Feminisme, Bisakah Menjadi Solusi Fatherless? - Tinta Media

Jumat, 18 November 2022

Feminisme, Bisakah Menjadi Solusi Fatherless?

Tinta Media - Hari ayah telah berlalu. Saat Indonesia masih bertahan di peringkat ketiga negara fatherless di dunia, kita justru diramaikan dengan berita tentang seorang suami yang tega membunuh istri dan anak kandungnya di Depok. Ada juga berita tentang suami di Serang yang menyiksa istrinya. Di Kalimantan, seorang suami menganiaya istrinya, dan masih banyak yang lain. 

Hari demi hari, peran ayah atau suami sebagai sosok yang seharusnya melindungi, mengayomi anak dan istri, semakin luntur. Kita tidak berharap peran ayah benar-benar hilang di negeri ini.

Kapitalisme Penyebabnya

Kasus-kasus penyiksaan yang dilakukan oleh seorang ayah kepada keluarganya seringkali disebabkan karena permasalahan ekonomi. Misalnya, tersinggung karena dilecehkan penghasilannya oleh anak dan istri. Tuntutan kehidupan yang semakin mengimpit juga bisa menjadi pemicu para ayah gelap mata.

Ibu yang juga harus bekerja memenuhi kebutuhan keluarga menjadikan suasana rumah tidak berjalan normal. Ini karena ia harus berperan ganda. Suami dan istri berjibaku mencari uang, sehingga masing-masing tidak optimal dalam menjalankan perannya.

Naiknya harga barang dan jasa karena inflasi yang kerap terjadi di sistem kapitalisme semakin menambah beban berat pada keluarga. Sementara, pemerintah tak mau tahu imbas dari Kebijakannya. Mereka tetap menaikkan harga BBM, pajak, iuran BPJS, dll. 

Setiap warga negara harus bertanggung jawab atas kehidupannya masing-masing. Biaya pendidikan dari tingkat dasar hingga perguruan tinggi semakin mahal. Hampir semua subsidi dicabut pemerintah, dengan alasan APBN sudah terlalu berat, meskipun menjelang akhir tahun masih tersisa 40 persen yang belum terserap.

Sumber daya alam negeri ini sudah habis terkuras oleh para kapitalis. Individu-individu menguasai sumber daya alam dan hajat hidup rakyat. Mereka memiliki ladang minyak, hutan, bahkan lautan. Sementara itu, rakyat secara keseluruhan yang seharusnya merupakan pemilik sumber daya alam tersebut, harus memeras keringat, membanting tulang untuk memenuhi kebutuhannya. Semua itu karena sistem kapitalisme.

Keluarga Indonesia adalah keluarga pejuang nafkah. Ayah dan ibu dituntut kuat lahir dan batin untuk memenuhi segala kebutuhan keluarga. Apalagi, tuntutan kehidupan kapitalis yang menilai segala hal dari materi, termasuk kebahagiaan. Mereka berpikir bahwa segalanya akan selesai dengan materi dan bermuara pada materi. Kehidupan akan berputar-putar di lingkaran itu. Padahal, faktanya kesejahteraan semakin jauh untuk diraih, keharmonisan keluarga apalagi.

Bila kalangan feminis menilai bahwa peran ayah akan optimal dengan kesetaraan gender, jelas hanyalah ilusi. Kesetaraan antara laki-laki dan perempuan sudah kita saksikan di semua profesi, baik di kalangan ekonomi atas, menengah, bahkan di bawahnya. Laki-laki keluar rumah untuk mencari nafkah, perempuan pun begitu. Pekerjaan yang dulu jarang dilakukan oleh perempuan, sekarang justru sebaliknya. Perempuan sekarang bisa menjadi buruh pemecah batu, tukang becak, pengendara ojek online, bodyguard, rektor, dll.

Kalau kaum feminis terus menuntut kesetaraan, jelas ada 'udang di balik rempeyek'. UU-PKDRT, UU- TPKS tidak pernah menjadi solusi kekerasan dalam rumah tangga. Dampaknya, perempuan mengadopsi pemikiran liberal dari undang-undang ini. Tak ada lagi standar hukum syara' bagi para perempuan. Baik dan buruk hanya dinilai oleh kaum feminis berdasarkan sesuai yang nampak di permukaan.

Islam Solusi

Keharmonisan keluarga, sangat dipengaruhi optimalnya peran ayah dan ibu. Jiks masing-masing menjalankan perannya dengan penuh kesadaran dan tanggung jawab, maka keharmonisan akan terwujud. Jadi, bukan karena tuntutan kesetaraan. Ayah yang penuh tanggung jawab akan melindungi dan memenuhi hak nafkah keluarga. Ibu pun optimal dalam menjalankan perannya sebagai istri dan manajer keluarga. Kalaupun dia bekerja, bukan karena tuntutan hidup materialisme yang semakin menggila, tetapi karena masyarakat membutuhkan perannya.

Sosok ayah telah dicontohkan secara sempurna oleh Rasulullah saw.. Dalam sebuah hadis, Rasulullah memberi kriteria bahwa sosok yang paling baik, adalah yang paling baik kepada keluarganya. Rasulullah menunjukkan bahwa beliau adalah seorang laki-laki yang paling baik kepada keluarga beliau. Bukan karena tuntutan kesetaraan, tetapi karena ketaatan kepada Allah untuk mendapatkan rida-Nya.

Kehidupan keluarga Rasulullah adalah keluarga yang harmonis. Tak ada teriakan, apalagi penganiayaan. Yang terdengar adalah panggilan sayang Rasulullah kepada para istri beliau. Cucu-cucu beliau pun nyaman bermain bersama kakeknya.

Penerapan Islam dalam semua aspek kehidupan menjadi faktor penting terbentuknya sosok ayah yang bertanggung-jawab. Sistem ekonomi Islam akan menjamin dan mendorong para ayah optimal dalam mencari nafkah. Kesejahteraan keluarga ditopang oleh terpenuhinya hak warga negara dalam hal pendidikan, kesehatan, juga keamanan oleh negara. 

Dalam syariat, negara memperoleh kekayaannya dari sumber daya alam dan sumber yang lainnya untuk mengurusi rakyat. Negara akan mampu memenuhi semua kebutuhan rakyatnya.

Bila seorang ayah lalai menjalankan tugasnya, akan ada hukuman dari negara berupa takzir. Bila ayah melakukan jarimah atau kejahatan kepada keluarganya, maka hukuman hudud dan jinayat akan berlaku baginya.

Sungguh tidak sulit bagi kita membuktikan keharmonisan keluarga dalam kehidupan Islam. Generasi-generasi penakluk, generasi-generasi yang memberikan sumbangan bagi peradaban manusia tidak lahir dari keluarga yang tidak mengerti arah hidup. Ada ayah dan ibu yang menanamkan cita-cita mulia kepada mereka. Dengan begitu, tak ada pilihan lain bagi kita kecuali Islam dengan penerapannya secara kaffah.

Oleh: Khamsiyatil Fajriyah
Pengajar Ponpes Nibrosul Ulum

Rekomendasi Untuk Anda × +

Bagikan artikel ini

Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini.

Artikel Menarik Lainnya :