Tinta Media - Salah satu sebab keengganan atau kesulitan umat untuk mengkaji sistem Khilafah sebagai sebuah sistem yang potensial direalisasikan dalam kehidupan nyata adalah karena terma Khilafah lebih banyak dibahas dari aspek tsaqofah. Maksudnya, Khilafah dipahami sebatas kewajiban yang memiliki rujukan dalil syara'.
Diskursus soal Khilafah ajaran Islam, misalnya, tema diskusinya tidak akan mungkin keluar dari aspek Khilafah sebagai Tsaqofah (pemikiran) Islam, yang memiliki dasar argumentasi syar'i. Sulit untuk beranjak pada diskursus yang bersifat siyasah (politis).
Para pengemban dakwah Khilafah juga baru sebatas mutsaqofiyun, kalau hanya menyampaikan kepada umat tentang kewajiban mendirikan Khilafah. Padahal, setelah umat paham kewajiban Khilafah, pertanyaan selanjutnya adalah, bagaimana teknis mendirikannya? bagaimana Khilafah akan menyelesaikan berbagai problematika yang mendera umat?
Di sinilah pentingnya bahasan Siyasah, bahasan soal mekanisme dan teknis mewujudkan Khilafah, soal pengaturan dukungan opini umum dan para pemangku kebijakan, meraih nusyroh hingga akhirnya Khilafah benar-benar dapat dipahami secara rinci, hingga maknanya dapat ditunjuk dengan jari, sehingga umat memiliki keyakinan untuk bersama-sama mewujudkannya.
Karena itu, seorang pengemban dakwah Khilafah tidak boleh berpuas diri sebagai pemikir dengan segudang tsaqofah. Dia, bahkan harus menyadari posisinya sebagai seorang siyasiyun (politisi). Karena itu, dia harus mengaitkan Tsaqofah yang ada dalam benaknya, dengan realitas politik yang ada di tengah-tengah umat, selanjutnya menunjuki jalan umat dengan cara MELETAKKAN GARIS LURUS DI SAMPING GARIS BENGKOK.
Dia tidak saja dituntut menguasai tsaqofah, tapi juga wajib memahami realitas politik secara rinci, dan menjelaskan langkah teknis untuk mengubah 'Das Sein' menuju 'Das Sollen'. Mengubah realita menuju idealita sejalan dengan apa yang dikehendaki syariat (tsaqofah). Tidak boleh berpuas diri dengan penguasaan dalil-dalil Khilafah, tapi buta politik dan apalagi kesemutan saat berdiskusi secara politik.
Harus pula, membiasakan diri berselancar diantara arus dan gelombang, memahami detail karakter gelombang dan angin, hingga mampu menjadikan setiap tantangan menjadi peluang, dan mengkapitalisasi setiap peluang untuk mendekatkan pada Nasrulloh dan kemenangan.
Sebagai contoh, saat menjelaskan tentang pilar-pilar negara Khilafah, dimana kedaulatan di tangan Syara', kekuasaan di tangan Umat, kewajiban kesatuan Khilafah dan hanya Khalifah yang berhak mentabbani hukum syara dalam proses legislasi perundangan.
Maka, pengemban dakwah juga harus memahami rincian konsep trias politica dalam sistem demokrasi, aplikasinya dalam bentuk lembaga eksekutif, legislatif dan yudikatif, dan merinci batilnya konsep kedaulatan rakyat dalam sistem demokrasi. Dia juga harus tahu dan mampu, menegasikan seluruh asumsi keliru yang menganggap demokrasi sejalan dengan Islam dengan menjelaskan realitasnya serta dalil-dalil yang membatalkannya.
Saat DPR melegislasi UU Minerba (Mineral dan Batubara), misalnya. Pengemban dakwah tidak hanya menjelaskan konsep kepemilikan dalam Islam yang membagi kepemilikan pribadi, kepemilikan umum dan kepemilikan negara. Lalu menjelaskan, yang meliputi kepemilikan umum adalah tambang dengan deposit melimpah. Tidak cukup sampai disitu, karena bahasan tersebut masih dalam cakupan bahasan tsaqofah. Maksudnya, tsaqofah tentang penikiran politik Islam soal pengaturan kepemilikan.
Pengemban dakwah harus masuk pada politik praktis, bahasan siyasah yang langsung berkaitan dengan realita terindera yaitu realita banyaknya tambang yang dikuasai individu, swasta, korporasi asing dan aseng, yang menguasai Minerba berdasarkan UU Minerba.
Lalu, menyerang konsep kepemilikan yang berbasis asas liberalisme dalam UU Minerba dengan konsep kepemilikan dalam Islam baik dari sisi tsaqofah maupun siyasah.
Secara tsaqofah, liberalisme diserang karena ide ini bertentangan dengan konsep keterikatan hamba pada dalil syara', bertentangan dengan konsep kepemilikan dalam Islam yang tidak dibebaskan melainkan dibagi menjadi tiga jenis.
Secara politik, konsep liberalisme diserang dari sisi secara fakta konsep ini akan menimbulkan eksploitasi, kesenjangan dan ketidakadilan. Tambang yang merupakan harta ciptaan Allah SWT, hanya menguntungkan segelintir kaum oligarki dan menyengsarakan mayoritas rakyat.
Dalam konteks Pemilu dan Pilpres, bahasannya juga harus sampai membongkar realitas siapa pun pesertanya, oligarki pemenangnya. Menjelaskan kepada umat detail kerusakan sistem demokrasi termasuk derivatnya (Pilpres dan Pemilu), sehingga Mafahim, Maqayis dan Qona'at umat segera beralih kepada Islam.
Memang benar, pada tahap awal umat akan merasa marah karena pikiran dan kemaslahatan mereka diabaikan. Namun, seiring meningkatnya pemahaman umat, umat akan segera sadar dari keyakinan mereka yang keliru sehingga segera beralih memberikan dukungan dan pembelaan pada Islam, pada Khilafah, bukan pada demokrasi.
Setiap pengemban dakwah harus mengikis rasa inferior, mental inlander, yang menyebabkan dirinya enggan bahkan takut mengungkapkan kebenaran dengan asumsi akan dianggap memecah belah dan dijauhi umat. Dalam dada pengemban dakwah harus tertanam keyakinan kuat bahwa kemenangan hanya dapat diperoleh dengan ridlo Allah, yakni dengan menetapi thoriqoh perjuangan bukan menggadaikan idealisme perjuangan hanya untuk tujuan dukungan kemaslahatan yang semu.
Inilah, sekilas amalan para politisi, kaum siyasiyun yang menggunakan tsaqofahnya untuk sarana perjuangan. Bukan hanya mengumpulkan tsaqofah di kepalanya, seraya hanya menjadikannya sebagai sarana kebanggaan diantara para pejuang, namun enggan bahkan takut terjun ke gelanggang (politik) ditengah-tengah umat. [].
Oleh : Ahmad Khozinudin
Sastrawan Politik
https://heylink.me/AK_Channel/