FATHERLESS - Tinta Media

Kamis, 17 November 2022

FATHERLESS

Tinta Media - Bisa saja karena memang Yatim, ditinggal wafat sang ayah. Namun fenomena ini bukan itu fokus nya. Fatherless adalah yatim tapi ga yatim. 

Ayah ada, namun fungsi sosok ayah pupus, dan bahkan tidak ada. Ayah memang ada, namun terjadi KDRT atas anak dan istrinya. 

Akibatnya, anak laki-laki tidak mendapatkan figur kepemimpinan dan sulit baginya jadi pemimpin kelak. 

Sikap tegas dan memberikan keputusan saja selalu galau dan terasa sulit. 

Bahkan tidak jarang anak laki-laki benci dengan ayah nya. Lalu mencari "ayah" lain yang tidak jarang justru menjerumuskan nya. 

Bagi anak perempuan. Persoalan fatherless menjadikannya pemurung, kurang pede, dan juga mencari sosok ayah di luar. Tidak sedikit jatuh pada "pelukan" laki-laki tak bertanggung jawab.

Kenapa ini terjadi? *Pertama*, Bisa jadi karena sang ayah tidak faham, tidak mengerti, bahwa seolah fungsi seorang ayah hanya mencari nafkah. Dan ibu mengurusi dan mendidik anak. 

Memang benar bahwa dalam satu hal, ada fokus peran yang berbeda antara ibu dan ayah. Ayah wajib mencari nafkah, sedangkan ibu tidak wajib, mubah. 

Tetapi persoalan nya adalah masalah mendidik anak, dan fungsi ayah sebagai qawwam dalam rumah tangga. 

Apa pun seorang ayah adalah kepala keluarga, nahkoda dalam mengarungi bahtera rumah tangga; yang dia memiliki tanggung jawab penuh atas seluruh penumpang kapal nya, anak dan istri nya. 

Firman Allah: 
(یَـٰۤأَیُّهَا ٱلَّذِینَ ءَامَنُوا۟ قُوۤا۟ أَنفُسَكُمۡ وَأَهۡلِیكُمۡ نَارࣰا)
[Surat At-Tahrim 6]

Seruan ayat ini adalah bagi seorang ayah sebagai kepala keluarga. Agar dia menjauhkan dirinya dan keluarganya dari jilatan api neraka. 

Demikian pula mendidik anak, ada irisan kebersamaan tanggung jawab antara ayah dan ibu. 

Rasul Saw bersabda: 

كُلُّ مَوْلُودٍ يُولَدُ عَلَى الفِطْرَةِ ، فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ ، أَوْ يُنَصِّرَانِهِ ، أَوْ يُمَجِّسَانِهِ .
"Setiap anak terlahir dalam keadaan Fitrah, maka ke-dua orang tua nya lah (ayah dan ibu) yang menjadikan ia Yahudi, Nashrani, atau Majusi." (HR. Bukhari). 

*Kedua*, faktor lingkungan dan sistem Kapitalisme yang menjadikan seorang ayah "dipaksa" berjibaku mencari nafkah, siang dan malam. Itu pun masih kurang. Sehingga waktunya habis dan tidak sempat mendidik dan memberikan perhatian penuh pada anak-anak nya. Padahal dia faham bahwa dia juga punya kewajiban mendidik anak-anak nya. 

Dan yang *ketiga*, minim nya Ilmu yang dimiliki oleh ayah (dan ibu) untuk mendidik dan membimbing anak dan istri nya dengan cara-cara yang Islami. Sang ayah sudah faham akan penting nya mendidik dan dekat pada anak. 

Saat awal berumah tangga, sama sama baru hijrah. Sang ayah boro-boro jadi qawaam, jadi imam dengan ayat Qulya-Qulhu saja gemetaran. 

Solusi atas ketiga faktor di atas adalah, tidak ada jalan lain kecuali serius bagi seorang ayah (dan ibu) untuk membenahi ilmu dan pemahaman. Ngaji serius. Halqah murakkazah. Pembinaan Intensif. 

Dan terus bersama dengan komunitas ayah, orang-orang yang terus menginginkan kebaikan dalam keluarga dan masyarakat.

Bersama-sama secara serius dengan pengemban dakwah Islam. Insya Allah []

Oleh: H. Luthfi H.
Tabayyun Center 


Rekomendasi Untuk Anda × +

Bagikan artikel ini

Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini.

Artikel Menarik Lainnya :