Empati yang Tak Menarik Simpati - Tinta Media

Jumat, 11 November 2022

Empati yang Tak Menarik Simpati

Tinta Media - Kematian ratusan peserta pesta halloween menyentak dunia, tak terkecuali pemimpin negeri ini.

Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo atau Jokowi menyampaikan ungkapan duka cita yang mendalam atas peristiwa tewasnya ratusan orang saat merayakan pesta Halloween di Itaewon, Seoul, Korea Selatan. Jokowi merasa sangat sedih begitu mengetahui ratusan korban jiwa melayang saat merayakan Halloween. "Deeply saddened to learn about the tragic stampede in Seoul," kata Presiden Jokowi dalam akun twitter resminya, Minggu 30 Oktober 2022. Viva.co.id 

Tak ada yang salah dalam ucapan bela sungkawa. Namun,  ucapan seorang pemimpin seperti itu lebih layak ditujukan untuk permasalahan yang membelit negeri ini. Faktanya, berbagai kesedihan dan kesusahan rakyat belum menjadi perhatian penting. Namun ungkapan simpati itu justru cepat disampaikan buat masyarakat negara lain.

Empati dan simpati itu juga seharusnya untuk tragedi Kanjuruhan yang sampai saat ini belum tuntas, termasuk siapa yang bertanggung jawab atas hal tersebut. Masyarakat, terutama keluarga korban ingin tahu penyebab kematian ratusan jiwa yang sia-sia. Mereka juga bertanya-tanya, mengapa aparat sampai menembakan gas air mata?

Empati dan simpati dari presiden dan pihak yang terkait itu mestinya direalisasikan dengan segera mengusut tuntas pihak yang bertanggung jawab atas tragedi tersebut, tidak membiarkan masyarakat berasumsi sendiri, sehingga menambah ketidakpercayaan pada aparat dalam menegakkan hukum.

Masyarakat yang selama ini sudah tidak simpati pada para pemimpin dan penegak hukum, bisa jadi akan mencari jalan lain dalam menyelesaikan masalah. Dengan berlarut-larutnya penanganan perkara, ada kesan tragedi didesain untuk mengalihkan perhatian masyarakat tentang berbagai kegagalan  pemimpin mengatur negeri ini. 

Berbeda halnya dengan sistem lslam. Pemimpin selalu peduli serta empati pada rakyat, baik dalam kondisi normal, terlebih ketika terjadi tragedi. Hal ini karena pemimpin adalah pelindung dan penanggung jawab urusan masyarakat.
Rasulullah saw. dengan sabdanya:
«ÙƒُÙ„ُّÙƒُÙ…ْ رَاعٍ ÙˆَÙƒُÙ„ُّÙƒُÙ…ْ Ù…َسْؤُÙˆْÙ„ٌ عَÙ†ْ رَعِÙŠَّتِÙ‡ِ»
“Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya”. (HR. Bukhari).

Para pemimpin akan bertindak cepat mengusut perkara yang menimpa rakyat, terlebih jika menyangkut nyawa. Dalam Islam, perkara nyawa adalah sesuatu yang besar. Hilangnya satu nyawa bagaikan menghilangkan semua nyawa manusia di bumi ini.

Penghilangan nyawa bisa di sebut pembunuhan. Pembunuhan  ada 4 macam, yaitu:

Pertama, pembunuhan yang disengaja, yaitu ada rencana dan dengan memakai alat yang mematikan. Hukuman bagi pelaku adalah wajib atasnya qishas, yaitu membunuh pelaku karena perbuatannya. Jika keluarga korban memaafkan, maka ada diyat yang harus diserahkan kepada walinya.

Sebagaimana Firman Allah Swt. dalam surat al-Baqarah 179: 

“Diwajibkan atas kamu qishash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh.”

Dari Tirmidzi, dari Amru bin Syu’aib, dari bapaknya, dari kakeknya, bahwa Rasulullah saw. bersabda: 

“Barang siapa yang membunuh dengan sengaja, maka keputusannya diserahkan kepada wali-wali pihak terbunuh. Mereka berhak membunuh, atau mengambil diyat, yakni 30 unta dewasa, 30 unta muda (jadza’ah) dan 40 unta yang sedang bunting, dan mereka juga berhak memaafkannya.”

Kedua, pembunuhan yang miÅ•ip disengaja adalàh pembunuhan yang disengaja, tetapi menggunakan alat yang pada umumnya tidak bisa membunuh. Bisa jadi maksudnya hanya menyakiti, memberi pelajaran, menyiksa dan lain-lain, tetapi melampaui batas. Seperti memukul dengan cambuk, tangan, kaki, tongkat dan lain-lain yang umumnya tidak mematikan. 

Hukum pembunuhan yang mirip disengaja diyatnya sangat berat, yakni 100 ekor unta dan 40 ekor di antaranya sedang bunting.

Dari Abdullah bin Amr, bahwa Rasulullah saw. bersabda:

“Perhatikan, orang yang terbunuh secara mirip disengaja, terbunuh karena cambuk atau tongkat, maka diyatnyan 100 ekor unta dan 40 ekor di antaranya sedang bunting. “(HR. Bukhari).

Ketiga, pembunuhan tidak disengaja ada dua bentuk. Pertama, menembak binatang mengenai seseorang dan terbunuh, memundurkan mobil lalu menabrak seseorang hingga mati, dan lain-lain. 

Hukuman terhadap pelakunya adalah menyerahkan diyat kepada wali korban sebesar 100 ekor unta dan harus membayar kafarat dengan membebaskan budak. Jika tidak menjumpai budak, maka ia harus berpuasa 2 bulan secara berturut-turut.

Kedua, pelaku membunuh seseorang di negeri kafir harbiy (negera kafir yang memerangi umat lslam), tetapi orang yang ia bunuh adalah muslim. Namun, korban menyembunyikan keislamannya. Hukum bagi pelaku adalah ia hanya wajib membayar kafarat saja, dan tidak wajib membayar diyat.

Sebagaimana yang terdapat dalam Qur’an surat an-Nisa 92:

“Jika ia (si terbunuh) dari kaum yang memusuhimu, padahal ia mukmin, maka (hendaknya si pembunuh) memerdekakan hamba-hamba yang mukmin.”

Keempat, pembunuhan yang terjadi karena ketidaksengajaan, yaitu jika seseorang melakukan suatu perbuatan tanpa ia kehendaki, tetapi perbuatannya menyebabkan terbunuhnya seseorang. Misalnya, seseorang jatuh lalu menimpa orang lain hingga mati, bermain-main senjata lalu mengenai orang hingga mati, rusaknya mesin mobil hingga menabrak orang lalu mati, dan lain-lain. 

Jenis pembunuhan ini mirip dengan pembunuhan tidak disengaja jenis pertama. Kemiripan dua model ini sangat jelas, yaitu pembunuhan tidak disengaja terjadi pada perbuatan yang dikehendaki oleh pelaku. Akan tapi, apa yang diakibatkan dari perbuatannya tidak sesuai dengan kehendaknya. 

Adapun pembunuhan yang terjadi karena ketidaksengajaan, tidak ada kehendak dari pelakunya secara mutlak, juga terhadap apa yang diakibatkan dari perbuatannya itu. Oleh karena itu, ia tidak dibunuh, karena ia melakukan pembunuhan yang tidak disengaja, tapi masuk pada kategori melakukan pembunuhan yang terjadi karena ketidaksenggajaan.

Hukum pembunuhan semacam ini adalah wajib membayar diyat 100 ekor unta dan wajib membayar kafarat dengan membebaskan budak. Jika ia tidak mendapatkan budak, wajib berpuasa selama dua bulan berturut-turut. (Nidzam al-Uqubat, Abdurrahman al-Maliki hal 139-162).

Hukuman yang diberlakukan bertujuan untuk mencegah manusia untuk melakukan hal yang sama/jawazir, serta menebus adzab di akhirat kelak/jawabir karena hukuman yang sesuai syariat telah dilaksanakan di dunia. 

Pasti masyarakat akan simpati pada pemimpin yang menjalankan  keadilan Islam sekaligus membuktikan bahwa hanya hukum lslam yang memuaskan akal dan menentramkan jiwa manusia.
Allahu a’lam

Oleh: Umi Hanif 
Sahabat Tinta Media

Rekomendasi Untuk Anda × +

Bagikan artikel ini

Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini.

Artikel Menarik Lainnya :