Tinta Media - Identitas berasal dari kata identity yang artinya memiliki tanda, ciri atau jati diri yang melekat pada suatu individu, kelompok atau sesuatu yang membedakannya dengan yang lain. Identitas menurut Stella Ting Toomey merupakan refleksi diri atau cerminan diri yang berasal dari keluarga, gender, budaya, etnis dan proses sosialisasi. Identitas pada dasarnya merujuk pada refleksi dari diri kita sendiri dan persepsi orang lain terhadap diri kita.
Identitas diri di Indonesia ditandai dengan apa yang melekar dalam diririnya juga ditandai dengan kartu identitas seperti KTP, ijazah, SIM, akta lahir, paspor, visa, kartu anggota dan sejenisnya. Dalam kartu identitas biasanya tercantum data diri seperti nama, tanggal lahir, tempat asal, tempat tinggal, agama, golongan darah dan kewarganegaraan.
Sementara itu, Gardiner W. Harry dan Kosmitzki Corinne melihat identitas sebagai pendefinisian diri seseorang sebagai individu yang berbeda dalam perilaku, keyakinan dan sikap. Secara teoritis, istilah identitas ini melekat pada banyak aspek, seperti identitas seksual, identitas budaya, identitas pribadi, identitas agama, identitas ideologi, identitas politik atau identitas nasional.
Identitas pribadi merupakan karakteristik unik yang membedakannya dengan orang lain. Setiap orang mempunyai identitas pribadinya masing-masing sehingga tidak akan sama dengan identitas orang lain. Pengaruh keyakinan, budaya dan lingkungan juga turut mempengaruhi identitas pribadi seseorang.
Orang yang berasal dari budaya individualistis seperti Amerika Serikat dan Eropa Barat berusaha untuk menunjukkan perbedaan dirinya dengan orang lain. Sementara itu, orang yang berasal dari budaya kolektif cenderung menonjolkan keanggotaan mereka kepada orang lain. Identitas pribadi juga bisa diartikan sebagai aturan moral pribadi atau prinsip moral yang digunakan seseorang sebagai kerangka normatif dan panduan dalam bertindak.
Identitas agama merupakan dimensi yang penting dalam identitas seseorang. Identitas tersebut merupakan pemberian secara sosial dan budaya, bukan hasil dari pilihan individu. Hanya pada era modern, identitas agama menjadi hal yang bisa dipilih, bukan identitas yang diperoleh saat lahir. Identitas agama ditandai dengan adanya ritual yang dilakukan oleh pemeluk agama tersebut. Identitas agama juga ditandai dengan busana yang dipakai.
Sementara pengertian identitas nasional merujuk pada kebangsaan seseorang. Mayoritas dari masyarakat mengasosiasikan identitas nasional mereka dengan negara di mana mereka dilahirkan. Akan tetapi, identitas nasional dapat juga diperoleh melalui imigrasi dan naturalisasi. Identitas nasional biasanya menjadi sering diucapkan saat seseorang berada di negara lain.
Identitas diri kemudian berkembang menjadi identitas kelompok atau organisasi seperti partai dan ormas. Partai-partai yang berkembang di Indonesia selalu mengidentikan dirinya dengan tujuan mendapatkan simpati dan dukungan dari rakyat. Identitas partai misalnya partai nasionalis, partai komunis, partai agamis dan partai nasionalis religius. Identitas partai bahkan seringkali juga disematkan pada nama partainya tersebut.
Sistem pemerintahan liberal berlaku antara tahun 1949 sampai 1959 ditandai dengan tumbuhnya partai politik dan berlakunya kabinet parlementer. Beberapa partai dengan identitasnya masing-masing yang muncul pada masa itu diantaranya : Partai Nasional Indonesia (PNI), Masyumi, Nahdlatul Ulama (NU), Partai Komunis Indonesia (PKI), Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII), Partai Kristen Indonesia (Parkindo), Partai Katolik, Partai Sosialis Indonesia (PSI), Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI).
Partai lainnya adalah : Pergerakan Tarbiyah Islamiyah (Perti), Partai Rakyat Nasional (PRN), Partai Buruh, Gerakan Pembela Panca Sila (GPPS), Partai Rakyat Indonesia (PRI), Persatuan Pegawai Polisi RI (P3RI), Murba, Baperki, Persatuan Indonesia Raya (PIR) Wongsonegoro, Grinda, Persatuan Rakyat Marhaen Indonesia (Permai), Persatuan Daya (PD), PIR Hazairin 114.644 0,30 1 23. Partai Politik Tarikat Islam (PPTI), AKUI, Persatuan Rakyat Desa (PRD), Partai Republik Indonesia Merdeka (PRIM) dan Angkatan Comunis Muda (Acoma).
Semua partai tentu saja memiliki identitas, tidak mungkin partai tak memilikinya. Sebenarnya secara filosofis istilah identitas politik dengan politik identitas itu sama, yakni bahwa politik itu membawa identitas tertentu. Sementara menurut Agnes Heller mendefinsikan, politik identitas sebagai gerakan politik yang fokus perhatiannya adalah perbedaan sebagai suatu kategori politik yang utama. Sedangkan, pakar politik dari Universitas Duke, Donald L Morowitz (1999), mendefinisikan politik identitas adalah pemberian garis tegas untuk menentukan siapa yang akan disertakan dan siapa yang akan ditolak.
Karena garis-garis penentuan tersebut tampat tidak dapat diubah, maka status sebagai anggota dan bukan anggota akan bersifat permanen. Baik Agnes Heller dan Donald L Morowitz memerlihatkan sebuah benang merah dari politik identitas yang dimaknai sebagai politik perbedaan. Kemala Chandakirana (1999) dalam artikelnya Geertz dan Masalah Kesukuan mengatakan, politik identitas biasanya digunakan oleh para pemimpin sebagai sebuah retorika politik. Singkatnya, politik identitas sekadar dijadikan alat untuk memanipulasi dan menggalang politik guna memenuhi kepentingan ekonomi dan politiknya (Muhtar Haboddin: 2012). Dengan demikian, pada asalnya, kata politik identitas masih bersifat umum.
Wikipedia memaknai politik identitas sebagai sebuah alat politik suatu kelompok seperti etnis, suku, budaya, agama atau yang lainnya untuk tujuan tertentu, misalnya sebagai bentuk perlawanan atau sebagai alat untuk menunjukan jati diri suatu kelompok tersebut. Identitas dipolitisasi melalui interpretasi secara ekstrim, yang bertujuan untuk mendapat dukungan dari orang-orang yang merasa 'sama', baik secara ras, etnisitas, agama, maupun elemen perekat lainnya.
Jelang Pemilu 2024 yang lalu, Presiden Jokowi di Pidato Kenegaraannya pada 16 Agustus lalu, di Gedung DPR/MPR RI mengingatkan agar tidak ada kampanye yang menggunakan politik identitas, karena dapat memperuncing polarisasi yang telah ada. Nah ungkapan ini tentu saja akan menjadi masalah karena terbaca lebih tendensius politis dibandingkan normatif intelektual.
Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo dalam pernyataannya di media massa pada 7 Agustus 2022, menyatakan agar masyarakat waspada terhadap pihak-pihak yang menggunakan politik identitas dalam kampanye politiknya di Pemilu 2024. Kapolri Listyo juga menyatakan perpecahan atau polarisasi akibat politik identitas pada Pemilu 2019 telah terjadi di mana-mana. Bahkan, sampai saat ini suasana tersebut masih ada.
Merebaknya Politik Identitas, Tantangan Demokrasi. Demikian salah satu kesimpulan Direktorat Pengkajian Ideologi dan Politik Kedeputian Pengkajian Strategik Lemhannas RI dalam Focus Group Discussion (FGD). FGD tersebut berisi tentang kajian strategik jangka panjang dengan judul, “Pengaruh Politik Identitas Terhadap Demokrasi di Indonesia”. Diselenggarakan pada Rabu (03/03/21).
“Kehidupan bangsa Indonesia menghadapi tantangan. Salah satunya adalah merebaknya politik identitas,” kata Deputi Pengkajian Strategik Prof. Dr. Ir. Reni Mayerni, M.P. Politik identitas yang merebak adalah adanya sikap yang mengedepankan golongan atau simbol tertentu guna mendapatkan pengaruh politik.
Pada tanggal 15 Juli 2022 lalu, Gerakan Nasional Anti Islamofobia (GNAI) dideklarasikan sejumlah tokoh dan aktivis lintas ormas Islam, di Aula Buya Hamka Masjid Al-Azhar. Gerakan ini untuk melawan isu Islamofobia di dunia yang digambarkan media Barat. Senada dengan itu 15 Maret 2022 dicanangkan sebagai hari anti-Islamofobia oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Apa respon orang-orang yang selama ini menuding umat Islam sebagai menggunakan politik identitas? “Isu Islamofobia itu merupakan politik identitas baru kadrun,” ujar salah seorang yang tampaknya mengidap islamofobia.
Karena itu wajar belaka apabila sebagian masyarakat memandang bahwa tuduhan politik identitas itu hanya ditujukan kepada umat Islam yang memperjuangkan ajaran agamanya. Nyaris tak terdengar tudingan ‘politik identitas’ yang bernada menyudutkan pihak selain Islam. “Kalau jujur, bukankah orang-orang yang menyerukan nasionalisme itu menggunakan politik identitas? Identitas kebangsaan? Bukankah orang-orang yang menyerukan ‘jangan bawa-bawa Islam ke politik’, bahkan non-Muslim memakai peci datang ke pesantren-pesantren menjelang pemilihan umum, Itu politik identitas?.
Bukankah tudingan kepada orang lain menggunakan politik identitas merupakan politik identitas yang digunakan oleh si penuduh itu? Bukankah ketika seseorang menuding pihak yang memperjuangkan syariah Islam sebagai menggunakan politik identitas sebenarnya ia sedang menggunakan politik identitas? Ya, identitasnya sekulerisme. Bukankah orang yang teriak-teriak pro wong cilik sedang memainkan politik identitas juga?
Islam adalah agama sekaligus menjadi identitas bagi seorang muslim. Islam merupakan konsepsi ideal bagi upaya penyelesaian semua permasalahan kehidupan manusia. Islam datang dari Allah yang maha sempurna dan maha mengetahui permasalahan yang dihadapi manusia. Rasulullah adalah sosok sempurna yang telah mendapat garansi dari Allah sang Pengutus. Secara normatif Islam adalah konsepsi ideal bagi upaya kebaikan kehidupan, dengan kata lain rahmatan lil alamin. Secara historis Rasulullah telah mengukir sejarah peradaban cemerlang melalui revolusi agung yang belum pernah ada catatan sejarah menyamainya.
Bagi Michael D Hart yang notabene non muslim menilai sosok Rasulullah sebagai peletak peradaban agung. Sebagaimana dinyatakan " …kesatuan tunggal yang tidak ada bandingannya dalam mempengaruhi sektor keagamaan dan duniawi secara bersamaan, merupakan hal yang mampu menjadikan Muhammad untuk layak dianggap sebagai sosok tunggal yang mempengaruhi sejarah umat manusia.."
Islam tidak anti politik. Kesempurnaan Islam justru diindikasikan oleh luasnya cakupan ajaran Islam yang meliputi semua dimensi kehidupan manusia. Keluasan cakupan dimensi Islam tidak dimiliki oleh agama apapun di dunia. Termasuk dalam kontek ini adalah masalah politik dan ketatanegaraan. Politik dalam pandangan Islam sangat berbeda dengan pandangan sekuler. Islam memandang politik sebagai bagian dari ibadah kepada Allah dalam mengurus urusan umat. Sedangkan paradigma sekuler mengganggap politik sekedar cara untuk meraih kekuasaan dengan menghalalkan cara-cara yang dilarang agama.
Islam adalah ritual, politik sekaligus peradaban. Kekuasaan adalah amanah dari Allah yang harus dipertanggungjawabkan dihadapan Allah kelak. Politik dan kekuasaan dalam Islam tidak terlepas dari dimensi spiritual sebagaimana yang terjadi di Indonesia hari ini. Sekulerisme dan liberalisme yang merasuk dalam jantung sistem ketatanegaraan negeri ini telah menyeret pada kehampaan akan nilai-nilai spiritual dalam praktek berbangsa dan bernegara. Hubungan sosiologis di negeri ini lebih banyak dilandaskan pada paradigma sosialis dibandingkan Islam. Muaranya adalah adanya saling membinasakan antar persaingan kepentingan, meskipun satu agama.
Inilah paradoks Indonesia sekaligus rendahnya tingkat intelektual bangsa ini. Mempersoalkan politik identitas hanya untuk menyasar Islam adalah sebuah kebodohan sekaligus kejahatan. Benar kata Mohammad Iqbal bahwa kebodohan adalah sebuah kejahatan. Apakah orang yang menuduh politik identitas kepada Islam artinya dia tidak punya identitas?
(Ahmad Sastra, Kota Hujan, 27/10/22 : 11.10 Wib)
Dr. Ahmad Sastra
Ketua Forum Doktor Muslim Peduli Bangsa
__________________________________________ Website : https://www.ahmadsastra.com Twitter : https://twitter.com/@ahmadsastra1 Facebook : https://facebook.com/sastraahmad FansPage: https://facebook.com/ahmadsastra76 Channel Telegram : https://t.me/ahmadsastraofficial Instagram : https://instagram.com/sastraahmad