Tinta Media - Pengamat Kebijakan Publik Dr. Erwin Permana mengatakan percepatan signifikan Cina dalam hal investasi perlu dicermati.
“Dalam lima tahun terakhir, terjadi percepatan signifikan atau lompatan investasi yang dilakukan Cina terhadap Indonesia. Hal ini perlu dicermati karena ada hal yang tidak biasa sehingga harus diwaspadai. Terlebih Cina tidak berhenti dengan program strategisnya, yaitu Belt Road Initiatives (BRI),” ungkapnya dalam Kajian Ekonomi Islam: Plus Minus Investasi Cina di kanal Khilafah Channel Reborn, Sabtu (12/11/2022).
Ia menjelaskan plus minus penanaman modal asing ini, khususnya yang berasal dari Cina. “Ada beberapa nilai plus, antara lain pertama, sumber dana modal asing bermanfaat untuk akselerasi pertumbuhan ekonomi yang akan meningkatkan kesejahteraan,” ujarnya.
Kedua, sebutnya, modal asing dapat berperan penting dalam penggunaan dana untuk perbaikan struktural agar menjadi lebih baik lagi, contohnya, dari ekonomi agraris menjadi ekonomi industri, kemudian ekonomi digital yang membutuhkan skill dan modal.
“Ketiga, membantu proses alih teknologi dan industrialisasi yang sedang dilaksanakan. Ini karena memanfaatkan teknologi akan memberikan efisiensi perekonomian,” ucapnya.
Keempat, lanjutnya, membantu penyerapan tenaga kerja lebih banyak sehingga mampu mengurangi pengangguran karena dengan investasi akan ada ekspansi usaha dan pembukaan lapangan kerja baru.
“Kelima, mampu meningkatkan kesejahteraan pada masyarakat karena dengan investasi akan meningkatkan perputaran uang yang akan memutar ekonomi,” katanya.
Keenam, jelasnya, bisa menjadi acuan agar ekonomi Indonesia lebih baik lagi dari sebelumnya karena salah satu indikator yang menjadi acuan adalah investasi, makin besar atau tidak.
“Ketujuh, menambah cadangan devisa negara dengan pajak yang diberikan oleh penanam modal. Dengan adanya usaha baru, maka ada pajak yang dihasilkan,” ungkapnya.
Berbahaya
Erwin juga menyebutkan ada beberapa nilai minus, bahkan berbahaya, di antaranya pertama terdapat syarat-syarat dalam dana investasi yang menguntungkan Cina, yaitu kewajiban menggunakan material dan TKA dari Cina.
“Inilah kesepakatan yang harus berjalan sehingga terjadi peningkatan jumlah TKA di Indonesia. Investasi Cina telah meningkat 70% dengan jumlah TKA-nya meningkat 125%. Jadi jumlah tenaga kerjanya lebih banyak daripada uang yang diinvestasikan. Ini syarat yang berbahaya,” tegasnya.
Kedua, jelas Erwin, potensi hilangnya kedaulatan ekonomi dan politik dari negara debitur, seperti Indonesia. “Pada akhirnya, kebijakan ekonomi dan politik kita akan disetir Cina. Bukan tidak mungkin dalam waktu dekat, mata uang Indonesia akan bersandar pada yuan,” kritiknya.
“Ketiga, terdapat potensi mudarat atau dharar (berbahaya), seperti bahaya ideologi komunisme yang dianut Cina. Komunisme ini ateis atau anti ketuhanan, padahal Indonesia merupakan negara mayoritas muslim yang sangat berketuhanan. Jika mereka sebagai investor, maka kita akan disetir. Pernah suatu parpol mengusulkan UU Haluan Ideologi Pancasila (HIP) yang sangat kental dengan komunisme karena ada track record hubungan antara partai ini dengan Cina. Akibatnya, kepentingan Cina disusupkan melalui parpol, birokrat, aparat kepolisian, bahkan tentara,” bebernya.
Bahaya selanjutnya masih menurut Erwin adalah bahaya ekonomi, yaitu defisit neraca perdagangan. “Saat berdagang dengan Cina, kita tidak mungkin untung karena harga barang di Cina jauh lebih murah. Yang terjadi adalah defisit perdagangan dan barang Cina membanjiri Indonesia,” jelasnya.
Bahaya lain, cetus Erwin, terjadi bahaya budaya, seperti seks bebas. “Di Cina, budaya seks bebasnya luar biasa. Bagi mereka lumrah, tetapi bagi kita, tidak. Ketika pertukaran pelajar, misalnya, akan terjadi akulturasi budaya, salah satunya seks bebas,” ulasnya.
Erwin juga menunjukkan adanya bahaya kerusakan lingkungan atau ancaman bencana pada lokasi infrastruktur.
“Salah satu penerapan investasi asing adalah menomorduakan AMDAL, bahkan tidak diperlukan AMDAL, sebagaimana tercantum dalam UU Omnibus Law. Dalam perspektif kapitalisme, AMDAL ini menghalangi investasi karena untuk melakukan analisis atau kajian membutuhkan modal awal terlebih dahulu. Kalau AMDAL menghalangi dan membuat investor tidak tertarik, maka singkirkan. Ini mengerikan. Siapa yang menanggung kalau lingkungan rusak? Kita,” tegasnya.
Selain itu, menurutnya, ada bahaya konflik sosial pada lokasi pembangunan infrastruktur, seperti konflik saat pembebasan lahan. “Apa hebatnya melakukan pembangunan, tetapi mengusir warga tanpa kejelasan, bahkan sampai meninggal? Ini kezaliman,” kesalnya.
Sekularisasi Muslim
Erwin memaparkan bahaya lainnya dengan mengutip Wikileaks (2013) bahwa Cina berencana melakukan sekularisasi pada muslim Indonesia.
“Mengapa? Karena mereka paham betul, yang bisa menghalangi investasi tersebut adalah saat muslim memahami agamanya dengan sempurna dan berpegang teguh dengannya. Bagaimana caranya? Melakukan interaksi atau kerja sama antara muslim Indonesia dengan muslim Cina yang sekuler. Bagi Cina, muslim yang sekuler itu bagus. Selain itu, dilakukan pelemahan TNI. Kalau TNI kuat, akan menghalangi investasi Cina,” urainya.
Erwin menilai, hal-hal yang dilakukan Cina mirip dengan Amerika yang memiliki serangkaian strategi dalam RAND Corporation, yakni membagi muslim menjadi empat kelompok (radikal, liberal, modernis, tradisionalis).
“Mereka menjadikan muslim yang berpegang teguh pada agamanya sebagai musuh bersama. Kemudian melakukan persekusi atau penolakan terhadap ajarannya, seperti jihad, Khilafah, hijab, dan sebagainya,” ujarnya.
Ia mengingatkan, itulah tujuan Cina, apalagi saat ini Cina sebagai investor kedua terbesar di Indonesia.
“Apalagi, Cina memiliki proyek luar biasa besar, yaitu BRI yang melintasi 3 benua (asia, Eropa, Afrika) dan 3/4 sumber energi dengan target 4,4 miliar populasi di 67 negara sehingga mewakili 63% total populasi global. Banyak negara yang sudah terperangkap utang dalam proyek BRI tersebut,” jabarnya.
Meskipun demikian, Erwin menyatakan, investasi asing dapat dilakukan dengan catatan semua persyaratan yang merugikan, dihapus.
“Utang kepada negara yang membantai kaum muslim, seperti Cina, wajib ditolak. Kemudian perlu memahamkan umat untuk selalu waspada dengan investasi asing dan utang. Juga melakukan amar makruf nahi mungkar terhadap berbagai kemungkaran yang sangat berbahaya akibat investasi asing,” pungkasnya. [] Irianti Aminatun