Tinta Media - Pemberian gelar Doktor Honoris Causa kepada kepala Staf Kepresidenan Moeldoko menuai kecaman. Moeldoko menerima gelar Doktor Kehormatan di bidang Manajemen Strategi Pembangunan Sumber Daya Manusia. Kecaman ini disampaikan oleh mahasiswa melalui demonstrasi di Universitas Negeri Semarang (UNNES), menyusul upacara pemberian gelar yang diselenggarakan di Auditorium UNNES. Protes mahasiswa ini merupakan reaksi atas pemberian gelar kehormatan yang dikeluarkan UNNES kepada sejumlah pejabat (Nasional Tempo, 25/ 10/ 2022).
Sebelumnya, nama Nurdin Halid dan Airlangga Hartanto telah muncul sebagai salah satu Politisi yang menerima gelar kehormatan. Mahasiswa menilai bahwa para pejabat dan politisi yang mendapat gelar kehormatan tidak memberikan kontribusi atau jasa sepadan bagi kemajuan masyarakat. Akibatnya, Kemendikbud Ristek Dikti diminta untuk mengkaji seluruh penganugerahan yang pernah diberikan UNNES kepada para pejabat dan beberapa tokoh (CNN Indonesia, 22/10/2022).
Sarat Kepentingan Politik
Merujuk pada pasal 1 Permenristekdikti 65/2012, gelar Doktor Kehormatan (Doctor Honoris Causa) adalah gelar yang diberikan perguruan tinggi yang memiliki program doktor dengan peringkat terakreditasi A atau unggul kepada perseorangan yang layak memperoleh penghargaan berkaitan dengan jasa dan ilmu pengetahuan yang luar biasa, serta kemanusiaan.
Kontroversi di balik pemberian gelar honoris causa mengindikasikan kuatnya politik kepentingan. Pasalnya, ada banyak langkah yang harus ditempuh saat seseorang hendak dinobatkan sebagai penerima gelar kehormatan, terutama persetujuan beberapa pihak yang berwenang.
Dugaan terkait kesepakatan dan perjanjian yang bersifat politis pun sangat berpotensi terjadi. Terlebih lagi, jika gelar tersebut diberikan kepada individu dari kalangan pejabat negara atau orang penting dari partai politik. Belum lagi jika dibandingkan dengan perjuangan mahasiswa doktoral yang mengenyam pendidikan reguler sampai akhirnya mampu meraih gelar akademik sangat menunjukan kesenjangan.
Pengaruh Islam Tak Hanya Pemberian Gelar
Dalam sistem demokrasi hari ini, gelar doktor yang melekat pada politikus sampai dengan pejabat, dinilai tidak sepadan dengan ‘prestasi’ keilmuan yang dihasilkan. Sementara dalam Islam, gelar kehormatan tidak menjadi orientasi utama seorang muslim.
Capaian pendidikan di institusi universitas mengarah pada signifikansi perubahan masyarakat, serta bagaimana temuan mereka dapat benar-benar bermanfaat memecahkan masalah hidup manusia.
Tengok saja sejumlah temuan karya umat Islam yang bahkan masih digunakan dalam ilmu pengetahuan modern hari ini. Semuanya berpengaruh mengubah kehidupan manusia. Sumbangan mereka terhadap ilmu pengetahuan bisa dikatakan sebagai jasa yang tidak ternilai. Misalnya saja, Ibnu Sina yang dinoatkan sebagai “Father of Doctor”, yang juga berkontribusi dalam penemuan manfaat etanol dan teori penularan TBC. Ada juga Al-Zahrawi melalui karyanya dalam bidang kedokteran, seperti Al-Tasrif. Di bidang yang lain, kita juga mengenal Al-khawarizmi. Ada juga Al-Jabar yang terkenal di bidang matematika dan masih banyak yang lain.
Ilmuwan muslim di masa Islam tak segan-segan untuk menghabiskan waktu mereka dalam menggali ilmu. Dorongan mereka ini juga tidak terlepas dari konsep pahala, karena kesadaran mereka tentang amal jariyah bagi kehidupan akhirat jauh lebih besar dari sekadar gelar duniawi.
Peran negara dalam Islam juga begitu besar dalam memfasilitasi proyek untuk pengembangan ilmu pengetahuan, seperti yang pernah dilakukan oleh Khalifah Ja’far Abdullah Ibn Muhammad Al-Mansur (Khalifah kedua Abbasiyah) yang telah mengalokasikan dana sangat besar untuk proyek penerjemahan karya astronomi dari periode klasik (Yunani-Romawi). Negara juga memberikan kesejahteraan lebih dari sekadar pemberian gelar. Maka dari itu, praktik-praktik kepentingan jahat yang mengatasnamakan ilmu dapat diminimalisir.
Oleh: Hurul Aini
Sahabat Tinta Media