Tinta Media - Direktur Indonesia Justice Monitor (IJM) Agung Wisnuwardhana menilai bahwa larangan politik identitas ditujukan pada Islam.
“Larangan politik identitas ditujukan pada Islam. Istilahnya kalau membawa politik identitas apalagi konteks Islam dalam politik itu dianggap menimbulkan disharmoni di tengah masyarakat,” tuturnya dalam Justice Monitor Bergerak Bersama Rakyat: Menguak di Balik Seruan Larangan Politik Identitas, Kamis (3/11/2022) di kanal Youtube Justice Monitor.
Himbauan tidak melakukan politik identitas menjelang 2024 (pemilihan capres-cawapres), diungkapkan oleh Agung bahwa politik identitas itu dimaknai sebagai nuansa agama atau suku atau ras masuk ke dalam politik dan dianggap akan bisa menimbulkan perpecahan.
“Istilah politik identitas kini sering didengungkan dengan narasi yang dibangun bernada buruk, tercela, negatif, dan cenderung harus dijauhi, bahkan ada yang berpendapat bahwa politik identitas yang berbasis agama hanya untuk merusak tatanan kerukunan dan harmonisasi umat beragama,” ungkapnya
Menurutnya, anggapan tersebut ditujukan pada Islam dengan alasan sebagai kelompok mayoritas akan merasa memiliki hak istimewa dari kelompok lainnya yang dianggap minoritas.
“Ketika nanti politik Islam itu dikedepankan seperti ada penindasan mayoritas kepada minoritas. Itu logika yang didengung-dengungkan oleh rezim hari ini, termasuk para pendukungnya,” bebernya.
“Bila ditelaah mungkin identitas yang dimaksudkan adalah Islam,” tegasnya.
Islam sebagai mayoritas di negeri ini dan perkembangan politik Islam mulai bangkit menjadikan alasan Islam sedang memainkan politik identitas ketika orang yang membawa agama lagi konteks Islam adalah politik. “Begitu pula saat ada orang yang menyerukan penerapan syariah Islam untuk kemaslahatan bersama itu sering dimaknai sebagai puritan, sebagai pemikiran yang memecah belah bangsa,” katanya.
“Hal lain saat orang yang menyampaikan ajaran Islam tentang haram memilih pemimpin kafir, itu akan bisa dituduh pula tengah menggunakan politik identitas,” lanjutnya.
Ia menguraikan dampak ke depannya dari hal tersebut. “Mungkin ada kekuatan dan tokoh Islam lain terlihat tidak berani muncul karena khawatir jadi sasaran kampanye anti politik identitas. Padahal mereka bukan bagian dari politik identitas yang sering dituduhkan anti kebhinekaan dan menyerupai perpecahan,” urainya.
Menurutnya, stempel politik identitas ini adalah tuduhan yang sengaja untuk menyamaratakan seolah Islam sama dengan politik identitas yang mengajak kepada perpecahan. “Padahal sebenarnya bukan seperti itu,” tuturnya.
Politik Islam
Ia memaparkan bahwa politik Islam adalah politik yang justru mengedepankan persatuan dan keadilan. Hanya saja persatuan hari ini belum menyampaikan pandangan-pandangan Islam.
“Begitu ada orang muslim menunjukkan jati diri muslimnya, dianggaplah kemudian ide-ide puritan, ide-ide yang membangun disharmoni. Ini persoalan, menurut saya ada pemikiran, ada problem pikiran, mindset yang cenderung sudah tertutup,” ujarnya.
Kampanye-kampanye tersebut (ide-ide puritan, ide-ide yang membangun disharmoni) menurut Agung, menyebabkan kekutaan-kekuatan politik Islam semakin memudar.
“Karena orang Islam jadi ragu menunjukkan identitas Islamnya, termasuk ragu untuk menyampaikan pandangan tentang syariat Islam yang rahmatan lil’alamin, ditambah dengan kekuatan media sosial maka semakin terfragmentasi kekuatan politik dan tokoh Islam,” ungkapnya.
Ia pun membeberkan bahwa ada tokoh Islam yang istiqamah menyampaikan Islam tetapi ada pula pihak-pihak lain dengan alasan strategilah atau dengan alasan pendekatan yang lebih pas sehingga cenderung menghilangkan identitas-identitas Islamnya.
“Menghilangkan opini-opini pandangan tentang Islam sehingga terjadilah perpecahan, maka wajar jika ada potensi kekuatan politik Islam dan tokoh Islam muncul maka langsung diserang dengan berbagai isu politik untuk meredam kekuatan Islam tersebut,” bebernya.
Ia mengkritisi bahwa wajar belaka ketika pandangan masyarakat menyatakan tujuan politik identitas itu hanya ditujukan kepada umat Islam yang memperjuangkan ajaran agamanya.
“Nyaris tidak terdengar tudingan politik identitas yang bernada menyudutkan pihak selain Islam, itu jarang sekali atau suku itu jarang sekali,” kritiknya.
Kondisi hari ini politik identitas ditempatkan untuk kepentingan pragmatis dalam kepentingan capres-cawapres. Ia menyampaikan bahwa ruang capres-cawapres yang sekarang ada itu dalam ruang sistem kapitalisme yang mengarah pada oligarki juga.
“Jadi peluang setiap capres, siapa pun dia dalam lingkaran sistem kapitalisme itu, pasti tidak bisa mengelak dari kepentingan-kepentingan politik,” ucapnya.
Berbeda dengan politik Islam yang hakikatnya adalah pengurusan umat berdasarkan kebenaran dan keadilan Islam.
“Islam telah menjadikan politik atau siyasah sebagai sarana untuk mewujudkan terlaksananya perintah Allah dan Rasul-Nya. Politik bagi umat Islam merupakan bagian dari aktivitas dakwah dalam upaya memperjuangkan Islam agar terjadi implementasi perintah Allah dan Rasul-Nya,” paparnya.
“Saya sebagai muslim mengajak umat Islam secara keseluruhan hari ini, selayaknya kita bicara tentang Islam, tentang politik Islam, tentang riayah ummah, pengaturan urusan umat dengan Islam,” pungkasnya. [] Ageng Kartika