Tinta Media - Narator Muslimah Media Center (MMC) menuturkan, cara pandang infrastruktur transportasi dalam sistem Islam sangat berbeda dengan kapitalisme.
“Sangat berbeda cara pandang infrastruktur transportasi dalam Islam yaitu untuk pelayanan publik, sedangkan kapitalisme infrastruktur transportasi lebih berorientasi bisnis,” tuturnya dalam Program Serba Serbi MMC: Proyek Kereta Api Cepat Hanya Menggerus Kedaulatan Negara? Selasa (22/11/2022) di kanal Youtube Muslimah Media Center.
Menurutnya, infrastruktur kapitalisme merupakan ladang komersial sehingga keberadaannya bisa diperjualbelikan kepada swasta. “Rakyat tidak bisa untuk menikmati layanan infrastruktur tersebut secara murah, mudah bahkan nyaman. Andaikan pun mau menikmatinya juga harus berbayar,” ucapnya.
Ia menegaskan penjelasan Syaikh Abdul Qadim Zallum dalam buku Sistem Keuangan Negara Khilafah bahwa sarana transportasi umum termasuk jenis infrastruktur milik negara yang disebut marâfiq. Marâfiq ammah ialah seluruh sarana umum yang disediakan negara agar dimanfaatkan oleh seluruh lapisan masyarakat. “Sarana ini dibuat oleh negara selama bermanfaat dan dapat membantu masyarakat daerah pedesaan maupun provinsi,” tegasnya.
Khilafah akan menjadi penanggung jawab utama dan pertama dalam pembangunan transportasi seperti pesawat terbang, kereta api, dan kapal laut. “Jika dilihat transportasi tersebut terdapat maslahat bagi kaum muslim, dan sangat mendesak untuk membantu mereka serta memudahkan mereka untuk bepergian,” bebernya.
Dalam sistem kapitalisme, kata narator, pembiayaan infrastruktur melibatkan swasta dengan skema investasi dan utang bunga. Sedangkan untuk pembiayaan infrastruktur dalam Khilafah, mengambil dana dari pos kepemilikan negara atau pos kepemilikan umum. Menurutnya, pos kepemilikan negara berasal dari harta kharaj, fai, usyur, jizyah, dan sebagainya. Sementara pos kepemilikan umum berasal dari harta pengelolaan sumber daya alam oleh negara secara mandiri.
“Model pembiayaan seperti ini akan menjamin kedaulatan negeri sehingga tidak tunduk pada asing,” ucapnya.
Sementara kapitalisme memberikan ruang lebar bagi swasta untuk menjadi penguasa dan pengendali kepentingan publik termasuk dalam hal infrastruktur. “Sehingga pembangunan infrastruktur transportasi bukan 100 persen berada di bawah kendali negara namun pihak swasta,” kritiknya.
Pembangunan infrastruktur dalam Islam manfaatnya dapat dirasakan langsung oleh masyarakat sebagai bentuk layanan publik.
“Bentuk-bentuk penerimaan yang diterima juga dikembalikan menjadi manfaat lainnya bagi publik,” katanya.
Narator mencontohkan penerapan konsep pembangunan dalam Khilafah yang terjadi pada masa khalifah Umar bin Khattab ketika wilayah kerja ekonomi negeri Khilafah semakin luas. “Khalifah Umar mendirikan semacam wilayah perdagangan yang besar di kota Basrah yakni gerbang untuk perdagangan dengan Romawi dan Kufah sebagai pintu masuk perdagangan dengan Persia,” ujarnya.
“Khalifah Umar juga membangun kanal dari Fustat ke Laut Merah sehingga orang yang membawa gandum ke Mesir tidak perlu lagu memakai unta karena saat itu, mereka dapat langsung menyeberang sungai Sinai ke Laut Merah,” tuturnya.
Ia pun mengungkapkan contoh tentang penerimaan yang dimanfaatkan kembali untuk layanan publik. “Khalifah Umar misalnya meminta Ammar bin Ash radhiallahu anhu menggunakan pemasukan dari Mesir untuk membangun jembatan, terusan, dan jaringan suplai air hingga fasilitas-fasilitas yang bertebaran di jalan-jalan untuk memenuhi kebutuhan para musafir,” ungkapnya.
Sehingga pada masa kekhalifahan Umar didapati pos semacam rumah singgah yang disebut sebagai Dar ad-Daqiq. “Rumah ini digunakan sebagai tempat penyimpanan kurma, anggur, dan berbagai bahan makanan lainnya yang diperuntukkan bagi Ibnu Sabil yang kehabisan bekal dan tamu asing,” tuturnya.
Ia mengakhirinya dengan mengatakan bahwa mekanisme pembangunan transportasi dalam Islam memudahkan masyarakat untuk mengaksesnya. “Masyarakat bisa mengaksesnya dengan murah bahkan gratis,” pungkasnya.[] Ageng Kartika