Tinta Media - Saat penulis menulis artikel dengan judul 'BUKAN SIBUK COPRAS CAPRES, TAPI SIBUKLAH DENGAN DAKWAH ISLAM', ada seorang pembaca merespons, dengan mengajukan 4 (empat) pertanyaan, sebagai berikut:
Pertama, Bagaimana untuk merubah Negeri ini dengan Sistem Khilafah (maksudnya mengubah sistem sekuler menjadi sistem Islam)?
Kedua, Kalau pakai Sistem Khilafah...berarti Tidak Tidak ada Legislatif, Yudikatif, maupun Eksekutif. Berarti tdk ada Pemilihan PRESIDEN ..maupun Anggota DPR maupun MPR. Lalu..bagaimana mengatur Sendi sendi Segala Aturan Prikehidapan Rakyat Berbangsa dan Bernegara?
Ketiga, Dan Siapa yg akan menjadi KHOLIFAH nya..?
Keempat, Apakah Setiap Negara Punya Kholifah..?atau Seluruh Dunia hanya punya 1 Kholifah....?
Untuk menjawabnya, baiklah penulis akan merincinya satu per satu, dengan penjelasan sebagai berikut:
1. Realitas negeri ini dan negeri kaum muslimin lainnya, sama dengan Mekah saat Rasulullah SAW berdakwah untuk pertama kalinya. Yakni negeri yang menerapkan sistem kufur, yaitu sistem yang bertentangan dengan Islam.
Negeri ini menerapkan Demokrasi, yang meletakkan kedaulatan ditangan rakyat. Halal dan haram, terpuji dan tercela, baik dan buruk, semua dikembalikan pada suara rakyat. Kalau mayoritas rakyat menghendaki judi, riba, zina, miras, maka Negara mengikuti kehendak rakyat dengan menghalalkan judi, riba, zina dan miras.
Sementara, Allah SWT telah menetapkan standar halal dan haram berdasarkan wahyu, yakni berdasarkan al Qur'an dan as Sunnah. Saat al Qur'an dan as Sunnah mengharamkan judi, riba, zina dan miras, maka Negara juga wajib mengharamkannya.
Islam adalah pemikiran (al-fikrah) dan metode (ath-tharîqah). Pemikiran dan metode semuanya dari Allah SWT. Kita wajib terikat dan mengikuti apa saja yang dituntut oleh syariah. Karena itu kita tidak boleh mengubah bentuk sistem pemerintahan dalam Islam, yaitu Khilafah, sebagai tharîqah (metode) dalam menegakkan syariah Islam secara kâffah.
Sebabnya, banyak ayat dan hadis yang menjelaskan kewajiban menagakkan Khilafah. Kita wajib mengambil semuanya. Jika ada yang tidak diambil, kikta akan dizab secara keras oleh Allah SWT di akhirat kelak (Lihat: QS al-Baqarah [2] : 85).
Mendirikan Negara Islam atau Khilafah Islam merupakan kewajiban syariah. Upaya mengubah negeri ini -dan negeri kaum muslimin lainnya yang saat ini juga menerapkan sekulerisme, tidak lagi menerapkan Islam pasca Khilafah kaum muslimin terakhir diruntuhkan di Turki pada tahun 1924- Tentu harus diambil metode dari dalil yaitu yang diambil dari sunnah Nabi saw.
Dalam mendirikan Negara Islam. Metode tersebut tercermin dalam tiga tahapan:
(1) pengkaderan (at-tatsqîf);
(2) interaksi dengan umat (at-tafâ’ul), termasuk di dalamnya adalah pencarian dukungan dan pertolongan (thalab an-nushrah);
(3) penerimaan kekuasaan dari peliki kekuasaan (istilâm al-hukmi).
Sunnah Nabi saw menunjukkan atas tiga tahapan tersebut dalam mendirikan Negara Islam di Madinah. Dengan demikian kita wajib mengikuti metode yang tercermin dalam tiga tahapan.
Secara umum ada persamaan antara masyarakat kita dan masyarakat Makkah atau pra-Madinah dalam hal pemikiran, perasaan dan sistem kufur yang mendominasinya. Yang berbeda hanyalah keyakinan mayoritas individunya. Di masyarakat Makkah kebanyakan kaum musyrik.
Adapun di masyarakat kita saat ini kebanyakan kaum Muslim. Karena itu yang kita lakukan adalah menyeru mereka untuk melanjutkan kehidupan Islam di dalam institusi Khilafah Islam sebagaimana dulu.
Dengan demikian kita wajib terikat dan konsisten dengan tiga tahapan di atas sebagaimana dicontohkan Nabi saw. saat berdakwah di Makkah. Karena itu, tidak boleh ada kekerasan fisik/bersenjata, misalnya, untuk menegakkan Khilafah.
Ada yang mengatakan bahwa metode ini adalah hasil ijtihad, sama dengan hasil ijtihad lainnya. Setiap hasil ijtihad ada kemungkinan benar dan salah.
Karena itu mereka berpendapat kita harus membantu kelompok lain yang memiliki pengaruh politik seperti parpol yang saat ini ikut kontestasi Pemilu, dalam menerapkan hasil ijtihadnya agar kelompok-kelompok tersebut dapat berkuasa dan kemudian mendirikan Khilafah.
Untuk memperjelas sikap dan pilihan ijtihad di depan pernyataan dan harapan ini, penulis ingin menyampaikan hal-hal berikut ini:
Benar, metode ini adalah hasil ijtihad dan diambil dari Sunnah Nabi saw. Benar, setiap hasil ijtihad ada kemungkinan benar dan salah, tidak terkecuali metode dalam mendirikan Khilafah. Namun, harus disadari bahwa hukum syariah bagi setiap individu dan jamaah tidak berubah dan tidak berbilang.
Karena itu kita harus berpegang teguh pada pemahamannya tentang metode mendirikan Negara Islam. Tidak boleh bagi kita untuk mengambil metode lain sekalipun metode itu hasil dari istinbâth (penggalian hukum) yang shahih.
Meninggalkan metodenya meski kemudian kembali lagi, adalah sama dengan meninggalkan hukum syariah. Ini tidak boleh.
Di sini penulis harus menyebutkan bahwa setiap metode harus dikaitkan dengan metode hasil ijtihad yang digali dari dalil-dalil yang rinci. Sungguh jelas bagi kami selama pengkajian kami atas beberapa kelompok dan partai Islam bahwa mereka salah dalam memahami arti metode.
Inilah sebabnya mengapa mereka mengubah metode sepenuhnya begitu mereka menghadapi masalah kecil, lalu beralih ke metode dan pendekatan lain. Mereka selalu mengalami kegagalan demi kegagalan, dan akhirnya meninggalkan Islam dan beralih semata untuk orientasi kekuasaan.
Masalah metode yang merupakan bagian dari hukum syariah sudah menjadi masalah yang tidak ada dalam pikiran dan pemahaman mereka. Akibatnya, mereka dengan mudah mengubah metodenya.
Alasannya, mereka melakukan itu sesuai kemaslahatan umum, apalagi maslahat merupakan salah satu di antara hukum syariah. Padahal menjadikan maslahat sebagai dalil adalah cara berdalil yang salah. Ini bisa menjadi alasan untuk memberi topeng syariah atas perkara-perkara haram. Sungguh ini tidak boleh.
Sungguh, tidak ada maslahat yang lebih besar dan lebih agung daripada penerapan hukum-hukum Allah SWT di tengah-tengah masyarakat. Sebabnya, hanya ini yang menyelamatkan kaum Muslim dari kekufuran, kezaliman dan kefasikan.
Oleh karena itu, metode yang tidak berasal dari dalil-dalil yang rinci dan tidak melalui ijtihad yang sahih, juga yang berdasarkan pada cara pengambilan dalil yang salah, tidak dianggap sebagai metode Islam menurut kami, juga bukan metode hasil ijtihad. Itu merupakan metode yang didasarkan pada hawa nafsu, yang tidak ada kebenaran dan keabsahan di dalamnya
Kami percaya soal penerapan dan realitanya bahwa metode yang diadopsi dari Sunnah Nabi saw. Ketiga tahapan tersebut adalah satu-satunya metode yang digali dari Sunnah Nabi saw. dalam mendirikan negara.
Dengan demikian tidak mungkin ada ijtihad terkait metode yang tidak sejalan dengan metode yang sudah kami jelaskan. Akan tetapi, harus kami katakan bahwa ketika kami menolak pandangan kelompok dan partai Islam lainnya terkait metode mereka dalam mendirikan Negara Islam, tidak berarti—seperti yang diduga oleh mereka yang berpikiran cekak—bahwa kami sama sekali menolak kelompok-kelompok ini.
Yang jelas kami menganggap para anggotanya sebagai saudara kami dalam Islam. Namun, kami melihat mereka telah melakukan kesalahan besar, yang menjauhkan mereka dari pemahaman syariah yang sahih terkait metode perjuangannya.
Oleh karena itu, kami mengharuskan diri kami, sebagai saudaranya dalam Islam, untuk beramar makruf kepada mereka sebagai kewajiban syar’i. Pasalnya, Allah SWT telah menjadikan amar makruf sebagai kewajiban yang harus dijalankan semua kaum Muslim (Lihat: QS Ali Imran [3]: 104).
Oleh karena itu, amar makruf nahi mungkar merupakan kewajiban atas kaum Muslim. Kami sebagai bagian dari umat Islam, memerintahkan para penguasa, kelompok Islam dan kaum Muslim secara umum untuk berbuat kebaikan sebagai kewajiban di antara kewajiban-kewajiban syariah Islam.
Jika Khilafah Islam telah didirikan oleh salah satu kelompok Islam yang manapun, semua kaum Muslim harus berbaiat kepada Khalifah. Kami sebagai salah satu bagian dari umat Islam melihat bahwa baiat kepada Khalifah dan membela Khalifah merupakan kewajiban syariah.
*Metode Mengubah Masyarakat*
Tidak mungkin mendirikan Negara Islam yang tahan lama dan berkelanjutan tanpa adanya perubahan radikal dan mengakar dalam masyarakat. Satu hal yang harus diperhatikan, metode mendirikan Negara Islam itu harus sejalan dengan metode mengubah masyarakat. Pasalnya, masyarakat itu akan menjadi masyarakat Islam saat pemikiran (al-afkâr) dan perasaan (al-masyâ’ir) mayoritas kaum Muslim bersifat islami serta di tengah-tengah mereka diterapkan sistem (an-nizhâm) Islam.
Dalil dalam hal ini adalah dalil ‘aqli (rasional) karena ini menghukumi sebuah realita. Masyarakat dihukumi berdasarkan warna pemikiran dan perasaan yang dominan, serta sistem yang diterapkan. Jika Kapitalisme, yang terbentuk adalah masyarakat kapitalis.
Jika Sosialisme, yang terbentuk adalah masyarakat sosialis. Jika Islam, yang terbentuk adalah masyarakat Islam. Dengan demikian ini sama persis dengan aktivitas-aktivitas yang dituntut dalam mendirikan Negara Islam.
Aktivitas mendirikan Negara Islam yang sesuai dengan metode Nabi saw. menuntut: pembentukan opini umum (ar-ra’yu al-‘âm) tentang pemerintahan Islam yang berasal dari kesadaran umum (ar-wa’yu al-‘âm) akan penting dan wajibnya mendirikan Pemerintahan Islam serta pendirian pemerintahan Islam melalui an-nushrah, yaitu dukungan dan pertolongan.
Semua ini sesuai dengan aktivitas mengubah masyarakat. Ini adalah rasional.
Aktivitas mendirikan Negara Islam adalah syar’i (bersumber dari dalil syariah). Ini memberikan kekuatan untuk perubahan karena adanya kesesuaian antara apa yang syar’i dan yang ‘aqli (rasional).
Hal ini akan menghantarkan pada perubahan yang hakiki serta memberikan kepercayaan lebih besar pada perubahan Islam.
Sungguh, kesesuaian ini semakin menguat ketika Negara Islam memperluas wilayahnya hingga mencakup berbagai masyarakat yang berbeda pada saat suatu masyarakat memeluk Islam dan berada dalam kekuasaannya.
Lalu Negara Islam menjadikan masyarakat itu menerima pemikiran Islam dan tunduk pada sistem Islam karena pemikiran dan sistem ini bersifat global.
2. Adanya lembaga DPR, PRESIDEN dan PERADILAN yang harus dipisahkan adalah paham atau ajaran kekuasaan yang berasal dari Montesqueue, yang berpandangan kekuasaan harus dipisahkan (Legislatif, Eksekutif dan Yudikatif). Ajaran ini tidak pernah dikenal dalam Islam.
Dalam Islam, Khilafah adalah lembaga kekuasaan yang meliputi kekuasaan Legislatif, Eksekutif dan Yudikatif sekaligus. Hanya Khalifah yang punya wewenang mengadopsi hukum dan perundangan. Adapun peradilan, nantinya didelegasikan melalui lembaga al Qadla (peradilan), baik Qadly Hisbah, Qadly Madzalim maupuj Qadly Khusumat.
Lembaga seperti DPR dan MPR tidak dibutuhkan dalam Islam, namun nanti dibentuk lembaga Majelis Umat yang fungsinya untuk mengontrol atau memberikan masukan kepada Khalifah. Anggota Lembaga Majelis Umat ini dipilih oleh rakyat.
Untuk mengatur sendi-sendi prikehidupan bernegara, maka Khalifah akan menggunakan al Qur'an dan as Sunnah sebagai sumber hukum, lalu berijtihad untuk mengadopsi hukum dan perundangan berdasarkan al Qur'an dan as Sunnah untuk mengatur kehidupan berbangsa dan bernegara. Khalifah akan dibantu para Ulama untuk mengadopsi hukum dan perundangan, tidak lagi dibutuhkan lembaga DPR untuk membuat UU.
3. Yang akan menjadi Khalifah adalah orang yang dipilih dan diridloi oleh Umat Islam, dan yang memenuhi syarat, yaitu : Muslim, laki laki, berakal, adil, dewasa (baligh), merdeka, dan memiliki kemampuan untuk menjalankan tugas kekhilafahan. Inilah, 7 syarat akad untuk menjadi seorang Khalifah.
Mengenai siapa orangnya, penulis menyampaikan nama Syaikh Atho' Abu Rusytoh sebagai calon Khalifah. Beliau menuhi 7 syarat dimaksud, dan beliau adalah amir (pimpinan) dari jama'ah Hizbut Tahrir.
4. Khilafah adalah kepemimpinan umum bagi seluruh kaum muslimin. Hanya ada satu Khilafah dan seorang Khalifah bagi seluruh kaum muslimin. Khilafah adalah global state, bukan nation state.
Saat Khilafah tegak di suatu negeri (misalnya di Indonesia), maka Khilafah akan menyatukan seluruh negeri kaum muslimin dibawah satu panji kekhilafahan Islam. Jadi, kelak kaum muslimin bersatu dibawah panji Khilafah dan dipimpin oleh seorang Khalifah. [].
Oleh : Ahmad Khozinudin
Sastrawan Politik