَا يَجِدُواْ فِيٓ أَنفُسِهِمۡ حَرَجٗا مِّمَّا قَضَيۡتَ وَيُسَلِّمُواْ تَسۡلِيمٗا 

“Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.” ( QS. An-Nisa’ (4) : 65 )
Sobat. Ayat ini menjelaskan dengan sumpah bahwa walaupun ada orang yang mengaku beriman, tetapi pada hakikatnya tidaklah mereka beriman selama mereka tidak mau bertahkim kepada Rasul. Rasulullah saw pernah mengambil keputusan dalam perselisihan yang terjadi di antara mereka, seperti yang terjadi pada orang-orang munafik. Atau mereka bertahkim kepada Rasul tetapi kalau putusannya tidak sesuai dengan keinginan mereka lalu merasa keberatan dan tidak senang atas putusan itu, seperti putusan Nabi untuk az-Zubair bin Awwam ketika seorang laki-laki dari kaum Ansar yang tersebut di atas datang dan bertahkim kepada Rasulullah.

Jadi orang yang benar-benar beriman haruslah mau bertahkim kepada Rasulullah dan menerima putusannya dengan sepenuh hati tanpa merasa curiga dan keberatan. Memang putusan seorang hakim baik ia seorang rasul maupun bukan, haruslah berdasarkan kenyataan dan bukti-bukti yang cukup.

Sobat. Karena itu, seorang mukmin tidak hanya harus ber-tahkim kepada Rasulullah SAW dan hatinya merasa puas dengan keputusan tersebut, namun juga harus tunduk dan patuh kepadanya yang diimplementasikan dalam bentuk perbuatan. 
Sebagaimana Rasulullah SAW bersabda,” Demi Zat yang jiwaku di tangan-Nya, seseorang di antara kalian tidak beriman hingga hawa nafsunya mengikuti (risalah) yang aku bawa (HR. Muslim )

(Dr. Nasrul Syarif, M.Si. Penulis Buku Gizi Spiritual. Dosen Pascasarjana IAI Tribakti Lirboyo. Wakil Ketua Komnas Pendidikan Jawa Timur)
Rekomendasi Untuk Anda × +

Bagikan artikel ini

Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini.

Artikel Menarik Lainnya :