Tinta Media - Di tengah karut-marut isu politik, rusaknya citra dan kinerja kepolisian, tumpang tindih dengan isu kekerasan dalam rumah tangga oleh pasangan artis tanah air, muncul lagi isu monsterisasi Islam dengan pemberitaan seorang perempuan bercadar membawa senjata api yang ditangkap di depan istana negara. Semua isu menutupi isu-isu sebelumnya, hingga isu proyek IKN tak lagi terdengar kabarnya.
Ada sebuah kabar yang cukup memprihatinkan di tengah naiknya semua harga barang, membengkaknya utang negara dan bencana alam, yaitu pemerintah menyiapkan insentif untuk investor IKN demi proses percepatan pembangunan ibu kota baru negara. (www.republika.co.id., 5/10/2022).
Proyek IKN sejak awal mendapat kritik dari berbagai pihak, terkait urgensitasnya dan indikasi terkait dengan kepentingan oligarki. Namun, pemerintah tetap ngotot menyiapkan regulasi pendukung (PP/Peraturan Pemerintah dan Badan Usaha Milik Otorita), serta insentif bagi para investor. Kebijakan pembangunan IKN merupakan kebijakan prematur, padahal proyek ini bukan pembangunan yang biasa.
Pembangunan ibu kota merupakan pembangunan “jantung” negara. Jika dilakukan dengan tergesa-gesa, akan menimbulkan bahaya yang luar biasa, karena berkaitan dengan pendanaan dan kedaulatan negara.
Ditinjau dari segi kajian lingkungan, pemindahan ibu kota ke Penajam, Paser, Kalimantan Timur tidaklah mendesak. Keberadaan IKN akan merusak lingkungan, walau dibangun dengan konsep Forest City. Apalagi, Kalimantan sejak dulu dikenal sebagai jantung oksigen dunia, tak hanya bagi Indonesia.
Dikaji dari pendanaan, utang kita membengkak, karena mundurnya beberapa investor macam SoftBank, Arab Saudi, Jepang, dan beberapa investor asing lainnya. Hal ini akhirnya akan membebani APBN, yang berujung pada rakyat yang akan menanggung semuanya.
Untuk siapa sebenarnya proyek IKN? Tentu saja untuk para pemilik lahan, yang nama-namanya terkait dengan para pengusaha-pengusaha sebagai shadow stakeholder pemerintah, serta investor yang bisa mengintervensi kebijakan pemerintah.
Kita harus membayar untuk setiap pemanfaatan bangunan tersebut. Seperti halnya seseorang yang pindah dari rumah sendiri ke rumah kontrakan, otomatis harus mengeluarkan biaya terus-menerus ketika tinggal di rumah baru tersebut. Lebih parah lagi, tentu saja investor bisa melakukan intervensi terhadap pemanfaatan bangunan tersebut. Tidakkah ini sangat berbahaya bagi eksistensi dan kedaulatan negara?
Kebijakan memberi insentif tidaklah tepat. Hal ini malah menguntungkan pihak investor. Pemerintah seharusnya menunda proyek IKN, dan mengalokasikan dana untuk menyelesaikan persoalan nyata. Terlebih, hal ini membebani APBN, sementara ekonomi terancam resesi.
Pemasukan APBN yang salah satunya adalah pajak, akan memberatkan rakyat. Nampak nyata pada siapa pemerintah selama ini berpihak, apakah pada para “dalang” yang telah mendanai suksesinya ataukah pada rakyat sebagai pihak yang telah memberinya amanat kepengurusan?
Indonesia membutuhkan penguasa yang dapat menjadi perisai dan mampu melindungi rakyat dalam menghadapi ancaman krisis multidimensi. Selama sistem kapitalisme tetap dipegang sebagai aturan main pengurusan umat, maka kesejahteraan rakyat bak api jauh dari panggang.
Mari kita kembalikan sistem pengurusan yang lebih manusiawi, menentramkan jiwa dan sesuai dengan fitrah manusia, yaitu sistem Islam yang merupakan aturan yang dibuat oleh Sang Pencipta manusia.
Oleh: Hayyin
Sahabat Tinta Media