Berduka Atas Tragedi Itaewon Tak Sebanding dengan Nasib Rakyat Sendiri - Tinta Media

Minggu, 06 November 2022

Berduka Atas Tragedi Itaewon Tak Sebanding dengan Nasib Rakyat Sendiri

Pada bulan Oktober 2022, tepatnya Sabtu (29/10/2022) malam, publik dikagetkan dengan bencana kematian massal di distrik Itaewon, Korea Selatan. 

Hingga kini, Tragedi Halloween Itaewon, Korea Selatan, menewaskan setidaknya 151 korban jiwa dengan ratusan korban terluka lainnya.

Dilansir dari laman The New York Times, Pejabat senior di pemadam kebakaran Seoul, Choi Seong-Beom, mengatakan bahwa sebagian besar yang tewas adalah remaja atau berusia 20-an.

Tragedi ini benar-benar mengerikan. Sabtu malam itu, di sebuah gang sempit di sebelah Landmark Hotel Hamilton, ribuan pengunjung Itaewon yang berdesakan itu mulai berjatuhan. Situasi tak terkendali di gang sempit ini semakin meningkat, mengingat lebarnya dilaporkan hanya sekitar empat meter dengan posisi sedikit miring atau menanjak.

Para pengunjung perayaan Halloween pun akhirnya terjebak di antara kerumunan orang-orang yang keluar dari Hotel Hamilton dengan kerumuman dari pintu keluar 1 dan 2 stasiun kereta bawah tanah Itaewon.

Orang-orang yang terjebak dalam desakan kerumunan itu tak bisa bergerak dan pada akhirnya terinjak-injak. Pemandangan semakin pilu saat terlihat antrean panjang korban meninggal yang ditutupi selimut di trotoar.

Tragedi kematian Halloween di Korsel, jelas membuat publik prihatin, sampai-sampai penguasa negeri ini juga turut berduka cita dan menyampaikan bela sungkawa atas terjadinya tragedi maut itu dengan mengatakan bahwa Indonesia bersama rakyat Korea Selatan.

"Saya mengharapkan mereka yang terluka segera pulih," tulis Retno dalam akun Twitter resminya @Menlu_RI, Minggu (30/10/2022). 

"Turut berduka cita atas tragedi di Seoul. Belasungkawa mendalam bagi mereka yang kehilangan orang-orang terkasih," kata Jokowi melalui akun Twitter resminya @Jokowi, dikutip Senin (31/10).

"Indonesia berduka bersama dengan rakyat Korea Selatan dan kami berharap para korban yang terluka dapat cepat pulih," lanjutnya.(koran-jakarta.com, Senin, 31 Oktober 2022)

Ungkapan duka seorang penguasa sebenarnya tidak salah. Namun, yang menjadi perhatian justru sikap penguasa yang lebih prihatin dan peduli kepada rakyat negara lain dibandingkan terhadap nasib rakyat sendiri. Ini adalah keprihatinan yang miris lagi menyedihkan. 

Pasalnya, sebelum tragedi Hallewoon Itaewon, publik juga dihadapkan pada tragedi kanjuruhan yang juga memakan korban meninggal dalam jumlah lumayan besar. Penguasa justru saling berlepas tangan terhadap kejadian nahas tersebut. Aparat keamanan justru mencari dalih untuk menutupi kesalahannya, bahkan tidak ada pernyataan pemerintah bersama korban kanjuruhan.

Tak hanya itu, penguasa membiarkan perayaan serupa di Indonesia. Padahal, perayaan tersebut adalah budaya asing yang tidak sesuai dengan budaya masyarakat dan juga tidak sesuai dengan akidah mayoritas penduduk negeri ini yang mayoritas muslim. Bahkan, bisa dikatakan tidak memberi manfaat pada pembangunan karakter pemuda masa depan. Sebab, perayaan-perayaan semacam itu sejatinya hanya mengedepankan kesenangan belaka. Tidak jarang perayaan tersebut diikuti dengan konsumsi miras, narkoba, free sex dan sejenisnya.

Hal ini menunjukkan bahwasanya penguasa abai akan proses pembinaan karakter para pemudanya. Padahal, kaum pemuda sejatinya ialah mereka yang akan membangun sebuah peradaban bangsa yang akan datang. Hal tersebut tidak lepas dari sistem kepemimpinan saat ini, yakni sekularisme-kapitalisme. 

Sistem ini tidak mempedulikan tolak ukur agama dalam sebuah amal perbuatan. Ini karena sekularisme-kapitalisme telah memisahkan agama dari kehidupan. 

Orientasi kehidupan manusia hanya diarahkan untuk mencari kesenangan jasadiyah atau kesenangan fisik, tanpa melihat halal-haram atau baik-buruk menurut aturan agama. Jadilah para pemuda berprilaku permisif dan gila mencari kesenangan sesaat. Semua itu diperparah dengan negara sekularisme-kapitalisme yang berkarakter abai terhadap urusan rakyat.

Ini tentu saja sangat jauh berbeda dengan kehidupan yang diatur dengan sistem Islam, yakni khilafah dalam memperhatikan urusan generasi. 

Khilafah sebagai institusi negara akan melindungi generasi-generasinya dari pemikiran, budaya-budaya, gaya hidup orang-orang , dan semua hal dari asing yang membahayakan akidah mereka.

Dari Abu Hurairah Ra, bahwa Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda: 

"Sesungguhnya al Imam( Khalifah) itu perisai dimana orang-orang akan berperang di belakangnya dan akan berlindung dari musuh akan kekuasaannya. ( HR Muttafaqun Alaih)

Berdasarkan dalil tersebut, khilafah akan menjawab pembentukkan atas kepribadian generasi melalui berbagai mekanisme, baik di dunia pendidikan maupun di luar pendidikan.

Dalam pendidikan, khilafah akan menerapkan pendidikan Islam yang memiliki kurikulum yang menghasilkan generasi berkepribadian Islam. Artinya, setiap anak didik dalam lembaga pendidikan Islam akan memiliki pola pikir dan pola sikap sesuai syariat Islam. 

Anak-anak tidak akan terpengaruh dengan pemahaman, pemikiran, dan budaya asing yang mengarah pada sekularisme, kapitalisme, seperti perayaan Halloween dan sejenisnya. Sebab, mereka paham bahwa hal yang demikian itu termasuk tasyabuh lil kuffar atau menyerupai kaum kafir yang haram bagi seorang muslim untuk mengikutinya.

Dalam sistem pendidikan ini, anak-anak akan dibentuk menjadi sosok-sosok manusia yang peka terhadap permasalahan umat. Mereka juga akan dibekali dengan ilmu-ilmu alat sehingga bisa survive mengarungi kehidupan. Diharapkan nantinya dari sistem pendidikan Islan lahir generasi yang memahami bahwa kemuliaan hidupnya terletak pada sebagian besar hanya menghabiskan untuk Islam dan Kaum Muslimin. Mindset ini yang membuat mereka akhirnya fokus agar menjadikan diri mereka senantiasa terikat dengan hukum-hukum syariat tatkala mengembangkan potensi diri yang mereka miliki.

Pendidikan Islam juga akan menguak bobrok dan batilnya pemikiran Barat sehingga para generasi Islam akan meninggalkan dengan sendirinya ide-ide Barat. Selain itu, perlindungan Khilafah pada generasi terhadap ide-ide asing juga terwujud dengan adanya penjagaan media. 

Media dalam sistem Islam digunakan untuk memberikan pendidikan bagi umat, menjaga akidah dan kemuliaan akhlak (akhlakul karimah), serta menyebarkan kebaikan di tengah-tengah masyarakat. Karena itu, konten yang memuat segala yang merusak akhlak generasi dan agama akan dilarang untuk tayang.  

Selain itu, adanya kontrol masyarakat dalam naungan khilafah juga akan semakin menguatkan kepribadian Islam generasi. 

Maka, hanya sistem Islam yang sanggup membina generasi menjadi pribadi yang gemilang, sehingga mereka akan terhindar dari kejahatan tragis yang merebut nyawa dengan tidak wajar seperti sekarang ini. Wallahu A'lam.

Oleh: Ummu Faiha Hasna
Sahabat Tinta Media

Rekomendasi Untuk Anda × +

Bagikan artikel ini

Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini.

Artikel Menarik Lainnya :