Tinta Media - Direktur Indonesia Justice Monitor Agung Wisnuwardana menjelaskan poin mendasar perbedaan antara khilafah dan demokrasi.
"Kenapa sih orang mengusung Khilafah? Kenapa orang menentang demokrasi? Yang begitu dulu harus kita masukkan pada letak poin yang sangat mendasar, perbedaan antara konsep Khilafah dengan konsep demokrasi," tuturnya kepada Tinta Media, Rabu (2/11/2022).
Kemudian, ia menjelaskan konsep kedaulatan dalam sistem demokrasi dan khilafah. "Kalau dalam demokrasi, kedaulatan di tangan rakyat. Siapa yang membuat hukum? Adalah manusia. Sementara dalam konsep Khilafah, kedaulatan itu di tangan pembuat hukum yaitu Allah Subhanahu Wa Ta'ala. Sangat nyata perbedaannya," tegasnya.
Maka, kata Agung, kalau dalam demokrasi itu menjauhkan Wahyu, kalau dalam Khilafah mendekatkan Wahyu, artinya Al-Qur'an dan as-Sunnah itu dijadikan landasan dalam kehidupan. "Dalam konteks Islam itu memang kita diminta berhukum sesuai dengan Hukum Allah SWT, dan itu bagian dari akidah. Jadi semangat itulah yang membawa orang menginginkan tegaknya Khilafah untuk menerapkan Syariah Allah SWT," bebernya.
Ustaz Agung, sapaan akrabnya, mengatakan bahwasannya ketika khilafah diterapkan, ruang kejahatan itu tetap ada, namun problemnya individual.
"Dalam konsep Islam ketika khilafah telah diterapkan dengan penerapan syariat Islam itu, kejahatan masih ada, ruang korupsi misalnya ya bisa aja. Cuma, ruangnya individual artinya problem itu problem individu, jumlahnya terbatas, faktornya tidak kompleks, sehingga segera bisa diselesaikan," jelasnya.
"Kenapa kita mengambil konsep Islam, ya karena dia perintah Allah. Yang kedua secara empiris itu logis," ungkapnya.
Ia juga memberikan contoh bagaimana Islam menangani kasus korupsi dengan pembuktian terbalik, yang mana hal itu sulit diterapkan dalam sistem demokrasi.
"Misalnya, tentang korupsi dalam sistem demokrasi itu sulit sekali untuk diterapkan Apa yang disebut dengan pembuktian terbalik sampai sekarang Indonesia tidak pernah menerapkan. Sementara dalam konsep Islam itu nanti ada pembuktian terbalik. Jadi, di awal pejabat publik dihitung kekayaannya, di akhir kekayaannya naik tiba-tiba. Nah ketika naik si pejabat publik itu harus membuktikan dari mana kenaikan hartanya itu, kalau ternyata terbukti itu dari kejahatan atau dari perbuatan curang atau perbuatan korupsi, atau ternyata tidak jelas itu dari mana sumbernya, ya diambil sama negara," paparnya.
Belum lagi kalau kita bicara hukum, ujarnya kembali, pidana hukum (had) dalam Islam itu kan sifatnya jawazir dan jawabir. Kenapa hukum itu diterapkan, sebagai penebus dosa dan menimbulkan efek jera.
Ia kembali memberikan contoh hukuman bagi pencuri dalam sistem Islam supaya orang tidak lagi mencuri dan sebagai tebusan dosa, sehingga di akhirat tidak lagi ada had itu.
"Misalnya, hukum pencuri itu potong tangan, hal itu untuk mencegah supaya orang tidak mencuri lagi. Yang kedua jawabir, yaitu penebusan dosa. Supaya nanti di akhirat mereka tidak diterapkan hukum had itu. Itu luar biasa efeknya, dan kalau bicara tentang hukum Islam, tidak berhenti pada hukum hadnya saja," paparnya.
Soal pencurian, imbuhnya, hal tersebut berkaitan dengan hukum pendidikan. Bagaimana mendidik supaya orang itu tidak mencuri. Akhlaknya baik, adatnya baik. Kemudian hukum ekonomi Bagaimana ekonomi itu benar-benar diterapkan sesuai dengan cara Islam. Sehingga jaminan terpenuhinya kebutuhan pokok itu betul-betul sempurna. Sandang, pangan, papan, pendidikan kesehatan dan juga keamanan itu betul-betul terjamin.
Terakhir, ia menegaskan bahwa hukum potong tangan dan yang semisalnya itu tidak asal. Akan tetapi semua kebutuhan sudah benar-benar terpenuhi, ternyata masih mencuri, baru diterapkan hukuman itu. "Nah kalau sudah seperti itu kok masih mencuri ya potong tangan lah gitu," pungkasnya.[] Nur Salamah