Tinta Media - Untuk menghadapi ancaman krisis pangan, Koordinator Forum Analisis Kebijakan Strategis (FAKTA) Dr. Erwin Permana mengatakan seharusnya negara memiliki kedaulatan pangan.
“Kalau perspektif Islam yang namanya pangan itu harus memiliki kedaulatan pangan, tidak cukup hanya ketahanan pangan saja. Artinya kita harus mandiri dalam hal pangan, tidak bergantung pada negara lain,” tuturnya di acara Kajian Ekonomi Islam: Krisis Pangan Dunia, Kegagalan Kapitalisme Global, Sabtu (29/10/2022) melalui kanal Youtube Khilafah Channel Reborn.
Kalau pangan bergantung pada negara lain sama artinya menggantungkan kedaulatan pada negara lain. “Bergantung terhadap negara lain sama dengan mempersembahkan negara kita untuk dijajah negara lain,” sambung Erwin.
Erwin mengatakan krisis pangan bukan hanya terjadi di Indonesia tapi di seluruh dunia. Ia mengutip data yang dipublikasikan FAO (lembaga pangan dunia) sekitar 2,3 miliar manusia diseluruh dunia mengalami kekurangan pangan.
“Dalam satu menit ada 11 orang meninggal di seluruh dunia karena kelaparan. Kita mau bilang apa? Ini semacam senjata pemusnah masal yang menciptakan kematian setiap menit. Jadi kelaparan itu adalah senjata pemusnah masal,” bebernya.
Meski demikian, Erwin memaparkan fakta menarik, jumlah produksi sereal di dunia dibanding dengan jumlah populasi manusia selalu lebih besar. “Lahan memang tidak bertambah besar tapi manusia punya kemampuan berkreasi, memproduksi dari 1 jenis menjadi 10 jenis sereal,” jelasnya.
Fakta lain, beber Erwin, di seluruh penjuru dunia ada orang-orang yang sangat kelaparan dalam jumlah yang sangat besar, di sisi lain ada orang-orang obesitas dalam jumlah yang besar pula.
“Di seluruh penjuru dunia ada 1,46 miliar orang yang obesitas, di seluruh penjuru dunia juga ada 800,5 juta orang mengalami kelaparan yang sangat,” ungkapnya.
Erwin juga menyajikan data jumlah makanan yang terbuang per tahun mencapai 1,3 miliar ton atau senilai 1 triliun US$. “Jadi kalau misalnya makanan sisa ini ditumpuk mungkin 100 Monas itu masih kalah tinggi, saking banyaknya makanan yang terbuang,” ucapnya memberikan permisalan.
Erwin lalu menyimpulkan masalah krisis pangan dunia itu bukan karena kurangnya persediaan makanan tetapi karena buruknya distribusi makanan.
“Makanan tertumpuk pada teritorial tertentu, pada negara tertentu yaitu negara-negara maju seperti negara-negara di Amerika dan Eropa, tidak terdistribusikan ke naga-negara lain semisal Afrika. Ini kegagalan kapitalisme global,”paparnya.
Solusi
Erwin menjelaskan, dalam perspektif sistemik solusi mengatasi krisis pangan ada dua yaitu ketahanan pangan dan kedaulatan pangan. “Ketahanan pangan intinya tahan saja, pangan yang dibutuhkan dalam jumlah yang cukup, kalau kurang bisa impor, bersifat insidental. Ini perspektif kapitalis, aktif-negatif,” jelasnya.
Kalau perspektif Islam, lanjutnya, kedaulatan pangan yang sustainable, karena paradigma politiknya pengurus urusan masyarakat. Maka yang nomor satu untuk diamankan adalah berkaitan ketersediaan pangan untuk masyarakat.
“Dengan dua paradigma ini pada akhirnya Islam akan terpilih karena lebih baik dengan kedaulatan pangan yang sustainable,” simpulnya.
Erwin menjelaskan beberapa poin konsep Islam tentang pangan. Pertama, dasar kedaulatan pangan terdapat dalam al-Quran surat Al-Baqarah ayat 233 berkaitan dengan ibu yang menyusui dan Ath-Thalaq ayat 6 berkaitan suami harus menyiapkan perumahan bagi istrinya.
“Hal yang paling mendasar mulai dari ibu yang melahirkan anak itu diperhatikan, karena yang lahir itu adalah masa depan peradaban, enggak boleh manusia itu diabaikan ketika dia baru lahir. Justru penghargaan terbaik bagi manusia itu ketika baru dilahirkan. Disambut dengan cara terbaik, dipersembahkan gizi terbaik,” ungkapnya penuh takjub.
Jadi, sambung Erwin, paradigma politik pangan dalam Islam adalah paradigma dengan indikator-indikator yang sangat mikro sampai kepada level bayi yang baru lahir.
“Cukup dikatakan politik pangan itu gagal ketika ada satu bayi saja yang tidak menetek kepada ibunya karena ibunya terpaksa bekerja,” tandasnya.
Kedua, sebut Erwin, produksi pangan dalam Islam, dilakukan dengan intensifikasi dan ekstensifikasi. “Ekstensifikasi dengan menghidupkan tanah mati, tidak boleh menelantarkan tanah pertanian lebih dari tiga tahun, larangan menyewakan lahan pertanian. Pada akhirnya kepemilikan lahan itu identik dengan produksi,” terangnya.
Ketiga , lanjut Erwin, alokasi hasil pangan yang memastikan semua orang terpenuhi kebutuhannya. Kemudian konsumsi, distribusi serta pengolahan harus merata kepada tiap-tiap individu anggota masyarakat.
Terakhir, Erwin menyebut bahwa yang bertanggung jawab dalam kedaulatan pangan ada tiga pihak.”Rumah tangga, komunitas masyarakat dan juga negara,”pungkasnya.[] Irianti Aminatun.